Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Laki-laki dari Masa Lalu yang Masih Mencintaiku

29 September 2023   08:07 Diperbarui: 29 September 2023   12:44 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar oleh Kwnos dari pexel.com

Aku tidak pernah menyesal meninggalkannya, tapi sejujurnya aku pun tidak tahu apa yang harus kulakukan setelah bercerai dengan suamiku yang kasar dan kejam itu. Aku merasa hidupku hancur dan tidak ada harapan lagi. Aku memutuskan untuk pindah ke sebuah rumah tua di desa yang jauh dari kota, untuk memulai hidup baru. Aku berharap di sana aku bisa menemukan kedamaian dan kebahagiaan.

Rumah yang aku sewa ini cukup besar dan nyaman, meskipun agak usang dan berdebu. Aku membersihkan dan merapikannya sedikit demi sedikit, sambil menata barang-barangku. Aku merasa lega dan bebas, tidak ada lagi yang menggangguku atau mengintimidasiku lagi.

Rumah ini sudah lama kosong dan perlu direnovasi. Aku harus membersihkan debu, mengganti cat, dan memperbaiki furnitur yang rusak. Aku bekerja keras setiap hari, berusaha melupakan masa laluku yang kelam. Aku juga berkenalan dengan tetangga-tetanggaku yang ramah juga baik hati. Mereka membantuku dengan memberiku saran, juga membantuku mencari bahan-bahan yang aku butuhkan.

***

Suatu hari, ketika aku sedang berkebun di halaman belakang, aku mendengar suara sapaan dari arah sebelah rumahku. Aku menoleh dan melihat seorang pria tampan juga ramah berdiri di pagar. Dia tersenyum dan mengulurkan tangannya.

"Hai, namaku Radit. Aku tinggal di sebelah. Aku baru saja pindah ke desa ini beberapa minggu yang lalu. Kamu siapa?" tanyanya dengan sopan.

Aku terkejut sekaligus gugup ketika melihat pria tampan itu, tapi aku juga penasaran. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya, padahal rumahnya hanya berjarak beberapa meter saja dari rumahku. Aku segera menyambut tangannya dan memperkenalkan diri.

"Hai, namaku Nayla. Aku juga baru pindah kemari beberapa hari yang lalu. Senang bertemu denganmu." sapaku, sambil tersenyum.

Radit menatapku dengan tatapan penuh perhatian, mata cokelat itu terlihat hangat. Dia berkata, "Kamu cantik sekali, Nayla. Apa yang membuatmu pindah ke desa ini? Apakah kamu tinggal sendirian?"

Aku merasa tersipu serta bingung. Aku tidak tahu harus jawab apa. Aku tidak ingin menceritakan masalahku dengannya tentang suamiku yang kasar itu, meskipun kami sudah bercerai. Aku hanya ingin melupakan masa laluku yang sungguh sangat kelam itu.

"Aku ... aku hanya ingin mencari suasana baru saja. Ya, aku tinggal sendirian. Tapi aku tidak kesepian kok." jawabku agak sedikit ragu.

Radit tersenyum lagi, tatapan matanya seperti mengetahui isi hatiku, "Kalau begitu, kita sama. Aku juga sedang mencari suasana baru, aku hidup sendirian. Tapi aku juga tidak kesepian, karena sekarang aku punya tetangga baru yang cantik dan ramah seperti kamu." ucapnya dengan santai.

Aku tertawa geli mendengar pujian Radit. Dia terlihat jujur juga sangat tulus, tidak seperti suamiku yang dulu, ia selalu berbohong dan munafik. Aku mulai merasakan sesuatu yang aneh di hatiku, sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan.

"Terima kasih atas pujianmu, Radit. Kamu juga tampan dan ramah juga. Apa pekerjaanmu?" tanyaku, kali ini aku yang menatapnya tajam.

Radit menjawab dengan santai, "Aku bekerja sebagai tukang kayu, tokonya dekat pasar di ujung desa. Aku suka membuat barang-barang dari kayu, seperti meja, kursi, lemari, atau mainan anak-anak."

Aku kagum dengan pekerjaan Radit. Dia terlihat kuat dan juga tangguh ketika kulihat tangannya yang berotot dengan tato dengan gambar abstak di lengan kirinya, ia juga terlihat kreatif serta teliti ketika ia menceritakan pekerjaannya. Aku bertanya lagi, "Sudah berapa lama kamu bekerja sebagai tukang kayu?"

Radit menjawab dengan ragu-ragu, "Sebenarnya...aku baru saja mulai bekerja sebagai tukang kayu beberapa minggu yang lalu. Sebelumnya...aku bekerja di tempat lain." Ia mengalihkan pandangannya.

Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan Radit dariku, tapi aku tidak ingin mengusiknya, aku juga tidak ingin mencari tahu lebih jauh. Mungkin dia punya masa lalu yang tidak ingin dia ceritakan, sama sepertiku.

"Ooh...begitu ya. Kalau begitu...selamat atas pekerjaan barumu." ujarku mencoba menghiburnya.

Radit mengucapkan terima kasih dan mengajak aku untuk minum teh bersama di rumahnya. Aku menyetujuinya dengan senang hati.

Kami pun pergi ke rumah Radit yang bersebelahan dengan rumahku. Rumahnya lebih kecil dan lebih sederhana dari rumahku, tapi rumah itu  terlihat lebih rapi juga bersih. Radit menyiapkan teh juga kue-kue di meja tamu, sambil bercerita tentang dirinya.

Aku mendengarkan dengan antusias, aku merasa tertarik dengan kisah hidupnya. Radit ternyata orang yang cerdas berwawasan luas. Dia banyak tahu tentang berbagai hal, seperti sejarah, geografi, politik, seni, dan budaya. Dia juga suka membaca buku-buku dan majalah-majalah.

Aku merasa nyaman dan bahagia bersama Radit. Dia membuatku lupa dengan masalah-masalahku. Dia membuatku merasa hidup.

Seiring dengan waktu Radit menjadi salah satu tetangga yang paling sering membantuku, seorang pria tampan dan ramah yang tinggal di sebelah rumahku. Dia selalu tersenyum dan mengajakku bercanda, ia mengisi hari-hariku. Dia juga pandai memperbaiki barang-barang yang rusak, ia juga senang menanam bunga di halaman rumahnya. Aku mulai merasakan kembali cinta saat bersamanya. Aku merasa dia adalah pria yang sempurna untukku.

***

Hari itu Radit mengajakku makan malam di rumahnya. Aku menerima ajakan itu dengan senang hati. Aku memakai gaun terbaikku, aku bersolek secantik mungkin. Aku berjalan menuju rumahnya dengan hati berdebar-debar. Aku mengetuk pintu rumahnya, dia membukanya dengan senyum lebar.

"Apa kabar, cantik? Kamu terlihat sangat menawan malam ini," katanya sambil menggandeng tanganku.

"Apa-apaan sih, kamu ini? Kamu juga terlihat tampan sekali," balasku sambil tersipu-sipu.

Dia membawaku masuk ke rumahnya yang nyaman dan hangat. Aku melihat ia menyiapkan makanan yang lezat dan juga anggur puith. Kami makan sambil bercerita tentang diri kami masing-masing. Aku merasa sangat nyaman dan bahagia bersamanya.

Setelah makan, dia mengajakku ke ruang tamunya yang sederhana namun terlihat menawan. Di sana ada sebuah piano tua yang masih berfungsi dengan baik. Dia memintaku untuk duduk di sebelahnya di bangku piano.

"Kamu tahu, aku suka sekali bermain piano. Ini adalah hobi yang aku pelajari saat aku masih kecil," katanya sambil menekan beberapa tuts piano sambil menatapku yang duduk di sampingnya.

"Wow, kamu hebat sekali. Aku tidak bisa bermain alat musik sama sekali," ucapku yang sedang merasa kagum dengannya.

"Hei, bagaimana kalau aku memainkan lagu favoritku untukmu. Lagu ini sangat spesial bagiku, karena lagu ini mengingatkanku pada seseorang yang sangat aku cintai," ujarnya sambil menatap mataku dengan penuh perasaan.

Dia mulai memainkan lagu yang indah dan menyentuh hati. Aku tidak tahu judul lagunya, tapi aku merasakan emosi yang kuat dari nada-nadanya. Aku mendekatkan diriku kepadanya dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Dia memeluk pinggangku dengan lembut dan mencium rambutku dengan mesra setelah ia selesai memainkan lagu yang indah itu.

Aku merasa seperti sedang berada di dalam sebuah mimpi yang indah. Aku tidak pernah merasakan cinta seperti ini sebelumnya. Aku berharap malam ini tidak akan pernah berakhir.

Tapi, tiba-tiba pintu rumahnya terbuka dengan keras dan masuk beberapa orang berseragam polisi. Mereka membawa senjata dan menodongkannya ke arah kami.

"Angkat tangan … Anda ditangkap! Kamu adalah seorang buronan yang sedang dicari karena kasus pembunuhan!" teriak salah satu polisi.

Aku terkejut, aku gemetar ketakutan. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Aku menoleh ke arah Radit dengan tatapan tak percaya.

"Radit, apa-apan ini? Apa yang mereka katakan itu benar? Kamu seorang pembunuh?" tanyaku dengan gemetar.

Radit menatapku dengan wajah pucat, ia terlihat sedih, lalu menggenggam tanganku erat-erat.

"Maafkan aku, sayang. Aku tidak bermaksud menipumu. Aku memang seorang narapidana yang sedang melarikan diri dari penjara. Aku membunuh orang yang mencoba merebut orang yang aku cintai. Aku tidak tahan melihat dia bersama orang lain. Aku sangat mencintainya, dan lagu ini adalah lagu yang kami nyanyikan bersama," katanya sambil menunjuk piano.

Aku terdiam dan hanya bisa menangis. Aku tidak bisa memahami apa yang dia katakan. Aku merasa sakit hati ketika ia mengatakan itu.

"Kamu mencintai orang lain? Bukan aku?" tanyaku dengan suara lirih.

"Kamu salah paham, sayang. Aku mencintaimu juga. Kamu adalah wanita terbaik yang pernah aku temui. Kamu membuat hidupku berarti lagi. Kamu adalah alasan aku bertahan hidup di dunia saat ini," katanya sambil mencoba merayuku.

"Tapi, kamu juga mencintai orang lain. Kamu membunuhnya karena cemburu. Kamu tidak bisa mencintai dua orang sekaligus. Kamu hanya memanfaatkanku, apa lagi setelah kamu melarikan diri dari penjara. Kamu tidak benar-benar mencintaiku," ucapku dengan perasaan marah dan sedih, air mataku berhamburan jatuh ke lantai.

"Jangan bilang begitu, sayang. Aku benar-benar mencintaimu. Aku akan melakukan apa saja untukmu. Aku akan membawamu pergi dari sini, dan kita akan hidup bahagia bersama di tempat lain," katanya sambil berusaha melepaskan diri dari polisi yang menahan tangannya.

"Tidak, Radit. Semuanya sudah terlambat. Kamu sudah menghancurkan hidupku. Kamu sudah menghancurkan cintaku. Kamu sudah menghancurkan mimpiku. Aku benci kamu, Radit. Aku benci kamu!" teriakku sambil menamparnya dengan keras.

Radit terdiam, menatapku sejenak kemudian menunduk. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya bisa menyesali perbuatannya.

Polisi membawanya keluar dari rumahnya dengan paksa. Aku melihatnya pergi dengan penuh kebencian dan kesedihan.

Aku rasa hidupku telah berakhir di malam itu.

“Nayla …” seseorang memanggil namanku, aku menoleh ke arah suara itu, kulihat seseorang tanpa seragam masuk ke dalam rumah Radit.

“Raka …” teriakku, aku sangat terkejut melihatnya, terakhir kali aku bertemu dengannya lima tahun yang lalu setelah akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri hubuganku dengannya, karena ia akan menempuh pendidikan di akademi polisi setelah tamat SMA, ia harus pergi jauh, aku tidak tahan dengan hubungan jarak jauh.

“Terima kasih sudah membantu kami.” Ia menyalamiku.

“Apa maksudmu?” tanyaku, aku tidak pernah membantu pihak kepolisian, aku merasa kebingungan.

“Unggahan foto ini membuat kami dapat menemukan seorang buronan yang paling di cari pihak kepolisian.” Ia memperlihatkan salah satu foto yang aku unggah di media sosial, sebuah unggahan foto Radit yang sedang menanam bunga di halaman depan rumahnya, aku mengambil gambar itu karena Radit terlihat sangat seksi.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun