Ia meninggalkan beberapa butir kelapa di atas meja untuk mengelabui tentara Nipon yang sedang bertugas di pasar, ketika tentara Nipon itu lengah ia segera beranjak menuju rumah Samsul.
Ia berjalan cepet-cepat, jarak rumah Samsul dari pasar cukup jauh, ia harus tiba disana sebelum matahari benar-benar tenggelam
"Ungku dibawa Nipon," ucapnya segera ketika ia bertemu dengan Samsul yang sedang duduk bersantai setelah membelah beberapa kayu bakar untuk di jual di pasar besok pagi.
"Siapa yang beri kau kabar ini?"
"Dzuriah."
"Apa katanya?"
"Ungku bicara teratai dan padi," Aku terdiam sejenak mengamatai Samsul, "Bunga teratai yang indah hanya tumbuh di rawa dengan air yang bersih, padi yang subur hanya tumbuh di sawah dengan air yang jernih, begitu menurut Dzuriah."
Ia termenung, tatapannya panjang, Samsul lebih cerdas dari Basri, dahulu mereka sama mengaji dengan ungku, ia murid kesayangannya.
"Kau magrib saja di surau bersamaku, lepas Isya kita akan cari tau dimana ungku," ucap Samsul sambil menghisap rokok kretek yang berbungkus kulit jagung itu.
"Mengapa kau terlihat sangat tenang, Samsul?" tanya Basri yang sejak awal mendapatkan kabar ini sangat gelisah.
"Basri, kau tau cara berfikir?" Mendengar Samsul berkata seperti itu Basri diam, ia hanya mengekorinya saja, mulai dari perjalannya menuju surau menapaki jalanan berlumut hingga mereka tiba, Basri tidak berkata sepatah kata pun, setibanya di surau ia berdua pun tetap diam, Basri tidak ingin membuat Samsul kehilangan pemikirannya, Samsul memang pemikir, ia juga pendiam.