Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Secercah Mimpi di Tepi Barat

15 Oktober 2023   08:19 Diperbarui: 15 Oktober 2023   08:19 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar oleh detik.com

“Asholatu Khoirum Minannaum...” Gema suara azan berkumadang di langit yang masih lelah untuk terjaga, warna jingga di ufuk timur terlihat enggan menampakkan wajahnya. Langit pun merasa malu dengan keserakan manusia yang tinggal di bawah kolongnya. Tepi Barat, Palestina.

Aku terbangun dari tidurku ketika mendengar suara adzan subuh yang berkumandang bersahutan. Aku segera bangun dan berwudhu, lalu sholat di sudut kamarku. Aku bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan-Nya sejak malam tadi hingga waktu subuh tiba.

Tidak ada serangan yang mungin saja bisa terjadi sewaktu-waktu, serangan yang mungkin saja membuat kami kehilangan nyawa, aku menyerahkan hidupku hanya kepada Allah SWT.

Aku memandang keluargaku yang masih tertidur lelap di kasur yang sempit. Aku mencium istriku yang cantik dan anakku yang lucu. Aku merasa bahagia dan beruntung memiliki mereka meski dalam situasi perang seperti ini.

“Umi…” Aku membangunkan istriku yang sedang menyusui putra keduaku, Hasan. Ia baru berumur delapan bulan.

“Abi… Astagfirullah, maaf Abi, aku ketiduran,” ucapnya yang segera bangkit dari hamparan papan tanpa alas, bagi kami itu adalah tempat tidur ternyaman di dunia ini.

“Tidak apa-apa umi, pasti lelah menjaga Hasan kemarin,” balasku lembut, aku berusaha menenangkan rasa cemasnya. Aku ingin ia tahu bahwa aku sangat mencintainya karena Allah.

“Abi…” Ia menatapku, terlihat kecemasan dari sudut mata indahnya, “Apakah abi mau menunggu sebentar saja, aku akan membuatkan Mujaddara untuk bekal makan siang.” pintanya dengan perasaan cemas.

“Sayang,” tuturku sambil menempelkan tanganku di kedua pipinya yang kemerahan, “Iya… Abi tunggu.” Raut wajahnya berubah seketika, terlihat cantik sekali, cahaya surga terpancar dari sorot matanya yang bersinar.

Maira, istriku bergegas ke dapur sementara aku bersiap-siap untuk berangkat mengajar. Maira yang berarti cahaya, sejak aku menikah dengannya hidupku memang penuh dengan cahaya, ayah dan ibunya menjadi korban keberingasan tentara Israel, adiknya menyusul satu minggu setelahnya, aku menikah dengan Maira karena di jodohkan oleh Abu Amr Qasim, guruku, juga Maira, kami penghafal qur’an.

Aku memakai baju dan celana yang sudah lusuh, tapi masih bersih, hanya itu yang aku miliki. Aku mengambil tas yang berisi buku-buku dan alat tulis. Aku juga membawa bekal makan siang yang baru saja selesai dibuat oleh istriku dengan penuh kasih sayang. Aku berpamitan kepada istriku, aku mencium Hasan, aku akan kembali secepatnya atas izin Allah.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Aku mengucapakan salam di bibir pintu rumahku.

“Wa 'alaikumus salam wa rahmatullahi wabarakatuh.” Maira mebalas salamku dengan tatapan cemas juga rindu yang mendalam, di balik sorot matanya yang sedang menggedong Hasan dalam dekapannya. Namun, ada satu titik cahaya di mata itu, ia yakin Allah akan menjagaku hari ini.

***

Aku berjalan kaki menuju sekolah yang berjarak lima belas kilo meter, tidak ada angkutan umum yang boleh melintas. Aku melewati jalan-jalan yang penuh dengan puing-puing dari rumah yang hancur, tembok-tembok beton, dan pos-pos penjagaan Israel. Aku berusaha untuk tidak menoleh ke kanan atau ke kiri, agar tidak menarik perhatian tentara Israel yang bersenjata lengkap. Aku berdoa sepanjang perjalanan agar aku bisa sampai ke sekolah dengan selamat.

Aku ingat suatu hari, ketika aku sedang berjalan menuju sekolah bersama murid-muridku, kami mendengar suara ledakan yang sangat keras. Kami melihat asap hitam membumbung tinggi di langit. Kami panik dan berlari mencari tempat perlindungan. Kami menemukan sebuah rumah kosong yang sudah hancur. Kami masuk ke dalamnya dan bersembunyi di balik reruntuhan.

Kami mendengar suara-suara teriakan dan tangisan dari luar. Kami takut sekali. Kami tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kami tidak tahu apakah keluarga atau teman-teman kami baik-baik saja. Kami tidak tahu apakah kami akan bisa keluar dari sini hidup-hidup.

Dalam situasi seperti itu aku hanya bisa berdoa kepada Allah agar diberikan keselamatan dan pertolongan. Saat itu salah satu anggota Hamas melihatku sedang berlindung, ia menyelamatkanku dan muridku saat itu, kami berhasil keluar dari situasi pelik ditengah peperangan.

Aku tidak pernah tahu, apakah aku akan tiba disekolah dengan selamat atau aku akan terbaring bersama reruntuhan puing-puing, yang aku tahu, aku adalah seorang guru yang siap untuk mencerdaskan murid-muridku yang sudah siap untuk menantang dunia ini, menegakkan keadilan dan menyebarkan perdamaian keseluruh dunia.

***

Di sekolah, aku disambut oleh murid-muridku yang sudah menungguku di depan pintu kelas. Mereka mengucapkan salam dan memelukku dengan hangat, mereka tahu, perjalanan yang kutempuh untuk sampai di sekolah memang tidak mudah. Mereka adalah anak-anak yang ceria, pintar, juga berbakat. Mereka adalah alasan utama aku menjadi guru. Aku ingin memberikan mereka pendidikan yang terbaik, agar mereka bisa memiliki masa depan yang cerah.

Aku memulai pelajaran hari ini dengan menyanyikan lagu kebangsaan Palestina bersama murid-muridku. Kami menyanyikannya dengan penuh semangat dan haru. Kami bangga menjadi orang Palestina, meskipun kami harus hidup di bawah penjajahan Israel. Kami percaya bahwa suatu hari nanti, kami akan bisa merdeka dan hidup damai.

Setelah itu, aku mengajar matematika, bahasa Arab, sejarah, dan agama islam. Aku menggunakan metode-metode yang menarik serta menyenangkan untuk mengajar murid-muridku. Aku memberikan contoh-contoh nyata dari kehidupan sehari-hari, membuat permainan-permainan edukatif, dan memberikan pujian-pujian kepada murid-muridku yang rajin dan berprestasi agar mereka terus mengerjar impiannya. Aku juga mengajarkan mereka tentang nilai-nilai toleransi, persaudaraan, dan perdamaian. Aku ingin mereka tumbuh menjadi generasi yang cerdas, kuat, dan pemberani.

Bangunan sekolah pun sudah tidak layak di sebut tempat untuk menggali ilmu, setengah dari bangunan itu sudah lenyap, rata dengan tanah, namun tidak menyurutkan semangatku juga murid-muridku untuk terus menggali ilmu untuk masa depan yang lebih cerah.

***

Setiap hari selalu saja ada pertanyaan-pertanyaan menarik yang terlontar dari pikiran mereka, aku sangat senang dengan pemikiran-pemikiran mereka yang luar biasa.

Salah satu muridku Ilham bertanya, “Apa itu pendidikan? Apa itu ibadah? Apa itu toleransi?”

Aku menjawab dengan senyum di wajahku, aku bangga dengan rasa keingintahuan yang tinggi dari murud-muridku, “Pendidikan adalah proses untuk mendapatkan ilmu dan keterampilan yang berguna untuk hidup, Anak-anak,” jawabku sambil melirik ke arah Ilham salah satu muridku yang paling cerdas, “Ibadah adalah proses untuk menyembah dan mengabdi kepada Allah yang Maha Kuasa dan Maha Penyayang, Anak-anak,” ungkapku, “Toleransi adalah proses untuk menghormati dan menghargai perbedaan dan keragaman yang ada di antara manusia, Anak-anak.”

Murid-muridku bersahutan mengatakan, “Kami mengerti sekarang, Pak Guru. Kami akan belajar dengan rajin untuk mendapatkan ilmu dan keterampilan yang berguna untuk hidup. Kami akan beribadah dengan taat untuk menyembah dan mengabdi kepada Allah yang Maha Kuasa dan Maha Penyayang. Kami akan bertoleransi dengan baik untuk menghormati dan menghargai perbedaan dan keragaman yang ada di antara manusia.”

“Saya bangga pada kalian semua, Anak-anak. Kalian adalah murid-murid yang cerdas, kuat, juga pemberani. Kalian adalah generasi yang dapat mengharumkan nama bangsa. Kalian adalah harapan terbesar untuk perdamaian,” tuturku penuh dengan semangat

“Terima kasih, Pak Guru. Bapak adalah guru yang baik, bijaksana, dan sabar. Bapak adalah panutan yang teladan bagi kami. Bapak adalah pahlawan terbesar untuk Palestina,” teriak mereka bersahutan silih berganti.

Dihari yang lain ada yang bertanya, “Mengapa kita harus bersabar dan berusaha? Mengapa kita harus belajar dan berdoa? Mengapa kita harus bersatu?”

Aku selalu tersenyum mendengar pertanyaan-pertanyaan mereka, “Karena sabar dan berusaha itu adalah cara kita untuk mengubah dunia. Karena belajar dan berdoa itu adalah cara kita untuk mendapatkan ridho Allah. Karena dengan bersatu itu merupakan cara kita untuk mencapai perdamaian,” ulasku kepada mereka.

“Bagaimana kita bisa mengubah dunia? Bagaimana kita bisa mendapatkan ridho Allah? Bagaimana kita bisa mencapai perdamaian?” Ahmed berteriak tidak mau kalah dari teman-temannya.

“Kita bisa mengubah dunia dengan pendidikan. Kita bisa mendapatkan ridho Allah dengan ibadah. Kita bisa mencapai perdamaian dengan toleransi,” jelasku kepada Ahmed yang bercita-cita ingin menjadi dokter.

***

Memang tidak mudah untuk mengajar di tengah-tengah konflik dan ketidakadilan politik seperti yang kami alami saat ini. Kadang-kadang, kami harus menghentikan pelajaran karena mendengar suara ledakan atau tembakan. Kami harus berlindung di bawah meja atau di ruang bawah tanah. Kami harus menangisi kematian teman-teman atau keluarga kami yang menjadi korban kekejaman tentara Israel. Kami harus menghadapi intimidasi atau penghinaan dari tentara Israel yang merazia sekolah kami.

Tapi aku tidak pernah menyerah atau putus asa. Aku selalu berusaha untuk memberikan semangat dan motivasi kepada murid-muridku. Aku selalu berusaha untuk menunjukkan kepada mereka bahwa ada kebaikan dan keindahan di dunia ini. Aku selalu berusaha untuk membantu mereka mengembangkan bakat dan minat mereka. Aku selalu berusaha untuk membuat mereka tertawa dan bahagia.

Aku mengatasi tantangan dalam hidupku dengan iman, harapan, dan cinta. Aku percaya bahwa Allah akan memberiku kekuatan dan perlindungan. Aku berharap bahwa suatu hari nanti, konflik akan berakhir dan perdamaian akan tercipta. Aku mencintai pekerjaanku sebagai guru dan murid-muridku sebagai keluargaku. Aku juga mendapatkan dukungan dari istri dan komunitasku di kamp pengungsi. Aku tidak pernah kehilangan semangat dan optimisme untuk hidup.

Aku Fathian al Ayyubi seorang guru sekolah dasar dari Palestina yang tinggal di sebuah kamp pengungsian di Tepi Barat. Ini adalah cerita tentang cara aku mengatasi tantangan dalam hidupku.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun