“Aku akan memberikan hadiah kepadanya. Sebuah hadiah yang akan mengakhiri perang ini. Sebuah hadiah yang akan membuat kita menang.” ucap Snouck Hurgronje sambil tersenyum dengan licik sambil membawa sebuah bungkusan.
“Hadiah? Hadiah apa?” tanya Emily penasaran dengan bungkusan itu.
“Kamu akan tahu nanti. Sekarang, ayo kita berangkat. Waktu tidak banyak lagi.” sahut Snouck Hurgronje sambil berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman depan rumah.
Aku melirik ke arah bungkusan berbentuk persegi yang di bungkus dengan kain itu, aku merasa curiga dengan isi di dalam kotak itu, beberapa hari ini ia selalu membicarakan tentang sebuah ledakan, aku yakin isi kotak itu adalah bom.
“Emily, aku tidak percaya padanya. Aku tidak suka dengan rencananya. Aku tidak mau ikut dengan dia.” Aku berbisik pada Emily merasa khawatir.
“Frank, aku juga tidak yakin dengan dia. Tapi kita tidak punya pilihan. Kita harus mengikuti perintahnya. Kita harus mengawalnya.” Emily berbisik balik padaku dengan perasaan ragu.
“Tidak, kita tidak harus. Kita bisa menolaknya. Kita bisa melawannya.” bisikku, “Kita bisa membantunya.” Aku menatap Emily dengan penuh harap.
“Membantunya? Membantu siapa?” Emily bingung dengan maksudku.
“Membantu Teuku Umar. Membantu rakyat Aceh. Membantu mereka yang berhak hidup dengan damai.” Aku menggenggam tangan Emily dengan erat.
“Frank, apa yang kamu katakan? Kamu sadar kan kita ini prajurit Belanda! Kamu sadar kan kita adalah musuh mereka? Kamu sadar kan kita akan mati jika kita melakukan itu?” Emily melepaskan genggaman Frank merasa takut.
“Aku sadar, Emily. Aku sadar semua yang aku katakan. Tapi aku juga sadar bahwa kita salah. Kita salah menginvasi tanah mereka. Kita salah menindas mereka. Kita salah telah membunuh saudara-saudara mereka.” Aku memegang wajah Emily dengan lembut.