“Orang gila? Dia kan seorang sarjana Agama Islam yang terkenal. Dia bisa membantu kita memahami Aceh lebih baik.” sahut Emily membela Snouck Hurgronje dengan rasa hormat.
“Sarjana agama Islam?” bantahku, “Ha! Dia lebih mirip mata-mata yang ingin menghancurkan Aceh dari dalam. Kamu lihat saja nanti, dia pasti akan mengkhianati kita semua.” kataku mengejek Snouck Hurgronje dengan nada sinis.
“Jangan bicara begitu. Dia adalah atasan kita. Kita harus menghormati dan melindungi dia.” balas Emily menegurku dengan tegas.
“Menghormati dan melindungi dia? kamu sebenarnya suka padanya kan?” tuduhku, aku merasa cemburu.
“Apa? Kamu gila? Aku tidak suka padanya. Aku hanya menjalankan tugas saja. Lagipula, dia sudah punya istri di Belanda.” Emily membantahku dengan nada kesal.
“Oh, begitu. Kalau begitu, kenapa kamu selalu dekat-dekat dengannya? Kenapa kamu selalu tersenyum-senyum padanya? Kenapa kamu selalu memujinya?” Aku menyindir Emily dengan pedas.
“Aku tidak pernah melakukan itu semua. Kamu yang salah paham. Kamu yang terlalu curiga. Kamu yang ...” Suara Emily terputus oleh suara Snouck Hurgronje yang memanggil kami dari kejauhan.
“Frank, Emily, ayo cepat! Kita harus segera berangkat! Hari ini kita akan bertemu dengan Teuku Umar!” teriak Snouck Hurgronje sangat antusias dari kejauhan.
Kami segera berlari menghampirinya, “Teuku Umar? Apa maksudmu Teuku Umar? Bukankah dia musuh kita yang paling berbahaya?” tanyaku kaget.
“Ya, dia memang musuh kita. Tapi dia juga teman baikku, Frank.” Snouck Hurgronje menepuk pundakku, “Aku sudah lama mengenal dia dan berhubungan baik dengannya. Aku yakin dia akan mau mendengarkan kata-kataku.” ucap Snouck Hurgronje menjelaskan pertanyaanku dengan percaya diri.
“Mendengarkan kata-katamu? Apa yang akan kamu katakan padanya? Apa yang akan kamu lakukan padanya?” tanyaku merasa curiga.