Matahari juga membelai taman di kampus, bayangan pohon-pohon menjuntai panjang, membentuk pola-pola yang menawan di tanah. Daun-daun yang bergerak perlahan dalam angin sore menari dalam kilau senja yang memesona, memancarkan keindahan yang memuaku. Matahari yang perlahan tenggelam memantulkan cahayanya di permukaan danau kecil, menciptakan pemandangan yang begitu hangat.
Di antara pemandangan yang memikat itu, Rangga duduk di sebelahku, menambah keindahan sore ini dengan kehadirannya. Matahari sore yang hangat memantulkan cahayanya pada wajahnya, membuatnya terlihat sangat lembut dan juga misterius. Saat dia berbicara, suaranya terdengar lebih tenang, dalam dan aku terhipnotis bersama dengan keindahan alam di sekitarnya.
"Sal, pernah gak lo kepikikiran tentang... bagaimana politik bisa mengubah nasib banyak orang?" tanyanya, dengan nada yang serius, sangat berbeda dari biasanya. Aku menoleh padanya, aku tertarik untuk mendengar lebih lanjut.
"Politik itu seperti matahari sore," lanjutnya sambil menatap langit yang mulai berwarna jingga. "Kadang menyilaukan, kadang menenangkan, tapi selalu ada dan akan selalu memengaruhi siapa saja dengan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Kebijakan yang dibuat oleh mereka yang berkuasa bisa membawa harapan seperti sinar mentari, atau justru malah sebaliknya, membawa kegelapan."
Aku terdiam, memikirkan analoginya yang menarik. "Jadi, menurutmu, kita harus melakukan apa? Atau setidaknya sebagai individu dalam menghadapi situasi politik yang tidak menentu?"
Rangga tersenyum tipis, sorot bola matanya sudah mengantisipasi pertanyaanku. "Kita harus tetap sadar dan harus kritis, Dong! Jangan mudah terpengaruh oleh propaganda sesat. Kita perlu mendidik diri kita sendiri, agar bisa membuat keputusan yang lebih bijak. Terkadang, tindakan kecil kita, seperti memilih dengan hati-hati atau menyuarakan pendapat, bisa berdampak besar, Loh!"
Kemudian, tiba-tiba Rangga beralih ke topik sosial. "Sosial itu lebih kompleks, Sal," katanya sambil memandangi pepohonan yang bergoyang lembut. "Masyarakat kita masih mengalamai ketidakadilan sosial apa lagi kesenjangan sosial. Banyak orang yang hidup dalam kesulitan ekonomi karena sistem yang enggak adil. Tapi... gue percaya, dengan solidaritas juga empati, kita bisa membuat perubahan."
Aku terkesan dengan cara pandangnya yang unik, aku terkesima dengan pola pikirnya yang antik, aku jatuh hati dengan cara bicaranya yang karismatik.
Rangga melanjutkan pemikiran kritisnya dengan penuh semangat, berbicara tentang ketidakadilan sosial serta pentingnya perubahan, tiba-tiba dia mengeluarkan kalimat yang membuatku tersentak. "Lo tahu gak, Sal. Kita enggak bisa hanya duduk diam lalu berharap semuanya berubah. Kita harus bertindak. Jadi, kalau seseorang memiliki perasaan sama orang lain, dia harus berani mengungkapkannya, Sal."
Jantungku berdetak cepat, aku merasakan pipiku memerah. Aku menatapnya bingung, mencoba memahami apakah dia menyadari apa yang baru saja dia katakan. "Skip... Rangga, please skip," pintaku dengan suara sedikit gemetar, berharap dia tidak menangkap kegugupanku.
Rangga mengerutkan kening sejenak, lalu tertawa pelan. "Maaf, kayaknya gue terlalu bersemangat," katanya, mengalihkan pandangan ke langit yang mulai gelap. "Kadang, gue suka lupa, enggak semua orang siap menghadapi kenyataan secepat itu."