Hari itu, suasana di kafe favoritku terasa seakan menyesuaikan diri dengan perasaanku yang kusam. Cappuccino hangat di genggamanku tak lagi mampu mengusir awan kelam dalam pikiranku. Setiap tetes hujan di jendela kafe seakan memperkuat kebingungan dan kekosongan dalam diriku.
Dalam kebuntuan kreatifitas ini, kucoba untuk mengambil napas dalam-dalam, berusaha menghirup energi positif yang ada disekelilingku. Terkadang, ketika tekanan dan kekesalan menyelimuti, ide-ide cemerlang justru menjadi sulit untuk muncul. "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri" kata-kata itu yang selalu tengiang di otakku. Semua penulis, tanpa kecuali, pernah mengalami masa-masa seperti ini. Kreativitas adalah perjalanan yang tak selalu datang dengan lancar.
Dalam keheningan kafe yang sepi, hatiku terasa berat. Cappuccino hangat di depanku memancarkan aroma menggoda, tapi tidak ada kedamaian dalam jiwa yang gelisah. Jari-jariku terdiam di atas keyboard, mencari kata-kata yang kabur dalam hiruk-pikuk pikiranku. Langit gelap di luar sepertinya mencerminkan perasaanku yang kusut.
"Tinggal menyisipkan beberapa kalimat lagi, dan artikelmu akan selesai" gumam seorang wanita di meja sebelah membuat jantungku berdegup cepat, sedikit terkejut karena tak terduga ada yang memperhatikanku, tatapan matanya yang penuh dengan kehangatan seakan mengajakku untuk melanjutkan percakapan itu. Sementara hujan di luar semakin deras, entah mengapa aku merasa seperti ada harapan untuk mencari inspirasi baru.
"Ternyata ada yang memperhatikan" kataku dengan lembut, sambil tersenyum ke arahnya.
"Iya, semoga aku tidak mengganggumu... Vania" balasnya ramah.
"mmm... gak juga sih" sahutku cepat. "Sejujurnya, aku lagi kehabisan ide, aku harus nulis artikel dan aku benar-benar buntu" kataku dengan perasaan kalut.
Dia mengangguk dengan simpati. "Ah, aku paham. Menulis memang ngak selalu mudah. Mungkin aku bisa bantu, cerita deh, artikelmu itu tentang apa sih, siapa tahu, percakapan kita bisa menginspirasi" Tawaran yang tak terduga dari wanita di meja sebelah memberikan percikan kebahagiaan yang menghangatkan hatiku. Dalam keheningan kafe yang kini terasa nyaman, aku menceritakan dengan terbata-bata topik dari artikelku yang masih belum selesai. Mata cokelatnya menyala antusias, dan senyumnya yang ramah menyejukkan hati.
"Vincent... penulis kolom resah" aku mengenalkan diriku setelah merasakan kehangatan yang terpancar dari tatapan matanya.
Kafe menjadi ramai oleh orang-orang yang berusaha mencari tempat untuk berteduh. Rupanya hujan semakin deras di luar, sama halnya seperti percakapanku dengannya, Aku mengamati jalanan dari jendela kafe, sementara wanita itu tetap asyik mendengarkan ceritaku.