Mendengar kalimat itu membuatnya menghentikan langkahnya untuk kembali ke menuang kopi bagi pengunjung kedai lainnya, ia duduk persis di sebelahku, termenung sekejap lalu ia membalas menatapku, agak lain tatap ini. "Kau mau pergi tanah Jawa, Ambun?"
"Surat terakhir Basri, 6 bulan yang lalu, aku mau pergi ke alamat itu."
"Si Mar?" tanyanya. Mendengar nama istriku disebutnya membuatku kembali menyesap dalam-dalam gulungan kretek yang sudah memendek, hembusan asap putih terbang berkeliaran menutupi pandangan Zubair yang menunggu jawabanku.
"Si Mar itu hanya menangis saja pandainya, selepas Isya pastilah air matanya menetes sambil memeluk foto Basri." Kupadamkan bara api yang membakar kretek yang telah memendek ketika mengatakan kalimat itu. "Sampai habis embun turun dari langit, tak habis air mata si mar itu, dah sakit-sakit badan, sakit pula hatinya."
"Masih ingat aku rasanya." Zubair menunjuk-nunjuk radio yang ada di kedainya. "Basri berapi-api berpidato untuk partai itu." Basri memang anak yang cerdas, pandai bergaul namun ia kurang pandai memahami situasi panasnya iklim politik di negeri yang baru seumur jangung lepas dari belenggu penjajahan. Bukan hanya Zubair yang mendengar suara Basri di Radio, Si Mar istriku pun senangnya tak tanggung-tanggung, hampir melekat daun telinganya itu dengan radio, memperhatikan kata demi kata yang Basri gaungkan dari tanah Jawa.
"Ada kan? Kau pasti banyak kawan." Aku menodongnya agar ia memberikan kepastian dari pertanyaanku tadi. Zubair sudah puluhan tahun di kedai ini, makan tidurnya pun di kedai ini pastilah ada yang dikenalnya.
"Rambut kita sudah sama putihnya, Ambun ... kawanku tentulah ia kawan kau juga." Ia memanjangkan pandangannya jauh kedepan, sepertinya ia sedang memutar otak untuk mencari solusi. Beberapa detik kemudian dia tersenyum menghadap wajahku. "Nah ... nanti selepas Isya kita pergi ke rumah Datuk Sinaro," ucapnya sambil mencolek dengkulku.
"Untuk apa?"
"Mencari solusi." Dengan wajah yang penuh konsentrasi, matanya menjadi jendela menuju dunia pikirannya yang sedang bekerja keras. Ekspresinya merangkak perlahan-lahan melintasi lanskap pikirannya yang kompleks, mencoba menjalin benang-benang permasalahan yang tersebar. Bibirnya sedikit terlipat, mencerminkan keingintahuannya yang mendalam, bak penjelajah yang menghadapi tantangan intelektual. Macam itu lah perangai Zubair, sekolah pun tidak, pandai membaca dan berhitung pun berkat Buya Risman yang pernah bersekolah di HIS, setelah pandai langsung di suruh pergi ke ladang membantu bapaknya.
"Pantang bagiku berpangku tangan dengan Datuk Sinaro," bantahku. Sebagai pemangku adat seharusnya tidak berat sebelah, lain hal dengan Datuk Sinaro, memang begitulah tabiat manusia, lupa dengan daratan ketika sudah terbang tinggi ke angkasa. Semenjak menjabat banyak orang dari tanah jawa yang datang ke rumahnya, agar mendapatkan suara bagi partainya.
"Lantas apa lagi solusi yang kau punya, Ambun?" katanya sambil menepuk pundakku, "Datuk Sinaro pasti ada kawan di sana."