Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Embun di Ujung Rindu

17 Desember 2023   08:29 Diperbarui: 17 Desember 2023   10:05 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar dari pexel.com 

EMBUN, mereka lahir dari pelukan malam, mengemban rahasia bunga-bunga yang tidur terlelap. Setiap tetesan embun adalah kisah bisu dari malam yang berlalu, menangkap sinar rembulan dalam butir-butir kecil yang memantulkan keindahan tersembunyi. Seperti mutiara di leher alam, embun menjelma menjadi permata yang menari dalam gelapnya malam.

KAU pergi menjauh, mungkin saja kau merasa tak nyaman berada di gubuk reyot ini atau karena tanah kelahiran kau ini tak mampu mewujudkan mimpi kau yang menjulang tinggi itu, ditambah pula negeri ini baru saja lepas dari belenggu penjajahan, berpuluh-puluh tahun lamanya. Kau datang bersimpuh untuk meminta restu pergi ke tanah Jawa.

"Izinkan saya merantau, Ayah!" pinta kau saat itu. Suara kau pun masih terngiang, seperti baru kemarin rasanya. Hanya foto kau yang terpajang di dinding yang kusam itu.

Mungkin kau tak paham rasanya mengkhawatirkan seorang anak, suatu hari nanti kau akan mengerti. Itu pun kalau umur kau panjang, kau memilih berteman dengan api di tanah Jawa ketimbang bermain dengan sekam di tanah kelahiran kau.

"Saya ingin membangun negeri ini, Ayah!" Itu lah alasan yang kau ucap saat kau bersimpuh.

***

"Dah ada kabar dari Basri?" tanya Zubair sambil mengaduk kopi. Ia menatapku tanpa memedulikan kepulan asap dari air yang baru saja mendidih yang dituangnya ke dalam gelas. Politik di negeri ini pun sama panasnya dengan kopi yang diaduknya.

"Belum ada," jawabku sambil menyesap dalam-dalam gulungan kretek berkulit jagung yang bergelayut di sela-sela jariku.

"Tak perlu kau resah hati memikirkan Basri, dia anak yang cerdas, pandai bergaul, pastilah dia sedang mengejar mimpinya membangun negeri ini," ucap Zubair dihadapanku dengan segelas kopi yang disuguhkannya. Mungkin dia sudah pikun, rambutnya memang sudah putih semua, Basri sudah 6 bulan tidak mengirim surat, sebelumnya 3 atau 4 surat perminggu pastilah mendarat di gubuk reyot itu. Aku yang mengizinkannya pergi, tentulah aku risau.

"Eh, ada kawan kau di Jawa?" tanyaku serius, sorot tajam mataku memaku bola mata Zubair.

Mendengar kalimat itu membuatnya menghentikan langkahnya untuk kembali ke menuang kopi bagi pengunjung kedai lainnya, ia duduk persis di sebelahku, termenung sekejap lalu ia membalas menatapku, agak lain tatap ini. "Kau mau pergi tanah Jawa, Ambun?"

"Surat terakhir Basri, 6 bulan yang lalu, aku mau pergi ke alamat itu."

"Si Mar?" tanyanya. Mendengar nama istriku disebutnya membuatku kembali menyesap dalam-dalam gulungan kretek yang sudah memendek, hembusan asap putih terbang berkeliaran menutupi pandangan Zubair yang menunggu jawabanku.

"Si Mar itu hanya menangis saja pandainya, selepas Isya pastilah air matanya menetes sambil memeluk foto Basri." Kupadamkan bara api yang membakar kretek yang telah memendek ketika mengatakan kalimat itu. "Sampai habis embun turun dari langit, tak habis air mata si mar itu, dah sakit-sakit badan, sakit pula hatinya."

"Masih ingat aku rasanya." Zubair menunjuk-nunjuk radio yang ada di kedainya. "Basri berapi-api berpidato untuk partai itu." Basri memang anak yang cerdas, pandai bergaul namun ia kurang pandai memahami situasi panasnya iklim politik di negeri yang baru seumur jangung lepas dari belenggu penjajahan. Bukan hanya Zubair yang mendengar suara Basri di Radio, Si Mar istriku pun senangnya tak tanggung-tanggung, hampir melekat daun telinganya itu dengan radio, memperhatikan kata demi kata yang Basri gaungkan dari tanah Jawa.

"Ada kan? Kau pasti banyak kawan." Aku menodongnya agar ia memberikan kepastian dari pertanyaanku tadi. Zubair sudah puluhan tahun di kedai ini, makan tidurnya pun di kedai ini pastilah ada yang dikenalnya.

"Rambut kita sudah sama putihnya, Ambun ... kawanku tentulah ia kawan kau juga." Ia memanjangkan pandangannya jauh kedepan, sepertinya ia sedang memutar otak untuk mencari solusi. Beberapa detik kemudian dia tersenyum menghadap wajahku. "Nah ... nanti selepas Isya kita pergi ke rumah Datuk Sinaro," ucapnya sambil mencolek dengkulku.

"Untuk apa?"

"Mencari solusi." Dengan wajah yang penuh konsentrasi, matanya menjadi jendela menuju dunia pikirannya yang sedang bekerja keras. Ekspresinya merangkak perlahan-lahan melintasi lanskap pikirannya yang kompleks, mencoba menjalin benang-benang permasalahan yang tersebar. Bibirnya sedikit terlipat, mencerminkan keingintahuannya yang mendalam, bak penjelajah yang menghadapi tantangan intelektual. Macam itu lah perangai Zubair, sekolah pun tidak, pandai membaca dan berhitung pun berkat Buya Risman yang pernah bersekolah di HIS, setelah pandai langsung di suruh pergi ke ladang membantu bapaknya.

"Pantang bagiku berpangku tangan dengan Datuk Sinaro," bantahku. Sebagai pemangku adat seharusnya tidak berat sebelah, lain hal dengan Datuk Sinaro, memang begitulah tabiat manusia, lupa dengan daratan ketika sudah terbang tinggi ke angkasa. Semenjak menjabat banyak orang dari tanah jawa yang datang ke rumahnya, agar mendapatkan suara bagi partainya.

"Lantas apa lagi solusi yang kau punya, Ambun?" katanya sambil menepuk pundakku, "Datuk Sinaro pasti ada kawan di sana."

"Biar aku sendiri saja yang pergi ke tanah Jawa mencari Basri."

***

EMBUN, mereka adalah penari bisu yang memukau di pangkuan sang fajar, mewarisi malam dengan keanggunan yang tak terperikan. Dalam keheningan terpaan bulan, titisan-titisan kristal ini membentuk sebuah kerajaan kecil, memperlihatkan kemilau lembutnya sebagai perhiasan alam yang sempurna.

KAU membenamkan kepalamu pada bumi, di atas hamparan sajadah lusuh yang tak lagi berwarna. Isak tangis kau itu memecah tarian embun yang sedang turun dalam kedamaian. Apa yang kau tangisi? Basri? Anak satu-satunya yang kau lahirkan itu?

Tuhan pun akan marah kalau kau hanya duduk bersujud di sudut ruangan gubuk reyot yang dingin itu sambil menangis, karena Dia memberi kau kekuatan untuk berdiri, melangkah, dan mengubah nasib kau. Dia memberi kau akal untuk berpikir, tangan untuk berkarya, dan hati untuk mencintai. Jangan biarkan kesedihan memadamkan cahaya harapan dalam diri kau. Bangkitlah, berjuanglah, dan yakinkan Tuhan bahwa kau akan menggunakan karunia-Nya dengan baik, tidak hanya untuk diri kau sendiri, tetapi juga untuk membuat negeri ini menjadi tempat yang lebih baik.

Kau juga yang membiarkan anak tunggal kau itu berideologi Soviet, yang mengharamkan segala hal yang berbau kapitalisme. Namun, sekarang kau hendak membimbingnya melampaui batasan pemikiran tersebut melalui doa-doa kau dalam sujud? Ajarkan kepadanya bahwa dunia ini kompleks, dan tidak semua hal dapat diukur dengan satu sudut pandang. Hendaknya kau buka matanya lebar-lebar terhadap berbagai pandangan dan ideologi, agar anak kau itu dapat memahami keberagaman dunia ini. Itu yang harusnya kau katakan sejak dulu. Kini semua sudah terlambat.

***

"Uda hendak pergi Surau, Mar," teriakku dari pintu, kutengok Mar sedang bergegas menghampiri pintu yang harus dikuncinya dari dalam.

"Azan subuh masih jauh, Uda," ucapnya ketika menghampiriku di ujung pintu.

"Uda ingin bertanya dengan Buya Risman," jawabku. Mar hanya menatapku dengan berjuta tanya di dalam manik matanya yang telah lelah meneteskan air mata sejak embun menari-nari bersama rembulan. "Assalamualaikum."

Aku melangkah di antara rerumputan yang mendekap embun yang menjadikannya ranai. Sejujurnya aku tidak dapat menjawab pertanyaan Mar bila ia menanyakan tujuanku menemui Buya, pertanyaanku masih sama seperti pertanyaanku pada Zubair.

Penerangan di desa ini tentu berbeda dari tanah Jawa, aku sudah terbiasa berjalan di sepertiga malam menuju Surau yang hanya di terangi cahaya bulan.

Baru beberapa meter langkahku menuju surau, firasatku mengatakan ada sesuatu yang lain rasanya, seperti ada sesuatu yang mengikutiku dari belakang. Harimau, firasatku mengatakan bukan.

"Berhenti jangan bergerak." Sebuah besi bulat dan dingin menempel di punggungku. "Kamu ayah dari Basri, kalau iya anggungkan kepala, jangan bersuara," perintahnya, aku menganggukkan kepala. "Bungkus." Setelah mendengar kata itu, kepalaku di tutupi oleh kain hitam, tanganku diikat, aku diseret dan diangkut dengan sebuah mobil.

Aku bingung dan juga takut mereka akan membawaku kemana, aku memikirkan Mar dan Basri sepanjang perjalanan mereka membawaku, tiba-tiba mobil berhenti. "Ayo cepat turun," teriak mereka.

Sepertinya aku tidak sendiri, karena aku juga mendengar suara orang lain yang memohon untuk di lepaskan. Suara adzan subuh berkumandang sayup-sayup bersamaan dengan suara teriakan dari senapan.

Embun meluncur pelan dari ujung daun hingga meresapi bumi yang kini terbuka untuk menyambut sinar matahari.

-Tamat-

Iqbal Muchtar


#cerpenbebas

#pulpen

#sayembarapulpenx

Tentang penulis:

Iqbal Muchtar, gemar membaca buku-buku filsafat, ia sering bermain gitar bersama muridnya di kantin sekolah SMA Cita Buana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun