Perjalanan hidup merupakan serangkaian pilihan yang membentuk karakter manusia yang seutuhnya. Dalam mencari makna yang lebih dalam, para pencari cinta itu menemukan bahwa mencintai Tuhan menjadi langkah pertama yang utama sebelum mereka bisa benar-benar mencintai makhluknya.
DI setiap hela nafas dan langkah yang kuambil, ada dorongan kuat untuk mendekat kepada-Nya. Aku pernah berkubang dengan dosa ketika cinta singgah mengikat jiwa, aku terbelenggu rantai maksiat berbalut gemerlapnya kasih sayang, iblis mengepal hatiku menghalangi cahaya ilahi.
Dia, laki-laki yang aku cinta dengan segenap jiwa lantas pergi setelah melancarkan hastratnya, seketika aku mulai memahami bahwa cinta kepada Tuhan adalah fondasi dari segala cinta yang ada, bersama-Nya hatiku menjadi lebih tenang, aku dapat berfikir dengan jernih, hilang semua gelisah.
Hingga saat itu tiba, kamu yang tidak pernah ada di dalam hatiku perlahan-lahan meneteskan embun yang sejuk ke dalam hatiku yang telah membatu. Aku tidak pernah menyadari betapa teduhnya tatapanmu, betapa tentramnya sudut pandangmu dan betapa hangatnya sapamu.
Pertemuan pertama kita terjadi pada masa-masa ketika aku masih dalam masa pencarian diri. Kamu, dengan segala pesonamu, datang bagai angin segar yang menyapu segala kekhawatiran. Ternyata, benih cinta hadir menyelimuti jiwa, apakah aku menyadarinya? Tidak. Hingga akhirnya kamu pergi.
Aku menangisi punggungmu yang menjauh dariku, bahkan aku tidak mengerti mengapa air mata ini membanjiri pipi, bukankah kamu sama seperti laki-laki yang akan pergi setelah puas dengan hastratmu? Tidak, kamu bukan laki-laki itu. Kamu urungkan langkahmu untuk pergi lantas singgah di hatiku, kamu, dengan pesonamu memintaku untuk bisa mencintai diriku sepenuh hati, aku harus memastikan hatiku sudah sepenuhnya mencintai penciptaku yang menyayangimu.
Di saat orang lain sibuk mengejar cinta duniawi, bersamamu, aku menemukan cinta kepada Tuhan, cinta yang paling murni, fondasi di dalam hati yang tidak tergoyahkan. Melalui lantunan doa yang aku langitkan, hatiku belajar untuk mencintai Tuhan yang dapat memberikan kekuatan untuk mencintaimu dengan tulus, tanpa pamrih.
Kisah kita bukanlah perkara cinta pada pandangan pertama, melainkan sebuah perjalanan menemukan jati diri bersama cinta Ilahi. Tiap kali kita berbicara, aku merasakan kehadiran Tuhan di antara kita, tuturmu semakin memperkuat ikatan yang ada. Kamu mengerti perjuanganku, lalu bersama-sama kita belajar mencintai Tuhan lebih dalam sebelum akhirnya mencintai satu sama lain dengan penuh keikhlasan.
Seiring berjalannya waktu, pencarianku akan cinta Ilahi semakin dalam. Aku mulai memahami cara mencintai Tuhan dengan berserah diri, menerima segala ketentuan-Nya, lalu menjalani hidup dengan penuh rasa syukur. Di setiap sujudku, aku merasakan kedamaian yang luar biasa yang membuatku semakin yakin bahwa aku berada di jalur yang benar.
Kamu hadir di hidupku pada saat yang tepat. Ketika aku tengah terseok-seok dalam memperkuat hubunganku dengan Tuhan, kehadiranmu menjadi ujian sekaligus anugerah. Kita sering berdiskusi tentang makna hidup, tentang tujuan kita di dunia ini, serta konsep bagaimana aku dan kamu bisa menjadi manusia yang lebih baik.
Kamu tidak hanya akan menjadi sahabat dalam hidupku, tetapi juga rekan dalam perjalanan spiritual mencari rida dari sang pemilik hati.
Ada saat-saat ketika aku merasa ragu, apakah aku bisa mencintaimu sepenuh hati tanpa mengurangi cintaku kepada Tuhan. Kamu, melalui percakapan kita, menyadarkanku bahwa mencintai Tuhan dan mencintaimu tidaklah saling bertentangan. Sebaliknya, cinta kepada Tuhan justru menguatkan hatiku untuk mencintaimu dengan cara yang indah.
Hubungan kita menjadi lebih dari sekadar kata romantis. Aku dan kamu menjadi mitra dalam perjalanan singkat di dunia, saling mengingatkan untuk tetap berada di jalan-Nya, saling membantu satu sama lain dalam menghadapi tantangan hidup. Tiap kali kita berdoa bersama, aku merasakan ikatan antara aku dan kamu yang semakin kuat, karena kita menjadikan Tuhan sebagai pusat dari landasan hubungan kita.
Saat itu, awan-awan sedang menari dengan anggun di atas cakrawala, cahaya senja memancarkan kehangatan yang lembut membawa kedamaian. Langit senja bagai mahakarya yang dilukis langsung oleh tangan-tangan surga. Saat matahari merendah di ujung barat, langit menjadi panggung puisi warna dalam keheningan.
Jingga memeluk merah, merah mengusik ungu, lalu ungu mencium biru dengan kelembutannya. Setiap goresan cahaya yang berbisik lembut kepada bumi bercengkrama bersama dengan angin senja yang berhembus pelan membawa aroma tanah yang hangat dengan harum bunga-bunga yang merekah, itu adalah bukti kebesaran dan kemuliaan Tuhan yang terpampang jelas di cakrawala.
Indahnya senja tidak seindah isi hatiku, sore itu air mata membanjiri ceruk di pipi, hingga ia tidak lagi nampak indah di mata laki-laki yang sudah menggoreskan namanya di hatiku.
Manik hitam yang teduh itu menatapku, "Apa yang kamu tangisi, Aisyah?" tanyanya lembut.
Kamu yang sedang menyambangiku di waktu senja sebelum matahari tergelincir yang membawa seruan pada umat manusia untuk berbisik pada bumi dan melangitkan doa yang menjadi penyebab mataku tidak dapat membendung tangis, sungai air mata ini karenamu Fahri. Kamu, dengan daya pikatmu menanyakan linangan air yang membasahi pipiku?
"Kenapa gak ada kabar? Dari kemarin aku khawatir, aku nunggu kabar dari kamu," jawabku lirih dalam sedu sambil terisak, "ternyata kamu saja seperti laki-laki yang lain, setelah bosan lalu menghilang, pergi tanpa kata."
"Aisyah..." Manik hitam yang teduh itu semakin sejuk menatap bola mataku yang basah, "Aku butuh waktu untuk merenung, aku perlu sendiri agar aku bisa berfikir jernih, aku mau tuhan berbisik di hatiku tanpa suaramu."
Mendengar ucapan yang baru saja meluncur terbata-bata dari mulut Fahri membuat hatiku pecah, sembab di pelupuk mataku semakin menebal, bola mataku tidak lagi cerah seperti langit biru, kini muram dengan guratan merah bagai kilatan petir di saat badai, "Aku tau, hari ini akan tiba... kamu akan pergi meninggalkan aku."
"Aku bukan milikmu, kamu juga bukan milikku... tapi, aku ingin memilikimu dengan rida Ilahi."
Entahlah itu hanya alasanmu saja untuk pergi dariku atau memang sebenarnya kamu menyerahkan takdir itu pada Tuhan. Tahukah kamu? Betapa aku menyangimu, sungguh aku mencintaimu. Rasa yang hadir di dalam hatiku ini pernah aku keluhkan pada Tuhan, aku ingin Tuhan menghilangkan kata cinta dalam hatiku.
Kamu tahu Fahri! semakin aku bersujud memohon pada Tuhan untuk menghilangkan namamu dari hatiku, semakin besar rasa rinduku padamu. Tahukah kamu Fahri! semakin aku melupakanmu, senyummu melayang-layang di pelupuk mataku. Sadarkah kamu Fahri?
Di waktu senja itu, aku ikhlaskan untuk melepasmu. Aku pasrahkan semuanya pada Sang Pemilik Hati. Aku titipkan rinduku pada Sang Pemilik Waktu. Aku gantungkan hidupku pada Sang Pemilik Semesta.
Hari-hari berikutnya, aku hanya memusatkan pikiranku pada-Nya berusaha memperdalam hubunganku dengan-Nya, meminta bimbingan serta kekuatan untuk menghadapi setiap cobaan. Aku juga bersyukur karena Tuhan mengirim kamu dalam hidupku sehingga aku menjadi semakin dekat dengan-Nya, cobaan ini membimbingku menjadi pribadi yang lebih baik.
Cinta sejati memang tidak mudah di raih, ada perjuangan dan pengorbanan bersamanya. Tapi dengan iman dan ketulusan hati, aku dapat mengatasi segala rintangan, aku percaya, dengan mencintai Tuhan sebelum mencintai kamu, aku akan menemukan kekuatan dan kedamaian menghadapi setiap cobaan.
***
"Assalamualaikum, Aisyah..." sapa Fahri dari balik ponsel. Saat Fahri menelepon, aku sedang mendendangkan jari-jariku di atas papan tombol komputer jinjingku
"Waalaikumsalam, Fahri."
"Insyaallah, hari Rabu besok aku akan singgah di rumahmu... aku bersama orang tuaku. Aku akan melamarmu, Aisyah!"
-Tamat-
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H