"Orang lain? Siapa dia? Apa dia lebih baik dariku?" tanyanya sambil menggenggam pundakku.
"Dia Radit, penulis novel terkenal itu. Dia adalah jodohku yang sebenarnya." Aku masih menunduka kepalaku.
"Jodohmu yang sebenarnya? Apa maksudmu?" nada bicara mulai agak meninggi.
"Dika, aku punya kemampuan istimewa untuk melihat aura orang-orang di sekitarku. Aura itu seperti semacam cahaya berwarna yang mengelilingi tubuh seseorang dan warna itu mencerminkan kepribadian dan perasaannya. Aku percaya bahwa setiap orang memiliki jodoh yang sempurna yang memiliki aura yang sama dengannya." Kugenggam tangan Dika untuk menenangkannya.
"Aura? Kamu ini bicara apa? Sudahlah tidak usah mencari alasan." Ia berbaik badan membelakangiku.
"Aku selalu melihat aura kamu berwarna biru muda, yang menunjukkan bahwa kamu adalah orang yang tenang, sabar, dan setia. Tapi aku sendiri memiliki aura berwarna merah, yang menunjukkan bahwa aku adalah orang yang bersemangat, berani, dan mandiri. Aku merasa bahwa kita tidak cocok satu sama lain." Ia masih memunggungiku ketika aku mengatakan itu.
"Tapi Nayla, kita sudah bersama selama ini. Kita sudah saling mencintai dan merajut mimpi. Kita sudah banyak melewati suka dan duka bersama. Apakah itu semua tidak berarti apa-apa bagimu?" Ia berbalik, dan berusaha meyakinkanku.
"Dika, aku minta maaf. Aku sudah memutuskan pilihanku. Aku ingin bersama dengan Radit, jodohku yang sebenarnya." Aku beranjak dari kafe tempat aku bertemu Radit.
"Nayla, jangan lakukan ini padaku. Jangan tinggalkan aku begitu saja. Aku masih mencintaimu." Dika mengejarku.
"Dika, lepaskan aku. Sudahlah, ini sudah selesai."
Aku tidak peduli dengan reaksi Dika. Aku hanya ingin bersama dengan Radit, jodohku yang sebenarnya.