Dan dengan setiap isak yang keluar dari bibirnya, pria itu mengukir kisah cinta yang abadi, meleburkan dirinya dengan keabadian dalam belahan jiwa yang kini terbujur kaku dalam ruang yang sempit.
***
"Rusdi," Suara seorang wanita memanggilnya dari kejauhan, "Rusdi..." Suara itu terdengar semakin dekat, sebenarnya Rusdi malas menoleh, tapi, karena wanita yang tadi memanggilnya sudah menepuk pundaknya, terpaksa Rusdi menoleh.
"Ada apa Rima?" tanya Rusdi malas, karena dia ingin cepat-cepat pulang, sore ini dia ingin mengunjungi tempat peristirahatan terakhir kekasih hatinya itu, memang selalu begitu setiap akhir pekan, dia selalu terburu-buru, dia ingin mengejar suasana sore, ketika matahari memberikan kehangatan dari warna yang menyejukan jiwa, Dinda senang dengan sore, menurutnya waktu sore adalah sebuah keindahan, namun sayang, waktu itu hanya sebentar.
"Boleh ikut?" pintanya dengan mata berbinar-binar, tangannya di satukan dan di letakan di depan dadanya, lalu menggerakan bibirnya tanpa suara, "please." Rima memohon dihapan Rusdi.
Melihat gelagat Rima seperti itu membuat Rusdi bingung, dia tidak tahu harus berkata apa, kalau pun dijawab iya, pasti akan sangat cangung, kalau pun di jawab tidak, pasti dia kecewa, "Mmmmm...." Rusdi menggaruk-garuk kepala setelah itu dia melirik jam yang melingkar di tangan kanannya, "Gue, enggak tau harus bilang apa, Rim."
"Aku tahu Rusdi, kamu tidak akan bilang iya..." Rima menatapnya dalam. "Please... izinkan aku singgah di hatimu yang telah hilang."
-Tamat-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H