Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ungku Ditangkap Nipon

24 November 2023   08:08 Diperbarui: 24 November 2023   08:28 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PEPATAH, bunga teratai yang indah hanya tumbuh di rawa dengan air yang bersih, padi yang subur hanya tumbuh di sawah dengan air yang jernih. Itulah kalimat yang di ucapkan ungku ketika ia di culik Nipon, mereka menarik paksa ungku dari surau ketika sedang shalat Ashar, sungguh tak beradab, kami sedang melaksanakan sembahyang, pun baru dua rakaat, mereka masuk mengacak-acak surau, mengacungkan senjata lalu menyeret ungku beserta murid-murid lainnya yang berusaha melindungi ungku.

***

AKU, Dzuriah, murid ungku. Aku pun dibesarkan oleh ungku, karena ayahku terkena peluru tentara Nipon saat berusaha mengusir mereka dari surau, kata ungku ayahku pahlawan bagi agama dan negara. Aku tak ingat wajah ayahku, aku sempat bertemu dengannya, tapi sudah lama sekali ketika itu aku hendak pergi mengaji di surau selepas Magrib, ia berdiri di depan pintu dengan seragam hijau, ia memanggil namaku, memelukku lalu memberikan sepucuk surat untuk amak, sebab itu lah aku terkena marah oleh ungku, karena terlambat datang ke surau untuk mengaji.

Aku menganggap ungku sebagai kakekku sendiri, aku pun sama tidak tahunya kemana kakek kandungku, kata ungku, kakekku diterkam harimau saat ia sedang bergerilya melawan tentara Belanda. Tapi, lain pula ceritanya dari andung, katanya, kakekku sedang berjuang di Jawa.

Aku pun tidak pernah menanyakan tentang kakek dan ayahku pada amak, karena hidup tanpa ayah adalah hal yang sangat lazim di desa, yang aku tahu, aku harus tetap mengaji, menghafal Qur'an dan mengajarkan kembali pada generasi selanjutnya.

***

"Kau tahu kemana ungku dibawa?" tanya Salma, ia anak asuh ungku yang seumuran denganku, kami besar bersama, mengaji bersama, menghafal Qur'an bersama.

"Indak Sal, tapi perasaanku berkata, ungku pasti di bawanya ke balai besar," jawabku.

"Kita harus segera pergi ke sana membebaskan ungku," teriak Salma.

"Jangan gegabah Salma, salah langkah kita yang mati, ingat kata ungku, akan ada waktu yang tepat untuk membalas kekejaman mereka," ucapku berusaha menenangkan mereka. Aku tahu bagi Salma ungku adalah segala-galanya, karena ia pun sama hal nya denganku, bedanya Salma yatim-piatu.

"Jadi apa rencana kau Salma?"

"kita pergi ke pasar, temui uda Basri." Salma mengangguk ketika aku mengatakan itu. Kami segera bergegas ke pasar menemui uda Basri, ia berjualan kelapa santan di pasar, uda Basri pun anak asuh ungku, ia sama dengan Salma anak yatim-piatu, ia berjualan kelapa santan bukan hanya untuk mencari nafkah untuk santri yang sedang belajar mengaji di surau, tapi juga untuk mendapatkan informasi dari para pejuang gerilyawan tentang pergerakan Nipon setelah Belanda hengkang dari desa kami.

Selama pendudukan Nipon, uda Basri dibuat repot, karena mereka sangat tidak percaya dengan aktifitas penduduk lokal, sering kali kelapa-kelapa uda Basri dibuat berserakan karena ia di curigai menyimpan senjata untuk pasuka gerilyawan.

"Ungku di tangkap Nipon," kataku sambil berpura-pura memilih kelapa santan.

"Apa kau tau ungku dibawa kemana?"

"Tak, tapi ungku berkata tentang teratai dan padi," ucapku sambil berpura-pura mencium kelapa santan yang di jual oleh uda Basri, karena Nipon baru saja lewat di belakang kami.

"Bunga teratai yang indah hanya tumbuh di rawa dengan air yang bersih, padi yang subur hanya tumbuh di sawah dengan air yang jernih. Itu kah kata-katanya?" tanya uda Basri.

"Seperti itu kurang lebih, aku pun tak ingat betul kalimat itu."

"kalau memang betul itu kata-katanya, aku harus bertanya kepada Samsul, mungkin dia tau dimana ungku ditahan, kalian pulanglah hari pun sudah hampir gelap, jangan keluar rumah sampai aku tiba," ucap uda Basri. Kami pun beranjak menuju rumah mengikuti perintah uda Basri dengan membawa dua buah kelapa santan agar tidak di curigai oleh tentara Nipon yang sedang berjaga-jaga di pasar.

***

BASRI, perlahan-lahan membereskan barang dagangannya, ia tidak ingin tentara Nipon mencurigainya aktifitasnya, ia sudah mempunyai sebuah rencana untuk mengetahui secara pasti keberadaan ungku.

Ia meninggalkan beberapa butir kelapa di atas meja untuk mengelabui tentara Nipon yang sedang bertugas di pasar, ketika tentara Nipon itu lengah ia segera beranjak menuju rumah Samsul.

Ia berjalan cepet-cepat, jarak rumah Samsul dari pasar cukup jauh, ia harus tiba disana sebelum matahari benar-benar tenggelam

"Ungku dibawa Nipon," ucapnya segera ketika ia bertemu dengan Samsul yang sedang duduk bersantai setelah membelah beberapa kayu bakar untuk di jual di pasar besok pagi.

"Siapa yang beri kau kabar ini?"

"Dzuriah."

"Apa katanya?"

"Ungku bicara teratai dan padi," Aku terdiam sejenak mengamatai Samsul, "Bunga teratai yang indah hanya tumbuh di rawa dengan air yang bersih, padi yang subur hanya tumbuh di sawah dengan air yang jernih, begitu menurut Dzuriah."

Ia termenung, tatapannya panjang, Samsul lebih cerdas dari Basri, dahulu mereka sama mengaji dengan ungku, ia murid kesayangannya.

"Kau magrib saja di surau bersamaku, lepas Isya kita akan cari tau dimana ungku," ucap Samsul sambil menghisap rokok kretek yang berbungkus kulit jagung itu.

"Mengapa kau terlihat sangat tenang, Samsul?" tanya Basri yang sejak awal mendapatkan kabar ini sangat gelisah.

"Basri, kau tau cara berfikir?" Mendengar Samsul berkata seperti itu Basri diam, ia hanya mengekorinya saja, mulai dari perjalannya menuju surau menapaki jalanan berlumut hingga mereka tiba, Basri tidak berkata sepatah kata pun, setibanya di surau ia berdua pun tetap diam, Basri tidak ingin membuat Samsul kehilangan pemikirannya, Samsul memang pemikir, ia juga pendiam.

"Lepas sudah Isya, kau belum juga selesai berfikir, Samsul?"

"Sudah."

"Ayo lekas kita harus membaskan ungku, kau sudah tau lokasinya?"

"Ungku masih ada di surau," jawabnya

"Bagaimana mungkin ungku masih di surau, Dzuriah melihatnya, ungku di bawa oleh tentara Nipon bersama murid-murid lainnya!" teriak Basri.

"Kau sudah pergi melihat surau ungku?"

"Belum."

"Kau harus bawa pasukan bukit barisan yang ada di hutan untuk mengepung tentara Nipon di surau ungku," pinta Samsul.

"Tunggu," cegah Basri.

"Bagaimana kau bisa berfikir ungku masih di surau?"

"Kau pergi saja yang pergi ke hutan, bawa pasukan hutan itu turun untuk menyerbu surau ungku, setelah selesai semua kau akan tau." Samsul menepuk pundak Basri, "Temui aku di surau ungku."

Samsul berfikir ada sesuatu yang aneh dari berita ini, itu sebanya ia menunggu hingga Isya tiba, seharusnya ada beberapa murid ungku yang datang kepadanya untuk memberikan berita ini, namun hingga lepas Isya tidak ada satu pun murid ungku yang datang.

Sementara Basri langsung bergegas menuju hutan, setibanya disana ia memberitahukan semua permasalahan yang sedang dihadapinya, pasukan bukit barisan pun segera merayap turun menyerbu surau yang di tuju.

Namun, belum lagi tiba di surau mereka sudah di kepung oleh puluhan pasukan Nipon, mereka semua diikat lalu diseret hingga tiba di surau yang jaraknya puluhan kilo meter.

"Basri," ucap seorang pimpinan tentara Nipon ketika ia tiba di surau dengan luka-luka di sekujur tubuhnya.

"Kurang ajar kalian penjajah," teriak basri.

"Lepas, kau tak boleh pegang wanita yang bukan muhrim kau," terdengar teriakkan seroang wanita di sebelah Basri, ia menoleh, Dzuriah. Basri hendak berdiri menyelamatkan Dzuriah, namun tentara Nipon menghantam kepalanya.

"Bodoh, kau bisa tertangkap karena wanita murahan itu," ucap pimpinan tentara Nipon itu.

"Uda Basri, mereka berjanji memberitahu siapa yang membunuh ayah, ternyata mereka pendusta," teriak Dzuriah.

Tak lama Samsul pun muncul di tengah-tengah mereka dengan luka-luka disekujur tubuhnya, ia pingsan atau mungkin sudah tidak bernyawa.

"Bakar semuanya," teriak pimpinan tentara itu.

Dzuriah di seret-seret oleh pimpinan tentara Nipon itu, ketika sedang diseret ia melihat jasad ungku tergeltak di dalam surau yang sedang di bakar oleh tentara Nipon.

Ia menagis sejadi-jadinya, ia tidak mampu menjadi teratai yang indah di rawa dengan air yang bersih, ia pun tidak mampu menjadi padi yang subur yang hanya tumbuh di sawah dengan air yang jernih.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun