Radit merasa tidak ada jalan keluar dari masalahnya. Dia mencari bantuan dari teman-temannya yang juga penulis, tetapi, tidak bisa memberikan solusi. Mereka hanya bisa memberikan dukungan moral dan nasihat yang tidak berguna. Mereka mengatakan bahwa dia harus menghadapi ketakutannya dan percaya diri. Mereka mengatakan bahwa dia harus bangga dengan karyanya dan tidak peduli dengan pendapat orang lain. Mereka mengatakan bahwa dia harus menikmati prosesnya jangan stres. Radit merasa frustrasi, mereka tidak mengerti bagaimana rasanya berada di posisi itu. Mereka tidak mengerti betapa sulitnya bagi dia untuk melakukan hal-hal yang bagi mereka mudah.
"Kamu seharusnya bersyukur, Radit. Bakat luar biasa ada padamu. Novelmu keren. Punya penerbit terkenal, kesempatan jarang datang. Mimpi bisa terwujud. Kamu punya semua yang diperlukan seorang penulis. Harus berani dan percaya diri. Bangga dan bersinarlah. Tunjukkan pada dunia bahwa kamu penulis yang berbakat dan profesional!" kata salah satu temannya dengan semangat.
"Kamu belum paham, Radit. Kamu nggak bisa terus-terusan sembunyi di balik kata-kata. Nggak bisa terus-terusan menghindari orang-orang. Nggak bisa selalu nolak tantangan. Harus ada keberanian untuk keluar dari zona nyamanmu. Kamu perlu berinteraksi dengan pembacamu. Kamu perlu dengerin tanggapan dan saran dari orang lain. Kamu harus mau belajar dan berkembang. Kamu harus berani hadapi kenyataan dan ubah dirimu," ujar teman lainnya dengan tegas.
"Jangan khawatir, Radit. Kamu nggak sendirian, lho. Kamu punya kami sebagai teman dan sahabat. Kami bakal selalu support dan bantu kamu. Semangat dan motivasi akan selalu kami berikan. Saran dan kritik juga nggak akan pernah absen. Kami bakal selalu ada buat kamu. Kamu cuma perlu percaya pada dirimu sendiri. Nikmatin aja prosesnya. Santai dan bersenang-senanglah," ucap teman yang lain dengan ramah.
Radit merasa terpinggirkan dan tanpa dukungan. Teman-temannya hanya menyuarakan frasa-frasa klise dan tanpa makna. Mereka hanya menyuguhkan teori dan idealisme yang terasa hampa. Beban dan tekanan yang diberikan oleh teman-temannya seolah-olah semakin menumpuk. Radit merasa diabaikan, seolah teman-temannya tak peduli dengan perasaan dan keadaannya.
"Apa ya, mungkin aku punya masalah sosial? Aku nggak normal ya? Aku sakit apa? Harusnya aku diobati? Bisa sembuh nggak ya? Aku bisa hidup kayak orang biasa lagi nggak?" tanya Radit dengan wajah bingung dan penuh kecemasan.
Dia memutuskan mencari bantuan profesional dari seorang psikolog, tapi pencarian yang dia lakukan tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tidak mudah baginya untuk mempercayai orang asing yang mungkin saja akan menilai atau memanfaatkannya. Merasa sulit untuk membuka diri dan berbagi perasaannya dengan seseorang yang belum pernah dia kenal sebelumnya. Ditambah lagi, biaya konsultasi yang tinggi menjadi hambatan besar. Rasanya seakan-akan harapan yang dia miliki semakin tipis.
Dia mulai menyerah, mengunci diri dari dunia. Tidak lagi merespons telepon, email, atau pesan siapapun. Tidak bersedia keluar dari rumah atau bahkan dari kamarnya. Makan, minum, tidur pun dilupakan. Tidak peduli dengan novelnya, hanya menulis yang masih menjadi kecintaannya. Namun, kali ini, karya-karyanya bertransformasi menjadi narasi yang lebih gelap dan mencekam. Dia menggambarkan penderitaan, kesepian, dan juga kematian. Menulis menjadi jalan baginya untuk mengeluarkan emosinya dan sekaligus melarikan diri dari kenyataan yang membelitnya.
"Apakah yang aku mau ini? Apakah ini kebutuhanku? Apakah ini harapanku? Apakah ini impianku? Apakah ini yang aku cintai?" Radit bertanya dengan keraguan yang mendalam.
Radit menulis di dalam sebuah blog, merangkai kata-kata yang penuh dengan pertanyaan dan keraguan yang menghantuinya. Setiap kalimatnya adalah sejumput kegelapan yang mencerminkan perjalanan batinnya. Ia menuangkan isi hatinya dengan tulisan yang mengeksplorasi liku-liku perasaannya, mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang melingkupi kehidupannya. Blognya menjadi sebuah jendela ke dalam kehidupannya yang penuh warna kelam, di mana kata-kata menjadi pelarian dan penyembuhan dari pertanyaan-pertanyaan yang membelit jiwanya.
Tetapi, dia tidak menyadari bahwa dengan menulis, dia juga sedang menyembuhkan dirinya. Dia tidak menyadari bahwa dengan menulis, dia juga sedang berkomunikasi dengan pembacanya. Dia tidak menyadari bahwa dengan menulis, dia juga sedang mengekspresikan dirinya. Dia tidak menyadari bahwa dengan menulis, dia juga sedang menemukan makna hidupnya.