Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dirundung Rindu di Ujung Cepu

23 Juni 2024   23:29 Diperbarui: 23 Juni 2024   23:40 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar oleh Ida Rizkha dari pexel.com

"Mas... Aku pulang!" rengek Iyah melalui pesan singkat yang muncul di layar ponsel Ari. Membaca pesan singkat yang datangnya dari Iyah membuat Ari senang sekali, mereka memang sudah tidak berjumpa lama sekali, empat tahun kurang lebih.

"Kapan sampe di sini? Aku jemput di stasiun ya!"  Kepala Ari menunduk, matanya fokus menatap layar ponsel yang sedang digenggam dengan kedua tangannya, jempolnya sibuk hilir mudik. Wajah Ari sumingrah, senyumnya memanjang dari telinga kiri hingga telinga kanan.

"Besok jam 8 pagi, Mas."

"Oke, besok tak jemput. Hati-hati di jalan, Iyah."

Ari menutup aplikasi pesan singkat yang terinstal di ponselnya, setelah itu dia memasukkan ponsel itu ke dalam saku celananya. Ari berjalan tergopoh menuju parkiran motor, dia harus segera pulang ke rumah karena sudah jam lima sore, biasanya jam lima sudah sampai di rumah. Ari tidak pernah pulang lebih dari jam lima sore, kantor kecamatan jam tiga saja sudah tutup, untuk apa berlama-lama di sana, pikirnya.

Ari memilih pulang tepat waktu juga karena istrinya yang kerap kali menaruh perasaan curiga, berjuta pertanyaan pasti meluncur dari bibir tipis istrinya apa bila dia pulang terlambat. Semalaman Ari akan mendengar ocehan itu, kalau Ari tidak dapat memberikan alasan yang tepat maka istrinya akan melakukan razia, ponsel Ari pasti akan tersiksa semalaman.

Kali ini Ari harus memutar otak, bukan hanya karena dia terlambat pulang ke rumah, tapi, tadi Iyah sempat meneleponnya sebelum pesan singkat itu mendarat di ponsel Ari. Iyah mengatakan kalau dirinya diminta untuk pulang ke rumah orang tuanya Ari. Tentu saja Ari merasa senang sekali tapi dia juga takut, kuatir istrinya marah kalau tahu Iyah akan menginap di rumahnya.

Ari dan istri serta ketiga anaknya masih menumpang di rumah orang tuanya, dia belum memiliki rumah sendiri. Rumah orang tua Ari cukup besar, sementara mereka hanya punya dua orang anak saja, Ari dan Ira. Kakak perempuan Ari diboyong suaminya ke jakarta, tentu saja Ari tidak diizinkan untuk pergi meninggalkan orang tuanya.

Sementara Iyah, dia bukan sepupu Ari, bukan saudara jauh apa lagi saudara dekat, bukan. Iyah pernah singgah di hati Ari dulu sewaktu SMA. Iyah sering datang ke rumah Ari, membantu ibunya memasak, mengurus rumah, merawat tanaman apotik hidup ketika dulu sewaktu mereka berdua masih berpacaran.

Ari itu kakak kelasnya, ketika Ari kelas tiga SMA, Iyah anak baru di SMA itu. Iyah jatuh cinta pada pandangan pertamanya, Ari yang nampak gagah di mata Iyah ketika menggenakan seragam Paskibra, Iyah langsung jatuh cinta dengan Arjuna di sekolahnya. 

Iyah adalah gadis yang supel, menghabiskan waktu bersamanya  memang menyenangkan, selain cerdas Iyah juga cantik, tidak butuh waktu lama bagi Ari untuk membalas cinta Iyah. Ibu dan Ayah Ari sangat senang dengan perangai Iyah, sopan, penurut, cerdas dan cantik. Bapaknya Ari menambahkan satu kalimat, gadis yang mandiri dan kuat.

Sejak awal perjumpaan Iyah dengan kedua orang tua Ari, mereka langsung senang, sangat jauh berbeda prilaku orang tua Ari dengan Tini, istrinya Ari. Iyah diterima dengan baik di keluarga Ari, bahkan Ira hingga saat ini masih sering bertemu Iyah, mereka berdua kadang janjian untuk nge-mall bareng, wajar saja karena mereka sama-sama tinggal di Jakarta.

Sepanjang perjalan pulang di atas motornya, Ari mencari sejuta alasan agar tidak diceramahi semalaman oleh Tini. Ari bukanlah laki-laki yang pandai mencari alasan, hingga ban motornya menyentuh pagar halaman rumah orang tuanya, alasan itu tidak juga muncul di kepalanya. Alhasil, dia harus berkata jujur dan siap menerima tembakan bertubi-tubi dari senapan mesin dengan peluru kata-kata tajam yang meluncur bebas dari mulut istrinya.

Kalau sudah begini, Ari hanya diam seribu bahasa, ada secuil perasaan menyesal dalam hatinya, seharusnya dia mendengarkan kata-kata ibunya, nasihat ayahnya dulu sebelum memutuskan untuk menikahi Tini. Namun, nasi sudah menjadi bubur, dia sudah dikaruniai tiga orang anak. 

"Besok Iyah datang, disuruh ibu... Aku juga tadi di telepon Iyah," ucap Ari pelan di hadapan istrinya yang sudah menunggunya sejak tadi.

Wajah Ari agak sedikit pucat, dia takut istrinya marah. Sore itu istrinya tidak marah, dia diam. Tas kerja Ari diambil dari pundak Ari, lalu dibawa masuk. Ari mematung kebingungan. Tini kembali keluar teras menghampiri Ari, dia menarik tangan kanan Ari dan menempelkan punggung tangan Ari ke keningnya. Ari masih diam terpaku. Tini menurunkan resleting jaket yang dipakai Ari, dia melepaskan jaket itu dari tubuh Ari.

"Duduk, Mas..." pinta Tini lembut. Tini juga menuntun Ari duduk di bangku teras yang berada di sebelah pintu masuk. Setelah Ari duduk, Tini berjongkok di hadapan Ari, dia melepaskan sepatu pantopel hitam yang dikenakan Ari beserta kaus kakinya. Sepatu itu diletakkannya di rak sepatu dengan rapi. "Mas mau ngopi dulu, apa mau langsung mandi?" tanya Tini setelah sepatu suaminya bersandar di rak sepatu.

"K-Ko-Kopi aja, Ma." Ari menjawab pertanyaan yang belum pernah keluar dari mulut istrinya dengan gugup.

"Sebentar ya, Mas." Tini mengucapkan kalimat itu dengan lembut sekali, belum pernah Ari mendengar Tini berbicara selembut ini.

Ari semakin bingung, apa yang terjadi dengan istrinya, mengapa dia berubah 180 derajat, perilaku aneh istrinya itu malah membuat Ari semakin cemas.

"Mah... Kamu... enggak apa-apa, kan?" tanya Ari ketika secangkir kopi beserta singkong goreng terhidang di atas meja.

Tini hanya tersenyum, dia memberikan senyum manisnya sore itu, hingga malam tiba Ari seperti raja, dilayani dengan sepenuh jiwa oleh Tini.

***

"Mas... udah hampir jam 8 tuh, Iyah sampe di Cepu jam berapa?" tanya Tini ketika mereka baru saja selesai sarapan pagi. Pertanyaan itu membuat Ari semakin cemas. Ari memang masih menaruh rasa cintanya pada Iyah, tapi dia sadar, dia tidak ingin menyakiti perasaan istrinya, dia simpan rapat-rapat rindu yang kerap merundungnya dengan hebat, apa lagi setelah Ari menikah dengan Tini.

"K-Kamu... tau?"

"Ibu yang kasih tau kemarin," celoteh ibunya yang juga sedang sarapan bersama Ari dan Tini. "Kalau kamu sibuk, biar bapak aja yang jemput."

"Iya, bapak aja yang jemput... sekalian panasin mobil." ucap bapaknya.

Ari hanya diam, dalam kondisi tidak biasa itu, dia segera beranjak dari kursi, berpamitan pada ibu dan bapaknya lalu pada Tini istrinya, dia berangkat kerja.

Sesampainya di kantor Kecamatan, dia langsung membuka ponselnya, menunggu kabar dari Iyah, Ari gelisah, dalam pikirannya bertanya-tanya, apakah Iyah sudah sampai di Cepu?  hingga sore tidak ada kabar apa pun yang singgah di ponsel Ari, dia pun tidak berani menelepon atau sekedar mengirim pesan singkat untuk menanyakan kabar Iyah.

 Matahari semakin jauh ke barat, sore itu tidak seperti sore kemarin, kali ini dia tidak berjalan tergopoh, dia berjalan ke parkiran motornya dengan langkah santai, sesantai-santainya, dia tidak ingin melihat perang dunia di rumah orang tuanya, dia tidak menyalahkan Iyah, tidak juga Tini, tapi dirinya sendiri.

Sesampainya di rumah, Ari mendapati Iyah sedang bercengkrama dengan akrab bersama Ibu dan Bapak, belum pernah Ari melihat wajah Ibu dan Bapak sebahagia ini. Iyah dan Ari beradu netra, Iyah semakin cantik, cinta beserta rindu yang dipendamnya meledak hebat di dalam jiwanya. Ari berjalan perlahan menghampiri Iyah yang sedang duduk di ruang keluarga.

"Apa kabar, Iya?" Ari menyodorkan tangannya.

Iyah berdiri dan langsung menyambar tangan Ari lalu di tempelkannya di kening sambil membungkukkan setengah badannya, "Aku sehat, Mas Ari." Iyah kembali berdiri tegak, dia mendekati Ari perlahan, "Aku rindu, Mas Ari." ucapnya sambil berbisik di telinga Ari, Iyah memeluk  Ari erat, sangat erat. Tangan Iyah mengelus kepala bagian belakang yang di tumbuhi rambut dengan cukuran tipis. 

Dari arah yang berseberangan, Tini, istri Ari melihat Iyah memeluk mesra suaminya. Iyah melihat Tini yang sedang terpaku menatap suaminya sedang diremas rambutnya. Iyah memberikan kedipan sebelah mata pada Tini. 

Tini hanya menitikkan air mata.

-Tamat-

Iqbal Muchtar    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun