Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tukang Skip

25 Juni 2024   19:13 Diperbarui: 25 Juni 2024   19:15 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar oleh Ida Rizkha dari Pexel.com

Aku tidak tahu caranya mengutarakan isi hatiku padamu, kamu terlalu sempurna, sekedar menatapmu selama lima menit saja sudah membuat hatiku berbunga-bunga seharian.

Aku selalu mencari cara untuk bisa lebih dekat denganmu, meski pun hanya sekadar menyapamu. Rasanya, seluruh dunia seakan berhenti tiap kali kita bertemu, tiap kali netra kita beradu tatap. Aku ingin sekali bisa bercerita banyak hal, tentang mimpi-mimpiku, harapan-harapanku. Sadarkah kamu?

Tapi lidahku selalu kelu, tidak mampu berkata-kata. Aku takut, jika aku membuka mulut, yang keluar kata-kata konyol yang membuat aku menjadi canggung. Kamu, dengan senyummu yang menawan itu, membuat diriku semakin rapuh.

Aku ingin kamu tahu, tiap kali kita bertemu, hatiku selalu berdebar-debar. Tiap kali kamu tersenyum atau tertawa, dunia terasa lebih cerah. Kamu berhasil menjadi inspirasiku, yang menjadi alasan aku bangun setiap pagi dengan semangat baru. Meski begitu, aku hanya bisa berharap suatu hari nanti, aku punya keberanian untuk mengutarakan semua perasaan ini padamu.

Kamu itu segalanya, semua hal yang aku impikan, dan lebih dari itu, kamu adalah alasan aku percaya bahwa cinta sejati itu ada. Mungkin aku tak sempurna, tapi perasaanku padamu adalah sesuatu yang paling tulus yang pernah aku miliki. Hanya waktu yang akan membuktikan apakah aku bisa mengumpulkan cukup keberanian untuk akhirnya berkata, "Aku mencintaimu."

***

Laki-laki yang menyebalkan itu bernama Rangga. Tidak suka aturan, tidak suka terikat oleh apapun, pemberontak, namun cerdas. Dia selalu menjalani hidupnya dengan caranya sendiri, bebas dan tanpa beban. Tapi entah bagaimana, justru itulah yang membuat Salima tertarik padanya. Ada sesuatu yang unik dalam sikapnya yang tidak peduli dan cuek itu, tatapan matanya juga penuh misteri, yang selalu membuat Salima ingin tahu lebih banyak tentang dirinya.

Salima ingat saat pertama kali kami bertemu, dia datang terlambat ke kelas dengan wajah tidak berdosa, sepertinya terlambat itu adalah bagian dari rutinitas hidupnya. Semua orang di kelas sangat terganggu, tetapi tidak bagi Rangga. Dia hanya tersenyum tipis, lalu duduk di kursinya seperti tidak ada yang terjadi.

Salima sering memerhatikannya diam-diam, mencoba memahami apa yang ada di balik sikap cueknya itu. Apakah dia benar-benar tidak peduli, atau mungkin dia hanya berusaha menyembunyikan sesuatu? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu menggelayut di benak Salima setiap kali dia melihatnya.

Hal yang paling menyebalkan bagi Salima adalah, Rangga tahu, kalau Salima tertarik padanya. Dia sering tertangkap basah menatap Salima dengan tatapan yang sulit diartikan dengan bahasa apapun. Tatapan yang kadang membuat Salima merasa sepertinya Rangga dapat membaca pikiran Salima. Dan setiap kali Salima berada di situasi itu, Salima hanya bisa berpura-pura tidak peduli, berharap Rangga tidak menyadari betapa Salima terhipnotis dengan pesonanya.

Ada satu kejadian yang tidak akan pernah Salima lupakan. Hari itu, Salima sedang duduk sendirian di taman di depan gedung fakultas di kampusnya, dia sedang mengerjakan tugas. Tiba-tiba, Rangga datang lalu duduk di sebelahnya. Jantung Salima langsung berdetak kencang, berdegup tidak beraturan. Mereka berdua hanya duduk, tanpa kata untuk beberapa saat, sampai akhirnya Rangga berbicara.

"Kamu tahu, ngak?" katanya tanpa menoleh, "terkadang, hidup itu terasa sangat membosankan kalau kita selalu mengikuti aturan."

Salima menoleh padanya, terkejut oleh kata-katanya. "Apa maksud kamu, Rangga?" tanya Salima, dia berusaha mencoba untuk tetap tenang.

Rangga tersenyum lagi, senyum khasnya yang penuh misteri itu. "Gue sempet mikir, mungkin kita perlu sedikit melakukan hal-hal yang gila dalam hidup ini. Sesuatu yang bisa bikin kita ngerasa hidup."

Salima tidak tahu harus jawab apa, dia benar-benar tidak tahu. "Hal gila?" tanya Salima.

"Iya," Rangga menatap dua bola mata Salima tajam, "Hal gila itu... bilang I love you."

"Eh, Rangga... skip.., please jangan ajak aku dalam kegilaan-kegilaan kamu ya!" ucap Salima gugup. Dia langsung beranjak pergi.  

Sejak saat itu, Salima melihat Rangga dengan cara yang berbeda. Salima mulai memahami bahwa di balik sikap cueknya, ternyata dia juga sedang mencari arti dan tujuan dalam hidupnya.

Salima tahu bahwa perasaan yang terpendam padanya itu bukan sekadar ketertarikan biasa. Rangga, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, telah membuat Salmia merasa hidup dengan cara yang berbeda, belum pernah dirasakan sebelumnya, meskipun Salima masih belum tahu bagaimana cara mengutarakan perasaan itu padanya, dia tahu satu hal pasti: dia ingin mengenalnya lebih dalam.

***

Matahari sore perlahan turun perlahan di ufuk barat. Cahaya senja menyelimuti segala yang dilaluinya, memberikan sentuhan romantis pada pepohonan, bangunan, di setiap sudut kampus. Langit yang tadinya biru cerah perlahan berubah dengan gradasi warna oranye, merah muda, dan ungu yang berpadu harmonis.

Matahari juga membelai taman di kampus, bayangan pohon-pohon menjuntai panjang, membentuk pola-pola yang menawan di tanah. Daun-daun yang bergerak perlahan dalam angin sore menari dalam kilau senja yang memesona, memancarkan keindahan yang memuaku. Matahari yang perlahan tenggelam memantulkan cahayanya di permukaan danau kecil, menciptakan pemandangan yang begitu hangat.

Di antara pemandangan yang memikat itu, Rangga duduk di sebelahku, menambah keindahan sore ini dengan kehadirannya. Matahari sore yang hangat memantulkan cahayanya pada wajahnya, membuatnya terlihat sangat lembut dan juga misterius. Saat dia berbicara, suaranya terdengar lebih tenang, dalam dan aku terhipnotis bersama dengan keindahan alam di sekitarnya.

"Sal, pernah gak lo kepikikiran tentang... bagaimana politik bisa mengubah nasib banyak orang?" tanyanya, dengan nada yang serius, sangat berbeda dari biasanya. Aku menoleh padanya, aku tertarik untuk mendengar lebih lanjut.

"Politik itu seperti matahari sore," lanjutnya sambil menatap langit yang mulai berwarna jingga. "Kadang menyilaukan, kadang menenangkan, tapi selalu ada dan akan selalu memengaruhi siapa saja dengan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Kebijakan yang dibuat oleh mereka yang berkuasa bisa membawa harapan seperti sinar mentari, atau justru malah sebaliknya, membawa kegelapan."

Aku terdiam, memikirkan analoginya yang menarik. "Jadi, menurutmu, kita harus melakukan apa? Atau setidaknya sebagai individu dalam menghadapi situasi politik yang tidak menentu?"

Rangga tersenyum tipis, sorot bola matanya sudah mengantisipasi pertanyaanku. "Kita harus tetap sadar dan harus kritis, Dong! Jangan mudah terpengaruh oleh propaganda sesat. Kita perlu mendidik diri kita sendiri, agar bisa membuat keputusan yang lebih bijak. Terkadang, tindakan kecil kita, seperti memilih dengan hati-hati atau menyuarakan pendapat, bisa berdampak besar, Loh!"

Kemudian, tiba-tiba Rangga beralih ke topik sosial. "Sosial itu lebih kompleks, Sal," katanya sambil memandangi pepohonan yang bergoyang lembut. "Masyarakat kita masih mengalamai ketidakadilan sosial apa lagi kesenjangan sosial. Banyak orang yang hidup dalam kesulitan ekonomi karena sistem yang enggak adil. Tapi... gue percaya, dengan solidaritas juga empati, kita bisa membuat perubahan."

Aku terkesan dengan cara pandangnya yang unik, aku terkesima dengan pola pikirnya yang antik, aku jatuh hati dengan cara bicaranya yang karismatik.

Rangga melanjutkan pemikiran kritisnya dengan penuh semangat, berbicara tentang ketidakadilan sosial serta pentingnya perubahan, tiba-tiba dia mengeluarkan kalimat yang membuatku tersentak. "Lo tahu gak, Sal. Kita enggak bisa hanya duduk diam lalu berharap semuanya berubah. Kita harus bertindak. Jadi, kalau seseorang memiliki perasaan sama orang lain, dia harus berani mengungkapkannya, Sal."

Jantungku berdetak cepat, aku merasakan pipiku memerah. Aku menatapnya bingung, mencoba memahami apakah dia menyadari apa yang baru saja dia katakan. "Skip... Rangga, please skip," pintaku dengan suara sedikit gemetar, berharap dia tidak menangkap kegugupanku.

Rangga mengerutkan kening sejenak, lalu tertawa pelan. "Maaf, kayaknya gue terlalu bersemangat," katanya, mengalihkan pandangan ke langit yang mulai gelap. "Kadang, gue suka lupa, enggak semua orang siap menghadapi kenyataan secepat itu."

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Meskipun aku menaruh hati padanya, aku masih dalam proses mengumpulkan nyali untuk menerima kenyataan ini. Perasaan ini begitu kuat, tetapi ketakutanku untuk menghadapi penolakan juga perubahan yang tidak diinginkan membuatku ragu-ragu.

"Aku mengerti maksudmu, Rangga," kataku pelan, berusaha tersenyum meskipun hatiku masih berdebar kencang. "Tapi kadang, beberapa orang butuh waktu untuk menerima dan memahami perasaannya sendiri sebelum orang itu bisa mengungkapkannya."

Rangga menatapku dengan tatapan lembut, dia memahami keraguan dan ketakutanku. "Gue enggak bermaksud memaksa lo sih, apa lagi bikin lo ngerasa enggak nyaman," katanya dengan nada yang lebih lembut. "Setiap orang punya waktunya sendiri untuk siap menghadapi perasaan mereka, kok. Yang penting, Lo, harus tetap jujur sama diri sendiri, enggak perlu nyembunyiin apa yang sebenarnya lo rasa."

Aku mengangguk, merasa sedikit lega dengan kata-katanya. Meskipun masih banyak yang harus kupikirkan dan kurasakan, aku tahu bahwa Rangga bukan hanya sekadar seseorang yang menarik bagiku. Rangga sangat dewasa dalam memahami perasaanku yang tak berujung, dia selalu mendukungku dalam segala proses yang sedang kulalui.

Malam semakin larut, suasana di sekitar kami semakin sunyi. Bintang-bintang mulai bermunculan, menyiratkan keindahan malam yang tenang. Dalam keheningan itu, aku merasa lebih dekat dengan Rangga, bukan hanya karena perasaan yang mulai tumbuh, tetapi juga karena pemahaman serta kehangatan yang dia tunjukkan.

Aku tahu perjalanan ini masih panjang, aku masih harus terus mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaanku. Tapi dalam setiap momen yang kuhabiskan bersamanya, aku semakin yakin bahwa perasaanku ini adalah sesuatu yang layak untuk diperjuangkan.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun