Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Iblis Lebih Pandai Beribadah Ketimbang Manusia

28 Mei 2024   14:38 Diperbarui: 28 Mei 2024   14:38 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar oleh lalesh aldarwish dari pexel.com

KAU tahu siapa yang mengajarinya berperangai seperti itu? Bukan! Kau salah, mana mungkin dia mengajarinya seperti itu, tengok saja kesehariannya, seperti orang yang saleh, bukan? 

Mengapa kau masih saja memaksa pikiran kau? Dia bukan Iblis.

***

Seharusnya dia mendegarkan ucapanku waktu itu, kini semuanya sudah terlambat, entah bagaimana cara mengurai benang kusut yang membelenggu dia yang akhirnya menyeretku masuk kedalam pusaran masalah yang sangat pelik.

Bahkan dengan entengnya mulut yang berisi gigi yang telah rapuh itu menyumpah pada anak-anak yang telah susah payah dilahirkannya, "Anak Durhaka!" Begitulah kata-kata yang kerap meluncur dengan deras menghantam dinding-dinding kasih sayang yang pernah dibangunnya sejak dulu.

Mungkin, kau akan berfikir, anaknya-lah yang salah! Bukan, aku tahu dengan pasti perangai induk anak-anak itu, bibir tipis keriput milik induk anak-anak yang disumpahinya memang tajam, sejak aku mengenalnya, mana pernah bibir itu basah dengan pujian, yang ada hanya kritikan, hinaan, cacian. 

Tapi, kalau kau bertemu dengan induk anak-anak itu, pasti kau akan terpukau, percayalah, banyak yang menyebutnya wanita solehah, pandai sekali dia menyelimuti perangainya dengan jubah para sufi yang telah mencapai tingkatan ilmu paling tinggi, sehingga menjadi buta, mata dari para manusia-manusia yang berada di sekitarnya.

Kau harus tahu, dia, induk anak-anak itu, rajin sekali beribadah, coba saja kau tengok, mana pernah dia lupa dengan kitabnya, kala malam tiba, dia pun rajin terjaga hanya untuk beribadah, dia juga senang bersedekah.

Terkadang lucu melihat perangai induk anak-anak itu, seharusnya ibadah-ibadah yang dilakukannya membuat dia semakin menjauh dari dunia, namun, sampai aku cerita hari ini, perangai induk itu semakin menjadi-jadi, tak ayal lagi, semakin tua semakin menjadi-jadi, boleh jadi, dunia pun jijik melihatnya berperangai begini.

kemarin, Datuk Romli sempat menegurnya, pasalnya, wanita yang usianya sudah dekat dengan kuburan itu berjalan berduaan, bergandengan tangan dengan seorang pria tua dari desa seberang, mata datuk Romli dibuat sakit dengan pemandangan tak sedap itu. Apalagi suami dia yang telah lama meninggal dunia itu masih satu suku dengan Datuk Romli.

"Anak Durhaka," teriaknya lagi, "Kau tak berhak atur-atur hidupku!" Mata yang sudah dipenuhi dengan kerutan itu terbelalak. Begitulah teriaknya di muka rumah.

"Kemarin Datuk Romli-" Baru beberapa kata melompat dari mulut anaknya,  induk yang sudah keriput itu berang.

"Kalian percaya dengan kata-kata Datuk Romli?" Suaranya menggelagar, memecah teriknya matahari yang sedang bersinar siang itu.

Coba kau bayangkan, siapa yang harus aku bela? Datuk Romli, mana mungkin dia berbohong, dia orang yang sangat bijaksana, lagi pula, apa untungnya bagi Datuk Romli berbohong? Induk anak-anak itu? Aku yakin dia berbohong.

Aku akan ceritakan pada kau, Induk anak-anak itu tidak bahagia selama dia menjalani pernikahan selama dua puluh delapan tahun yang akhirnya induk anak-anak itu menjadi janda karena cerai mati. Padahal, tanpa suaminya yang telah mati itu, mana mungkin dia dapat sawah berpetak-petak, itu semua berkat kerja keras suaminya, memang harus diakui, suaminya itu pemberang, tak mungkin ada asap kalau tak ada api, sama dengan suaminya itu, tak mungkin dia berang tanpa sebab.

Sementara, pria yang sudah sama keriputnya dengan Datuk Romli yang ditemukan sedang memadu kasih dengan induk anak-anak itu, yang tanpa sengaja nampak di mata Datuk Romli di sebuah gubuk di tepi sungai kemarin itu namanya Atai, dia dari desa seberang, seorang pengangguran, agak aneh rasanya mendengar kata pengangguran di kampung ini, padahal, asal mau bekerja dan rajin saja tak akan ada kata pengangguran.

Atai bukanlah pribumi kampung ini, istrinya pun bukan.

Hei, kenapa kau terkejut? Iya, Atai ini memang masih beristri, masih hidup, rajin pergi ke sawah, masih segar bugar, meskipun usianya sudah lebih dari setengah abad, jauh dengan kondisi induk anak-anak itu, sudah tua renta, jalan pun sulit, keriput, sakit-sakitan. 

Tunggu, jangan kau potong ceritaku.

Iya, tentu saja aku tahu, pria tua bangka itu hanya ingin mengincar sawah milik induk anak-anak itu.

Biarku selesaikan dulu ceritaku, baru kau berpendapat.

Atai dan induk anak-anak itu dulu pernah satu sekolah di SD, karena nakal, Atai dikirim ke Jawa. Dia kembali ke kampung ini dan tinggal di desa sebelah setelah menikah dan punya dua anak selama tinggal di Jawa, setelah aku selidiki hasil dari bertanya pada Yusri kawan istriku, Atai kabur dari Jawa ke kampung ini karena terlibat kasus penipuan.

Kau tanya padaku bagaimana mereka berdua bisa bertemu?

Seharusnya pertanyaan itu kau tanya saja pada Tuhan, mengapa mereka berdua dipertemukan? Bukankah menjadi ujian bagi mereka, anak-anak mereka, keluarga mereka, lalu untuk apa kau bertanya? Kita seharusnya membatu mereka, mendoakan yang terbaik untuk mereka.

***

"Rampok, kalian semua..." teriak induk anak-anak itu di muka rumah.

Mendengar teriakkan itu membuatku segera berhamburan mengampiri rumah induk anak-anak itu, "Yur, Padri, Basri... kenapa ribut-ribut?" tanyaku ketika menghampiri mereka.

"Ungku," sapa mereka beramai-ramai, mereka cepat-cepat meraih tangan kananku lalu diletakkannya di kening mereka satu-persatu.

"Yur..." Aku memanggil anak tertua, "Kembalikan surat sawah itu," Aku menunjuk lembaran-lembaran kertas yang sedang digenggam oleh Yurnalis.

"Tapi... Ungku..."

"Sudah, berikan saja surat sawah itu padanya," ucapku sambil merangkulnya. "Ungku sudah tahu masalahnya, Ungku juga sudah tahu siapa laki-laki yang mendekati Mak kalian."

"Kalau Ungku dah tau, kenapa tak Ungku larang?" tanya Padri tegas.

"Ungku tidak dapat mengubah ketetapan Tuhan, Padri.  Ungku hanya dapat membantu kalian melewati masalah ini dengan ikhlas dan sabar," kataku lembut sambil menggiring mereka masuk ke dalam rumah.

Aku mengajak mereka bertiga Yur, Padri dan Basri pergi ke rumahku. Andai saja mereka anak-anakku, pastilah sangat bangga sekali aku, mereka anak-anak yang baik, cerdas, mandiri, berprestasi. Anak-anak itu tidak pernah mendapatkan pujian dari induknya, tentu saja aku tau, aku tinggal persis di depan rumah mereka, sejak kecil mereka selalu berprestasi, hingga dewasa pun banyak prestasi yang mereka raih, sayangnya, tak pernah meluncur kalimat pujian dari induk mereka.

Kau sudah dengar ceritaku tadi, kan? Induk anak-anak itu bersampul bak wanita saleh, saban hari membaca kitab, sembahyang pun tak pernah luput, tapi coba kau pikir, mengapa induk anak-anak yang sudah tak lagi muda sampai seperti itu perangainya?

Bukankah semestinya ketika manusia yang sudah dekat dengan tanah kuburan berperangai lebih bijak?

Sini, dekatkan telinga kau ke moncongku, biarku beri tahu.

Itu sebabnya, banyak guru bertuah; carilah ilmu dari guru yang benar, jangan hanya hasil dari mengaji kuping saja, tahu kau apa itu mengaji kuping? ilmu yang disampaikan masuk telinga kiri lalu keluar lagi dari telinga kiri, tidak ada satu pun yang melekat di benak. Kau mempertanyakan tentang ibadahnya? Kau tahu, Iblis lebih pandai beribadah ketimbang manusia.

Iblis lebih tahu tentang keikhlasan, Iblis lebih tahu tentang ketakwaan. Kau lihat induk anak-anak itu, apakah dia ikhlas dengan takdir yang Tuhan berikan? apakah dia takwa dalam menjalankan perintah Tuhan? kalau kau jawab, iya, artinya kau sama saja dengan induk anak-anak yang sudah tua renta itu. 

Kalau induk anak-anak itu mengikhlaskan takdir yang Tuhan berikan ketika menjalani hidup di masa muda bersama suaminya yang telah lebih dulu meninggalkannya, Tuhan tidak akan menyelipkan nama Atai di penghujung usianya, tengoklah dengan biji mata kau itu, mereka berdua bergandengan tangan, sepertinya Iblis pun jijik melihatnya.

"Yur, Padri, Basri..." panggilku ketika mereka telah duduk di dalam rumah, "Tak perlu kalian lawan mak kau itu, Ungku dah tau semua perangainya, biarlah Mak kalian itu menjalani hidupnya, biarkan Tuhan yang membolak-balikkan hatinya, saat ini Mak kalian sedang beribadah bersama Iblis, doa-kan saja semua akan berakhir dengan baik."

 -Tamat-

Iqbal Muchtar

  

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun