Tini hanya tersenyum, dia memberikan senyum manisnya sore itu, hingga malam tiba Ari seperti raja, dilayani dengan sepenuh jiwa oleh Tini.
***
"Mas... udah hampir jam 8 tuh, Iyah sampe di Cepu jam berapa?" tanya Tini ketika mereka baru saja selesai sarapan pagi. Pertanyaan itu membuat Ari semakin cemas. Ari memang masih menaruh rasa cintanya pada Iyah, tapi dia sadar, dia tidak ingin menyakiti perasaan istrinya, dia simpan rapat-rapat rindu yang kerap merundungnya dengan hebat, apa lagi setelah Ari menikah dengan Tini.
"K-Kamu... tau?"
"Ibu yang kasih tau kemarin," celoteh ibunya yang juga sedang sarapan bersama Ari dan Tini. "Kalau kamu sibuk, biar bapak aja yang jemput."
"Iya, bapak aja yang jemput... sekalian panasin mobil." ucap bapaknya.
Ari hanya diam, dalam kondisi tidak biasa itu, dia segera beranjak dari kursi, berpamitan pada ibu dan bapaknya lalu pada Tini istrinya, dia berangkat kerja.
Sesampainya di kantor Kecamatan, dia langsung membuka ponselnya, menunggu kabar dari Iyah, Ari gelisah, dalam pikirannya bertanya-tanya, apakah Iyah sudah sampai di Cepu? Â hingga sore tidak ada kabar apa pun yang singgah di ponsel Ari, dia pun tidak berani menelepon atau sekedar mengirim pesan singkat untuk menanyakan kabar Iyah.
 Matahari semakin jauh ke barat, sore itu tidak seperti sore kemarin, kali ini dia tidak berjalan tergopoh, dia berjalan ke parkiran motornya dengan langkah santai, sesantai-santainya, dia tidak ingin melihat perang dunia di rumah orang tuanya, dia tidak menyalahkan Iyah, tidak juga Tini, tapi dirinya sendiri.
Sesampainya di rumah, Ari mendapati Iyah sedang bercengkrama dengan akrab bersama Ibu dan Bapak, belum pernah Ari melihat wajah Ibu dan Bapak sebahagia ini. Iyah dan Ari beradu netra, Iyah semakin cantik, cinta beserta rindu yang dipendamnya meledak hebat di dalam jiwanya. Ari berjalan perlahan menghampiri Iyah yang sedang duduk di ruang keluarga.
"Apa kabar, Iya?" Ari menyodorkan tangannya.