Kamu tidak hanya akan menjadi sahabat dalam hidupku, tetapi juga rekan dalam perjalanan spiritual mencari rida dari sang pemilik hati.
Ada saat-saat ketika aku merasa ragu, apakah aku bisa mencintaimu sepenuh hati tanpa mengurangi cintaku kepada Tuhan. Kamu, melalui percakapan kita, menyadarkanku bahwa mencintai Tuhan dan mencintaimu tidaklah saling bertentangan. Sebaliknya, cinta kepada Tuhan justru menguatkan hatiku untuk mencintaimu dengan cara yang indah.
Hubungan kita menjadi lebih dari sekadar kata romantis. Aku dan kamu menjadi mitra dalam perjalanan singkat di dunia, saling mengingatkan untuk tetap berada di jalan-Nya, saling membantu satu sama lain dalam menghadapi tantangan hidup. Tiap kali kita berdoa bersama, aku merasakan ikatan antara aku dan kamu yang semakin kuat, karena kita menjadikan Tuhan sebagai pusat dari landasan hubungan kita.
Saat itu, awan-awan sedang menari dengan anggun di atas cakrawala, cahaya senja memancarkan kehangatan yang lembut membawa kedamaian. Langit senja bagai mahakarya yang dilukis langsung oleh tangan-tangan surga. Saat matahari merendah di ujung barat, langit menjadi panggung puisi warna dalam keheningan.
Jingga memeluk merah, merah mengusik ungu, lalu ungu mencium biru dengan kelembutannya. Setiap goresan cahaya yang berbisik lembut kepada bumi bercengkrama bersama dengan angin senja yang berhembus pelan membawa aroma tanah yang hangat dengan harum bunga-bunga yang merekah, itu adalah bukti kebesaran dan kemuliaan Tuhan yang terpampang jelas di cakrawala.
Indahnya senja tidak seindah isi hatiku, sore itu air mata membanjiri ceruk di pipi, hingga ia tidak lagi nampak indah di mata laki-laki yang sudah menggoreskan namanya di hatiku.
Manik hitam yang teduh itu menatapku, "Apa yang kamu tangisi, Aisyah?" tanyanya lembut.
Kamu yang sedang menyambangiku di waktu senja sebelum matahari tergelincir yang membawa seruan pada umat manusia untuk berbisik pada bumi dan melangitkan doa yang menjadi penyebab mataku tidak dapat membendung tangis, sungai air mata ini karenamu Fahri. Kamu, dengan daya pikatmu menanyakan linangan air yang membasahi pipiku?
"Kenapa gak ada kabar? Dari kemarin aku khawatir, aku nunggu kabar dari kamu," jawabku lirih dalam sedu sambil terisak, "ternyata kamu saja seperti laki-laki yang lain, setelah bosan lalu menghilang, pergi tanpa kata."
"Aisyah..." Manik hitam yang teduh itu semakin sejuk menatap bola mataku yang basah, "Aku butuh waktu untuk merenung, aku perlu sendiri agar aku bisa berfikir jernih, aku mau tuhan berbisik di hatiku tanpa suaramu."
Mendengar ucapan yang baru saja meluncur terbata-bata dari mulut Fahri membuat hatiku pecah, sembab di pelupuk mataku semakin menebal, bola mataku tidak lagi cerah seperti langit biru, kini muram dengan guratan merah bagai kilatan petir di saat badai, "Aku tau, hari ini akan tiba... kamu akan pergi meninggalkan aku."