TAKESHI kembali ke taman itu. Dia duduk di bangku panjang di bawah pohon sakura yang sama, memandangi kelopak-kelopak yang berjatuhan bersama angin yang membawanya terbaring di atas tanah untuk selamanya. Dia merasakan kehadiran sosok yang sangat dirindukannya di antara bunga-bunga yang terbujur di atas tanah itu. Mungkin dia hanya membayangkan, tapi dia yakin gadis kecil itu masih ada di sana.
Takeshi tidak pernah berbicara tentang perasaannya. Dia hanya menatap bunga sakura dan mengenang masa lalu. Dalam benaknya dia selalu bertanya-tanya, apa yang akan terjadi jika dia berada di sana saat Hirosima luluh lantak. Apakah dia bisa melindungi Emiko? Apakah dia bisa mengubah takdir?
***
Tahun demi tahun, musim semi datang dan pergi, Takeshi Tanaka tetap setia pada ritualnya. Di bawah pohon sakura yang sama, dia duduk dalam diam, membiarkan kelopak-kelopak sakura yang berguguran menyentuh kulitnya yang telah menua. Dalam keheningan itu, dia mendengar suara Emiko, suara tawa yang pernah mengisi hari-harinya dengan kebahagiaan.
"Apakah Ayah bahagia?" suara itu bertanya, sehalus bisikan angin.
Takeshi menutup matanya, membiarkan pertanyaan itu menggema di benaknya. "Ayah, Ayah selalu berusaha untuk bahagia, Emiko," jawabnya lirih sambil berbisik, suaranya serak oleh waktu dan penyesalan.
Hari itu kelopak-kelopak sakura jatuh seperti hujan, Takeshi merasakan sesuatu yang berbeda. Ada kehangatan yang hadir, tidak seperti biasanya, sebuah sentuhan yang hampir lenyap terlupakan oleh waktu. Perlahan dia membuka matanya, dia melihat sosok seorang gadis kecil berdiri tepat di hadapannya, gadis kecil itu dikelilingi oleh cahaya yang amat lembut.
"Emiko?" bisiknya, Takeshi takut sosok gadis kecil itu akan menghilang jika dia berbicara terlalu keras.
Gadis kecil itu tersenyum, dalam senyumnya, Takeshi melihat semua kenangan yang telah lama dia simpan. "Aku selalu di sini, Ayah," ucapnya. "Dalam setiap kelopak yang jatuh, dalam setiap angin yang berhembus."
Takeshi segera meraih tangan Emiko, untuk sesaat, dia merasakan waktu membawanya jauh ke dalam kenangan indah itu, membawanya kembali ke hari-hari ketika mereka berdua bisa tertawa dan berlari di bawah pohon sakura.
Takeshi merasakan genggaman tangan Emiko yang terasa hangat dan juga nyata. Sejenak, Takeshi terhanyut dalam aliran waktu yang membawanya kembali ke masa lalu. Dia melihat dirinya yang lebih muda, berlari bersama Emiko di bawah pohon sakura yang sedang bermekaran. Tawa mereka bergema di udara, bebas, lepas dari beban dunia yang menyesakkan.
"Ayah, kita akan selalu bersama, kan?" tanya Emiko, matanya berbinar dengan kepolosan dan juga cahaya kegembiraan.
"Tentu, tentu, Eriko," jawab Takeshi, mengangkat Emiko ke udara, putrinya tertawa riang.
Dalam pelukan waktu yang fana itu, Takeshi merasakan semua kenangan yang telah mereka bagi. Setiap hari yang mereka habiskan bersama, setiap pelajaran yang diajarkan, dan setiap senyum yang dipancarkan, semuanya terasa begitu nyata dan hidup dalam ingatannya.
"Jangan lupakan aku, Ayah," bisik Emiko, suaranya lembut dan terdengar sangat jelas.
"Tidak akan pernah, Emiko. Kamu adalah bagian dari jiwaku," balas Takeshi, dengan suara yang penuh dengan kehangatan dan juga cinta.
***
Takeshi Tanaka, seorang ayah yang penuh cinta, menghadapi dilema yang mengoyak hatinya. Sebagai tentara, dia telah bersumpah untuk melayani negaranya, tetapi sebagai ayah, dia tidak bisa membayangkan meninggalkan Emiko, putrinya yang masih kecil. Dia tahu bahwa perang adalah sebuah pohon kekejaman dengan buah kehilangan, dia takut akan tidak pernah kembali untuk melihat Emiko tumbuh menjadi wanita yang kuat, penuh kelembutan dan kasih sayang seperti yang ia harapkan.
Takeshi duduk di samping tempat tidur Emiko, menatap wajahnya yang damai dan tenang dalam tidurnya. "Bagaimana aku bisa pergi?" gumam Takeshi pada dirinya sendiri. "Bagaimana aku bisa meninggalkanmu?"
Batin Takeshi tersiksa, tercabik-cabik oleh tugas negara. Dia telah dididik untuk menghormati kewajiban dan tanggung jawab, tetapi cintanya kepada Emiko menghadirkan sebuah argumen yang tidak dapat dia abaikan. Malam itu, dia berjalan-jalan di bawah pohon sakura, mencari jawaban di antara kelopak-kelopak yang berguguran.
"Apakah aku seorang pengecut?" tanyanya pada bunga sakura. "Apakah aku mengkhianati negaraku jika aku memilih untuk melindungi putriku?"
Akhirnya, setelah malam yang panjang yang penuh dengan pergulatan batin yang tersiksa, Takeshi membuat keputusan yang mengubah hidup Takeshi selamanya. Dia memutuskan untuk pergi berperang, mengharumkan nama Jepang. Dia siap menghadapi konsekuensi apa pun yang akan datang, meskipun dia tidak mampu meninggalkan Emiko.
Ketika fajar menyingsing, Takeshi menulis surat kesediaan dirinya menjadi tentara di garis terdepan membela tanah air yang dicintainya. Dia tahu bahwa dia mungkin saja kehilangan nyawanya, tetapi bagi Takeshi, melindungi putrinya jauh lebih penting daripada apa pun yang ada di dunia ini.
"Negara ini membutuhkan Ayah, Nak!" Takeshi berteriak dalam hatinya, untuk menutupi kesedihan yang membungkus hatinya.
***
Dengan tangan yang gemetar, Takeshi membuka surat yang dikirimkan kepadanya, kata-kata di dalamnya terasa seperti pukulan yang menghancurkan hatinya. "Hiroshima telah hancur," begitu bunyi surat itu. "Kekuatan baru yang mengerikan telah dilepaskan."
Jepang mengalami kekalahan, Takeshi berangkat ke Hiroshima, hatinya dipenuhi dengan ketakutan, dia kehilangan harapan. Setibanya di Hirosima, Takeshi berjalan melalui reruntuhan kota, memanggil nama Emiko, berharap dalam kepanikan mendengar suaranya yang lucu memanggil balik. Namun, yang ada hanyalah keheningan serta pemandangan yang menyayat hati.
Setiap puing yang dia angkat, setiap seruan yang dia lontarkan, dia teriakkan semakin memperdalam rasa sakit dan keputusasaan yang dia rasakan. "Emiko!" teriaknya, suaranya hampir hilang di antara reruntuhan.
Takeshi mencari hari demi hari, tetapi tidak ada tanda-tanda Emiko. Kenyataan yang pahit mulai tenggelam, menyelusup ke dalam jiwanya; putrinya, cahaya dalam hidupnya, telah hilang selamanya bersama istri yang sangat dicintainya. Di bawah pohon sakura yang hancur, dia jatuh berlutut, menangis atas sebuah kata kehilangan yang tak terungkapkan.
"Maafkan aku, Emiko," bisiknya. "Ayah seharusnya ada di sini untukmu."
Di tengah deraian air mata kesedihannya, Takeshi melihat kelopak sakura yang berguguran, dan dalam sebuah momen yang singkat itu, dia merasakan kehadiran Emiko. Nampak di kelopak mata Takeshi, putrinya berbicara kepadanya melalui bunga-bunga itu, menghiburnya, memberitahunya bahwa cinta Eriko pada Takeshi tidak akan pernah hilang, bahkan dengan kekuatan apa pun yang ada di dunia ini.
***
Ketika matahari perlahan mulai terbenam, spektrum cahayanya yang memudar inci demi inci, sosok Emiko menghilang. Takeshi membungkukkan tubuhnya, mengumpulkan kelopak-kelopak sakura yang telah jatuh ke tanah. Dia menyimpannya di dalam buku tua yang dia bawa, buku yang berisi cerita dan impian-impian Emiko saat itu.
"Aku akan terus mengingatmu," janji Takeshi, suaranya penuh dengan kekuatan baru. "Dan aku akan terus hidup, untuk kita berdua."
Musim semi akan datang lagi, dan Takeshi akan kembali ke taman itu, di bawah pohon sakura yang sama. Tapi sekarang, dia tidak hanya membawa kenangan, dia juga membawa harapan dan keberanian untuk menghadapi hari esok.
-Tamat-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H