Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Menulis Untuk Hidup

28 November 2023   08:08 Diperbarui: 28 November 2023   08:28 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar oleh Achraf dari pexel.com

Kepiawaiannya merangkai kata, mengukir keajaiban di setiap sentuhan kalimatnya. Dalam ranah imajinasi fiksinya, dia membebaskan sayap kreativitas yang begitu memukau. terbitlah cerita-cerita yang menggoda lalu memikat hati pembaca, menciptakan dunia yang memesona yang tak terlupakan.

PRIBADINYA dipenuhi ketakutan untuk berinteraksi, bahkan di dunia maya yang tak langsung menyuguhkan wajah. Namun, saat pena menyentuh kertas, dia menjelma menjadi penyair imajinatif. Kenyamanannya hanya ditemukan di antara kata-kata yang membangkitkan dunia fiksi, di mana bakat luar biasanya merajut karakter hidup yang begitu memikat. Dalam labirin imajinasinya, dia tenggelam, melupakan realitas yang menyakitkan, dan melahirkan kisah-kisah yang menggetarkan jiwa.

Satu waktu, dia menerima surel dari penerbit terkemuka di Indonesia. Penerbit tersebut menyatakan ketertarikan terhadap novel yang telah dia kirimkan secara daring. Mereka berkeinginan untuk menerbitkan novelnya dan menawarkan kontrak yang menjanjikan. Radit awalnya tak percaya dengan berita yang dia baca. Bagi seorang penulis, ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Tanpa menunggu lama, dia segera membalas email tersebut dan menerima tawaran yang diberikan.

"Terima kasih atas kesempatan ini. Saya sangat bahagia dan merasa terhormat. Saya siap untuk bekerja sama dengan Anda," tulis Radit  dalam balasan surel itu dengan penuh sukacita.

Dengan menerima tawaran tersebut, dia juga dihadapkan pada ekspektasi publik, kritik, serta wawancara. Penerbit berharap agar dia mempromosikan novelnya melalui berbagai media, termasuk televisi, radio, podcast, juga media sosial. Mereka mengharapkan Radit hadir di acara peluncuran buku, sesi tanda tangan, dan festival literatur. Radit merasa sangat cemas, takut menghadapi semua itu. Dia tidak tahu bagaimana berbicara di depan banyak orang, apalagi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyerang atau merendahkan karyanya. Baginya, sama saja seperti menghadapi kematian jika harus berhadapan dengan semua itu.

Dia mencoba untuk menolak permintaan penerbit itu, tetapi pihak penerbit tidak mengizinkannya. Mereka mengatakan bahwa ini adalah bagian dari kontrak yang sudah dia tandatangani. Mereka mengancam bahwa jika dia tidak memenuhi kewajibannya, mereka akan membatalkan kontraknya dan menarik novelnya dari pasaran. Radit merasa terjebak dan tidak punya pilihan.

"Maaf ya, aku ga bisa melakukan semua itu. Aku ga suka jadi pusat perhatian, sulit banget buat aku ketemu orang baru. Plus, aku ga tahan sama tekanan dan kritikan. Aku cuma pengen nulis aja, nggak pengen jadi selebriti gitu deh," kata Radit dengan keputusasaan.

"Radit. Kamu perlu ngerti bahwa ini emang bagian dari pekerjaan kamu sebagai penulis. Kamu harus bersedia kenalan sama publik dan karya kamu. Kamu juga harus siap nerima tanggapan dan saran dari pembaca. Ikut serta dalam kegiatan literatur juga penting, ini semua demi kebaikan kamu sendiri, loh. Ini bisa naikin popularitas dan penjualan novel kamu, membuka peluang dan jaringan baru. Selain itu, ini juga bisa bikin kamu jadi penulis yang lebih baik dan profesional," ucap Pak Reymon yang bekerja di penerbit itu.

"Emangnya gak ada opsi lain? Atau mungkin ada beberapa keringanan atau pengecualian untukku?" tanya Radit dengan rasa harap-harap cemas.

"Maaf, Radit. Ini adalah aturan yang berlaku untuk semua penulis yang bekerja sama dengan kami. Kami tidak bisa memberikan perlakuan khusus untukmu. Kami sudah memberikan kesempatan langka dan berharga. Kontrak yang kami tawarkan adil dan menguntungkan. Dukungan dan fasilitas yang kami berikan sudah memadai. Kami berharap kamu bisa memberikan kontribusi dan kerjasama yang sepadan. Semoga kamu bisa menghargai dan memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin," jawab Pak Reymon dengan nada dingin.

Radit merasa tidak ada jalan keluar dari masalahnya. Dia mencari bantuan dari teman-temannya yang juga penulis, tetapi, tidak bisa memberikan solusi. Mereka hanya bisa memberikan dukungan moral dan nasihat yang tidak berguna. Mereka mengatakan bahwa dia harus menghadapi ketakutannya dan percaya diri. Mereka mengatakan bahwa dia harus bangga dengan karyanya dan tidak peduli dengan pendapat orang lain. Mereka mengatakan bahwa dia harus menikmati prosesnya jangan stres. Radit merasa frustrasi, mereka tidak mengerti bagaimana rasanya berada di posisi itu. Mereka tidak mengerti betapa sulitnya bagi dia untuk melakukan hal-hal yang bagi mereka mudah.

"Kamu seharusnya bersyukur, Radit. Bakat luar biasa ada padamu. Novelmu keren. Punya penerbit terkenal, kesempatan jarang datang. Mimpi bisa terwujud. Kamu punya semua yang diperlukan seorang penulis. Harus berani dan percaya diri. Bangga dan bersinarlah. Tunjukkan pada dunia bahwa kamu penulis yang berbakat dan profesional!" kata salah satu temannya dengan semangat.

"Kamu belum paham, Radit. Kamu nggak bisa terus-terusan sembunyi di balik kata-kata. Nggak bisa terus-terusan menghindari orang-orang. Nggak bisa selalu nolak tantangan. Harus ada keberanian untuk keluar dari zona nyamanmu. Kamu perlu berinteraksi dengan pembacamu. Kamu perlu dengerin tanggapan dan saran dari orang lain. Kamu harus mau belajar dan berkembang. Kamu harus berani hadapi kenyataan dan ubah dirimu," ujar teman lainnya dengan tegas.

"Jangan khawatir, Radit. Kamu nggak sendirian, lho. Kamu punya kami sebagai teman dan sahabat. Kami bakal selalu support dan bantu kamu. Semangat dan motivasi akan selalu kami berikan. Saran dan kritik juga nggak akan pernah absen. Kami bakal selalu ada buat kamu. Kamu cuma perlu percaya pada dirimu sendiri. Nikmatin aja prosesnya. Santai dan bersenang-senanglah," ucap teman yang lain dengan ramah.

Radit merasa terpinggirkan dan tanpa dukungan. Teman-temannya hanya menyuarakan frasa-frasa klise dan tanpa makna. Mereka hanya menyuguhkan teori dan idealisme yang terasa hampa. Beban dan tekanan yang diberikan oleh teman-temannya seolah-olah semakin menumpuk. Radit merasa diabaikan, seolah teman-temannya tak peduli dengan perasaan dan keadaannya.

"Apa ya, mungkin aku punya masalah sosial? Aku nggak normal ya? Aku sakit apa? Harusnya aku diobati? Bisa sembuh nggak ya? Aku bisa hidup kayak orang biasa lagi nggak?" tanya Radit dengan wajah bingung dan penuh kecemasan.

Dia memutuskan mencari bantuan profesional dari seorang psikolog, tapi pencarian yang dia lakukan tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tidak mudah baginya untuk mempercayai orang asing yang mungkin saja akan menilai atau memanfaatkannya. Merasa sulit untuk membuka diri dan berbagi perasaannya dengan seseorang yang belum pernah dia kenal sebelumnya. Ditambah lagi, biaya konsultasi yang tinggi menjadi hambatan besar. Rasanya seakan-akan harapan yang dia miliki semakin tipis.

Dia mulai menyerah, mengunci diri dari dunia. Tidak lagi merespons telepon, email, atau pesan siapapun. Tidak bersedia keluar dari rumah atau bahkan dari kamarnya. Makan, minum, tidur pun dilupakan. Tidak peduli dengan novelnya, hanya menulis yang masih menjadi kecintaannya. Namun, kali ini, karya-karyanya bertransformasi menjadi narasi yang lebih gelap dan mencekam. Dia menggambarkan penderitaan, kesepian, dan juga kematian. Menulis menjadi jalan baginya untuk mengeluarkan emosinya dan sekaligus melarikan diri dari kenyataan yang membelitnya.

"Apakah yang aku mau ini? Apakah ini kebutuhanku? Apakah ini harapanku? Apakah ini impianku? Apakah ini yang aku cintai?" Radit bertanya dengan keraguan yang mendalam.

Radit menulis di dalam sebuah blog, merangkai kata-kata yang penuh dengan pertanyaan dan keraguan yang menghantuinya. Setiap kalimatnya adalah sejumput kegelapan yang mencerminkan perjalanan batinnya. Ia menuangkan isi hatinya dengan tulisan yang mengeksplorasi liku-liku perasaannya, mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang melingkupi kehidupannya. Blognya menjadi sebuah jendela ke dalam kehidupannya yang penuh warna kelam, di mana kata-kata menjadi pelarian dan penyembuhan dari pertanyaan-pertanyaan yang membelit jiwanya.

Tetapi, dia tidak menyadari bahwa dengan menulis, dia juga sedang menyembuhkan dirinya. Dia tidak menyadari bahwa dengan menulis, dia juga sedang berkomunikasi dengan pembacanya. Dia tidak menyadari bahwa dengan menulis, dia juga sedang mengekspresikan dirinya. Dia tidak menyadari bahwa dengan menulis, dia juga sedang menemukan makna hidupnya.

Namun, tanpa disadari, setiap kata yang ditorehkan oleh tangannya adalah sejumput obat untuk penyembuhan dirinya. Tanpa menyadari, setiap paragraf yang tercipta adalah sebuah jembatan menuju hati pembacanya. Tidak terpikirkan bahwa setiap kalimat yang dihasilkan adalah ungkapan sejati dari dirinya. Sungguh tak disadari bahwa setiap huruf yang dituliskan adalah langkah untuk menemukan makna hidup yang sesungguhnya.

***

Suatu hari, dalam balutan kata-kata di dalam blognya, Radit mendapati sebuah pesan yang menyentuh hatinya. Pesan itu menjadi sinar kecil yang merayap keluar dari kegelapan yang selama ini merangkulnya. Isinya tak hanya sekadar kata-kata, melainkan ungkapan dukungan dan penghargaan dari salah seorang pembacanya.

Pesan itu membuka mata Radit pada kenyataan bahwa tulisannya bukan sekadar merangkai keraguan dan pertanyaan, melainkan juga menyentuh dan menginspirasi orang lain. Ketika Radit meresapi arti sejati dari pesan tersebut, kegelapan dalam dirinya sedikit demi sedikit tergantikan oleh cahaya harapan. Perlahan, blognya tidak hanya menjadi tempat untuk melampiaskan emosinya, melainkan juga sumber inspirasi bagi orang lain.

Radit pun merasa terhubung dengan pembacanya, merasakan bahwa setiap kata yang ditulisnya memiliki makna yang mendalam. Dalam prosesnya menemukan arti hidup, ia tidak hanya menyembuhkan diri sendiri, tetapi juga menjadi penyemangat bagi orang lain yang mungkin merasakan hal serupa. Pesan di blognya menjadi pendorong yang memacu semangat Radit untuk terus berkarya, menulis dengan penuh makna, dan merajut kisah hidupnya yang penuh perubahan.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun