Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Izinkan Aku Mengisi Hatimu yang Hilang

10 Mei 2024   09:54 Diperbarui: 12 Mei 2024   20:29 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar oleh Maria Tyutina dari pexel.com

Di dalam rimbunan kenangan, terdapat kebisuan yang merangkul setiap sentuhan rindu. Kehilangan, itu adalah sebuah perjalanan menuju hati yang tak terjamah oleh kata-kata. Dalam pergulatan dengan kekosongan, manusia akan menemukan keajaiban-keajaiban yang tersembunyi di balik kabut kesedihan.

Seperti dedaunan yang meranggas di musim gugur, manusia belajar merelakan yang telah tiada dengan harapan baru yang tumbuh dari setiap jatuhnya helai kenangan-kenangan itu. Dalam sunyi, manusia mendengar dentingan memori yang terukir abadi dalam lorong waktu.

Namun, di antara kerinduan yang menghampiri, manusia-manusia itu menemukan kekuatan untuk melangkah. Kehilangan bukanlah akhir, melainkan permulaan dari bab-bab baru dalam buku kehidupan. Dalam setiap langkah yang manusia ambil, mereka membawa cerita-cerita yang menjadi bagian tak terpisahkan dari diri mereka.

Ingatlah, manusia-manusia itu tidak sendiri dalam perjalanannya. Di antara reruntuhan rindu, manusia-manusia itu akan menemukan tangan-tangan yang siap menyusun serpihan-serpihan itu kembali, suara-suara yang menghibur, serta cahaya yang menuntun mereka melalui kelamnya malam. Bersama-sama, mereka mengarungi lautan kehilangan dengan penuh keberanian dan kebijaksanaan.

Sebab di dalam kehilangan, manusia akan menemukan esensi sejati dari kehidupan. Di dalam pelukan kekosongan, manusia merangkul keberadaan dirinya yang utuh. Manusia belajar tentang nilai-nilai yang sebenarnya penting, tentang cinta, keikhlasan, dan keberanian untuk melangkah maju.

Jadi, apakah manusia akan merelakan kehilangan? Atau membiarkannya menjadi guru yang mengajarkan mereka akan kehidupan. Bukankah seharusnya mereka membiarkan setiap jatuhnya daun menjadi pengingat akan keindahan yang pernah mereka miliki? Matahari pasti terbit, kehidupan yang baru akan muncul, lebih baik menyambut hari-hari baru dengan hati yang penuh harap.

***

"Aku enggak bisa lupain kamu!" isak Dinda, sambil meratapi kehilangan yang melingkupinya. Di balik tangisnya, tersembunyi luka-luka yang tak terucapkan, dan di antara suara isaknya, tersirat kerinduan yang menggema dalam jiwa yang terluka. "Aku enggak bisa lupain kamu," serunya sekali lagi, seperti mantra yang terus bergema di bawah alam sadarnya.

Dinda menghadapi perasaan hampa, dia berusaha dengan penuh keberanian untuk tegar, meskipun terasa seperti memikul beban yang tak terhingga. Setiap detik yang berlalu bagaikan pisau yang menusuk-nusuk dalam hatinya yang rapuh. Namun, di tengah kegelapan hatinya itu, ia berusaha meraih serpihan-serpihan cahaya kecil dari kenangan-kenangan bersama orang yang dicintainya itu, membangun kembali jalan yang terputus di dalam dirinya.

Kehilangan itu membentuk kisah hidupnya, merajut benang-benang kepedihan menjadi mahakarya yang tak ternilai. Dalam kebisuan malam, ia menemukan kekuatan untuk melangkah maju, meski langkahnya kadang gemetar dan ragu. Dan di setiap senja yang merayap perlahan, Dinda menyaksikan keajaiban baru: kemampuannya untuk tumbuh dan mekar, bahkan di tengah tandusnya kehilangan.

"Aku enggak bisa lupain kamu," bisiknya lagi, kali ini dengan suara yang tenang dan tulus. Sebab dalam perjalanannya yang penuh liku dan kepahitan, Dinda menyadari bahwa meskipun orang yang dicintainya telah pergi, cintanya tetap hadir, mengalir dalam setiap hembusan nafasnya. Dan di sela-sela kesedihannya, ia menemukan kedamaian dalam mengingat dan merayakan keberadaan yang pernah ada, sekaligus mempersiapkan diri untuk menyambut cinta yang baru.

***

Dinda telah membuka lembaran baru dengan tinta yang penuh warna, namun, sayangnya kata hilang itu tidak pernah bisa pergi dari kehidupan manusia, hilang akan selalu menghantui setiap langkah setiap insan yang bernyawa, "Kenapa kamu pergi, Mas?" renung Dinda, seraya mengikuti jejak langkahnya yang melintasi lorong-lorong kehidupan yang baru. Di antara riuh rendah dunia yang terus berputar, ia masih terhanyut dalam aliran kenangan yang tak pernah surut. "Kenapa kamu pergi, Mas?" desahnya dengan suara yang penuh kerinduan, seolah mencari jawaban di antara gemerlap bintang-bintang di langit malam.

Namun, dalam kelamnya kehampaan, Dinda menemukan keajaiban baru: kekuatan untuk menghadapi kehilangan dengan penuh keteguhan. Meskipun luka-luka masih membekas di relung hatinya, ia memilih untuk terus maju, membangun hidupnya kembali dengan penuh semangat dan harapan, meskipun untuk yang kedua kalinya.

Sebab meskipun kata "pergi" itu kini telah terukir dalam cerita hidupnya, ia tahu bahwa kehilangan bukanlah akhir dari segalanya. Dalam setiap kesedihan, ia menemukan pelajaran berharga tentang cinta, keberanian, dan ketabahan. Dan di balik bayang-bayang yang menghantui, Dinda menemukan cahaya yang memandunya menuju masa depan yang lebih cerah, meskipun ini adalah kisah keduanya.

Mungkin kata "hilang" akan selalu menjadi bagian dari kisah hidup manusia. Namun, Dinda memilih untuk melihatnya sebagai bagian dari perjalanan yang membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijaksana. Dengan tinta yang penuh warna, ia menulis kembali kisahnya, memadukan kehilangan dengan harapan, dan mengukir takdirnya sendiri di atas lembaran hidup yang baru.

***

"Dinda..." Air mata dari pria yang menetes di atas pusaranya itu menggetarkan bumi, seolah menggambarkan kehancuran batin yang tak dapat terucapkan jutaan kata. Mata pria itu menjadi cermin dari kepedihan yang melanda hatinya, memantulkan kilatan kesedihan yang amat sangat mendalam. "Dinda..." ucapnya lagi, suaranya sangat memilukan, suara itu bergetar merambat ke seluruh penjuru menghantam waktu.

Dalam titik-titik air mata yang jatuh, tergores riwayat panjang dari cerita cinta yang kini hanyut dalam aliran waktu yang meninggalkannya terpaku. Di antara gemuruh isak yang memecah keheningan, terdapat panggilan jiwa yang tak pernah terjawab, panggilan yang merangkul rindu serta kekosongan dari relung jiwa.

Namun, di balik kepingan reruntuhan perasaan, terdapat setitik kekuatan yang tumbuh. Dalam setiap tetes air mata, terdapat pengingat akan kehidupan yang harus terus berlanjut, meskipun dengan warna yang berbeda. Dan di dalam kehampaan yang menghantui, pria itu menemukan keberanian untuk melangkah, membawa serta kenangan-kenangan yang telah membentuk dirinya menjadi pria yang utuh, seperti dirinya saat ini.

"Dinda..." panggilnya lagi, kali ini dengan suara yang lebih tenang, namun tetap saja, ada getaran emosi yang mengalir dari lubuk hatinya. Sebab meskipun rindu itu terasa menyakitkan, ia tahu bahwa di baliknya terdapat keajaiban-keajaiban yang sedang menantinya, mereka sedang menanti untuk diungkapkan. 

Dan dengan setiap isak yang keluar dari bibirnya, pria itu mengukir kisah cinta yang abadi, meleburkan dirinya dengan keabadian dalam belahan jiwa yang kini terbujur kaku dalam ruang yang sempit.

***

"Rusdi," Suara seorang wanita memanggilnya dari kejauhan, "Rusdi..." Suara itu terdengar semakin dekat, sebenarnya Rusdi malas menoleh, tapi, karena wanita yang tadi memanggilnya sudah menepuk pundaknya, terpaksa Rusdi menoleh.

"Ada apa Rima?" tanya Rusdi malas, karena dia ingin cepat-cepat pulang, sore ini dia ingin mengunjungi tempat peristirahatan terakhir kekasih hatinya itu, memang selalu begitu setiap akhir pekan, dia selalu terburu-buru, dia ingin mengejar suasana sore, ketika matahari memberikan kehangatan dari warna yang menyejukan jiwa, Dinda senang dengan sore, menurutnya waktu sore adalah sebuah keindahan, namun sayang, waktu itu hanya sebentar.

"Boleh ikut?" pintanya dengan mata berbinar-binar, tangannya di satukan dan di letakan di depan dadanya, lalu menggerakan bibirnya tanpa suara, "please." Rima memohon dihapan Rusdi.

Melihat gelagat Rima seperti itu membuat Rusdi bingung, dia tidak tahu harus berkata apa, kalau pun dijawab iya, pasti akan sangat cangung, kalau pun di jawab tidak, pasti dia kecewa, "Mmmmm...." Rusdi menggaruk-garuk kepala setelah itu dia melirik jam yang melingkar di tangan kanannya, "Gue, enggak tau harus bilang apa, Rim."

"Aku tahu Rusdi, kamu tidak akan bilang iya..." Rima menatapnya dalam. "Please... izinkan aku singgah di hatimu yang telah hilang."

-Tamat-

Iqbal Muchtar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun