"Kamu mau ikut apa enggak?" tanya Andri, mereka baru saja pulang sekolah. Andri dan Lita sekolah di SMP yang sama, mereka berdua sekolah di SMP Negeri favorit di desanya. Andri kelas dua, Lita kelas satu.
"Kakak emangnya mau kemana?"Â
"Ya, pulang..." Mendengar kata pulang, Lita tidak menanyakan lagi, dia langkahkan kakinya di belakang kakaknya di siang hari yang terik itu.
Lita tahu, arah menuju rumahnya tidak seharusnya lewat jalan yang mereka tapaki siang itu, jalan aspal berlubang yang terbakar matahari menjadi saksi bisu Andri dan Lita ketika mereka berdua sudah kehabisan uang untuk ongkos pulang dari sekolah.
"Kalau udah abis, kenapa gak pake uang aku aja, Kak?" Lita menatap wajah kakaknya yang lelah.
"Kata siapa habis? Kakak lagi nabung, buat beli sepeda!" tukasnya sambil melotot. Lita diam, dia tahu kakaknya sedang lapar.
Lita menghentikan langkahnya, tangan kecilnya dimasukkan ke dalam tas yang sudah lusuh, dia merogoh dan matanya mencari-cari sesuatu, "Kak... tungguin dong," teriaknya, tangan kecil Lita masih di dalam tas lusuhnya.
"Ayo, cepet... laper nih!" balas Andri sambil berteriak.
"Ini..." ucap Lita sambil memberikan roti yang tinggal separuh.
"Kenapa enggak kamu makan?" Mata Andri tak dapat lepas dari roti yang tinggal separuh itu, seperti seekor Serigala yang melihat mangsanya.
"Buat Kakak aja, aku masih kenyang..." Lita menyodorkan roti itu, Lita tidak nafsu makan sejak kemarin. Volume otaknya yang masih kecil itu dipaksa bekerja keras memikirkan kondisi kehidupannya yang berbeda dengan teman-teman sebayanya di sekolah, otak yang masih muda itu dipaksa untuk berfikir tentang ekonomi keluarga.