Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Tanteku Monster

27 Juli 2023   10:00 Diperbarui: 27 Juli 2023   10:07 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar cerpen Tanteku Monster, foto oleh Roman Odintsov dari pexel.com 

Hari ini, sinar matahari pagi menyinari kota metropolitan dengan cahaya yang memesona. Aku, mengawali hariku dengan semangat yang menggebu-gebu. Sejak dini hari, kegembiraan sudah memenuhi pikiranku karena ini adalah hari yang spesial bagiku.

Hiruk pikuk kota menambah kekalutan dan perasaan tegang yang menyelimuti hatiku dalam perjalanan menuju kampus. Hari ini aku akan presentasi, untuk tugas akhir salah satu mata kuliah kuliah penting, aku mahasiswa sastra. Ini adalah kesempatanku untuk menghadirkan cerita yang telah kupelajari, kuimajinasikan, dan kutuangkan dengan penuh cinta di dalam tulisanku.

Sebagai mahasiswa sastra tentu saja, aku senang menulis, tapi kini impianku mengarah pada tingkat yang lebih tinggi. Aku ingin menjadi penulis terkenal, menghidupi diri dengan tulisan-tulisanku, dan menyentuh hati banyak orang melalui kata-kataku.

Impianku menjadi penulis terkenal sering kali bertentangan dengan pendapat bibi. Bibi selalu menganggap bahwa menulis hanyalah buang-buang waktu dan tidak akan membawaku pada kesuksesan yang sesungguhnya. Setiap hari, ia mengulang kata-katanya, aku seharusnya fokus pada karier yang lebih stabil dan menguntungkan.

Kehilangan orangtua dalam kecelakaan tragis saat aku masih remaja adalah pukulan berat yang sulit untuk aku atasi. Setiap hari, aku harus berjuang untuk menerima kenyataan pahit itu, dan kekosongan di hatiku tak pernah hilang. Hidup bersama bibi yang keras hatinya hanya menambah lapisan himpitan kesulitan dalam perjalanan kesedihanku.

Aku merasa terisolasi karena hasratku untuk menulis selalu ditentang. Bibi tidak pernah mengerti dan selalu meremehkan impianku. Baginya, menulis adalah sesuatu yang tidak perlu dan sia-sia. Ia selalu menekankan pentingnya fokus pada hal-hal yang lebih praktis dan menguntungkan secara finansial.

Terkadang, kata-kata kasar dan hinaan dari bibi merobek, mencabik-cabik hatiku. Sering sekali aku merasa sendirian dan takut jika aku harus terus berpegang pada keinginanku untuk menulis. Aku sering bertanya-tanya pada dirisendiri apakah impianku ini hanya omong kosong belaka, seperti yang bibi katakan.

Namun, meskipun hatiku terguncang oleh kata-kata bibi, ada sesuatu di dalam diriku yang tak pernah bisa padam. Aku merasa seperti ada kekuatan yang menggerakkanku untuk mengejar impian itu, untuk mengekspresikan diri melalui tulisan. Ketika aku menulis, aku merasa seperti melayang, terbang di awan putih, kebebasan tak terbatas untuk berimajinasi dan menuangkan perasaan dan kegelisahanku.

Suatu hari, aku menemukan sebuah jurnal tua milik ibu. Di dalamnya, terdapat banyak puisi dan cerita pendek yang ditulis olehnya. Membaca tulisan-tulisan itu membuat air mataku berlinang, tapi juga memberikanku kekuatan baru. Aku menyadari bahwa impian menulis bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi juga untuk ibu, yang dulu pernah mengejar impian itu namun terhalang oleh waktu.

Ketika aku tiba di ruang presentasi, hatiku berdegup kencang. Kulihat teman-teman sekelas yang sudah berkumpul di dalam sana, mereka menyambutku dengan senyuman hangat.

"Belva, kamu datang! Kami sudah menunggumu!" Sahut Tina.

"Maaf ya, sedikit terlambat... Aku agak gugup" Jawabku.

"Gugup itu wajar, Belva. Kita semua pasti merasakannya. Tapi percayalah, kamu pasti bisa!" balas Aldi.

"Terima kasih, guys... Semangat kalian membuatku merasa lebih yakin" Kataku sambil memeluk teman-temanku.

"Jangan lupa, kita semua di sini untuk saling suport. Ini saatnya untuk menunjukkan kemampuan kita sebagai penulis" Balas Rani, menyemangati.

"betul sekali, Rani. Aku sudah menyiapkan presentasiku dengan baik, ya tuhan, semoga aku bisa memberikan yang terbaik" Aku memelas.

Tepat pada waktunya, dosen pengampu mata kuliah itu datang dan memberikan pengantar untuk presentasi kita.

"Halo semuanya! Hari ini kita akan melihat presentasi karya-karya tulisan dari teman-teman kita. Belva, kamu duluan. Silakan maju" Pinta Dosen itu.

"Baik, terima kasih" Jawabku sembari menelan ludah.

Aku berjalan ke depan, berdiri di hadapan teman-teman sekelas dan dosen. Hati ini campur aduk rasanya antara gugup dan semangat. Namun, aku teringat jurnal tua milik ibu dan dukungan dari teman-teman, membuatku semakin percaya diri.

"Halo semuanya, namaku Belva. Aku ingin mempersembahkan karya tulis berjudul Tarian Kabut. Cerita ini tentang seorang gadis muda yang menemukan arti sejati dari kebahagiaan dari kabut yang menghalangi pandangannya"

Aku mulai membacakan cerita pendekku dengan penuh ekspresi, mencoba menyampaikan setiap detil cerita dengan penuh semangat. Seiring dengan berjalannya waktu, rasa gugup mulai menghilang, dan aku semakin tenggelam di dalam aliran kata-kataku.

Setelah selesai, tepuk tangan dan sorakan mengisi ruangan. Aku merasa lega dan bahagia.

"Bagus sekali, Belva! Ceritanya begitu indah dan menyentuh hati. Kamu punya bakat luar biasa dalam menulis" Dosen itu menyalamiku.

"Terima kasih, Pak. Ini adalah impian saya untuk menjadi penulis, dan saya berharap bisa membawa inspirasi melalui tulisan-tulisan saya" jawabku

"inspirasimu sungguh luar biasa, buku apa yang menjadi referensimu" Tanya dosen itu.

Inspirasi itu mengalir dalam darahku, pada suatu hari disaat kegelisahan menyelimuti hati dan hampir merusak hariku, aku menemukan sebuah toko buku tua yang berdebu di tengah kota. Aku tertarik oleh aroma buku kuno dan kesederhanaan ornamen toko itu, aku memutuskan untuk masuk. Di dalam toko buku itu, aku bertemu dengan seorang pria tua yang sangat bijaksana.

Widjaya Abednego adalah penulis terkenal yang sudah pensiun dari dunia sastra, tetapi ia selalu terbuka untuk berbicara dengan para pemuda yang berbakat. Melihat potensi besarku, ia pun memberikan saran berharga dan membagikan kisah-kisah inspiratifnya.

"Belva, impianmu adalah kekuatan yang luar biasa. Tak perlu takut dengan keraguan dan pendapat orang lain. Jika kamu ingin menulis, maka tulislah dengan sepenuh hati. Kehadiranmu sebagai penulis akan memberikan cahaya baru bagi dunia ini"

Kata-kata Pak Widjaya menyentuh hatiku, dan semangatku kembali membara. Namun, ketika aku kembali ke rumah dan menceritakan pertemuan itu pada bibi, ia menggelengkan kepala dengan tegas. "Jangan terlena oleh omongan orang asing, Belva. Karier sebagai penulis hanyalah khayalan belaka"

Dalam perjalanan mencari inspirasi bersama Pak Widjaya, aku belajar lebih banyak tentang diriku sendiri. Aku menyadari bahwa menulis bukan hanya tentang kata-kata yang mengalir dan membentuk muara kalimat demi kalimat, tetapi juga tentang mengungkapkan perasaan dan menjelajahi imajinasi. Aku mulai menulis dari hati, dan karya-karyanya pun menjadi lebih kuat dan berkesan.

Dengan semangat yang baru aku temukan, aku memutuskan untuk mempertahankan impian itu. Aku mulai menulis setiap hari, tanpa memedulikan omongan bibi atau rintangan lain yang datang. Tulisanku menjadi semakin kuat, aku merasa lebih dekat dengan ibu melalui untaian kata yang tercipta.

Meskipun bibi saya tetap skeptis tentang hasratku, aku memilih untuk membiarkannya berbicara. Aku tidak ingin membalasnya dengan kata-kata yang sama kasarnya. Aku tahu bahwa pada akhirnya, hasil kerja keras dan semangat saya akan berbicara untuk dirinya sendiri.

"Bibi saya adalah inspirasi saya pak" Jawabku.

"unik juga bibimu itu, ini ada brosur lomba menulis karya sastra tingkat nasional, ikut ya" pinta dosenku.

"baik pak, terima kasih" aku mengambil brosur itu, sesaat aku tidak tahu apakah ini jalan yang tepat untuk ku, ikut dalam lomba menulis?

Ternyata Bibi menemukan brosur itu, ia berusaha untuk menghentikan niatku. Ia tidak setuju dengan keputusanku dan mengancam akan mengusirku dari rumah. Tapi, aku selalu berpegang teguh pada mimpi dan pada nasehat bijak pak Widjaya. aku harus berani berjuang demi impianku apa pun rintangannya, aku akan terus maju.

Aku mengumpulkan semua keberanian dan mengirimkan naskah untuk lomba tersebut. Sembari menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh tekanan, aku berusaha menjaga semangat menulis itu tetap berkobar.

Ketika hari pengumuman tiba, perasaan campur aduk mengocok perutku.

Ketika telepon berdering, jantungku berdetak lebih cepat. Ini adalah momen yang telah lama aku nantikan. Aku mengambil napas dalam-dalam dan menjawab panggilan itu dengan gemetar.

Suara di seberang sana berkata, "Halo, apakah ini Belva?"

"Ya, ini saya. Siapa ini?" Jawabku.

"Selamat! Kamu adalah pemenang lomba menulis tingkat nasional!"

Detik-detik berikutnya seperti berlangsung dalam kecepatan kilat. Aku merasa tak percaya, jantungku berdegup kencang, tangis kebahagiaan pun tak dapat kuhentikan. Ini adalah saat yang luar biasa bagiku, kemenangan yang membuktikan bahwa impianku tak sekadar khayalan belaka.

Suara dari balik telepon itu melanjutkan kata-katanya, "Tulisanmu sangat mengesankan, Belva. Ceritamu sungguh menyentuh hati dan memiliki daya tarik yang luar biasa. Selamat atas prestasimu!"

"Terima kasih, terima kasih banyak! Ini adalah momen yang luar biasa bagiku. Saya tak bisa berkata-kata." Jawabku sambil meangis.

"Kamu layak mendapatkannya, Belva. Impianmu untuk menjadi penulis terkenal semakin mendekati kenyataan. Teruslah menulis dan menginspirasi orang lain dengan kata-katamu" balas seseorang dari balik telepon itu

"aku akan terus menulis, aku takkan pernah melupakan momen ini dan juga dukungan dari banyak orang" aku terisak-isak ketika mengatakannya.

Setelah telepon berakhir, aku merasa seperti terbang di atas awan kesuksesan. Tangisku bercampur dengan tawa bahagia. Aku ingin membagikan kabar ini pada teman-teman sekelasku, terutama pada Pak Widjaya yang telah memberi dukungan dan inspirasi padaku.

Setelah hari pengumuman itu, perjalananku sebagai penulis semakin menarik. Kemenangan dalam lomba menulis tersebut membuka pintu bagi banyak kesempatan. Aku mendapat kontrak untuk menerbitkan buku pertamaku dan bisa berbicara di dalam acara-acara sastra.

Namun, yang paling berarti bagiku adalah momen saat aku menunjukkan surat pengumuman kemenangan pada Pak Widjaya. Wajahnya berseri-seri dan matanya penuh kebanggaan. Dia memelukku erat dan berkata, "Aku tahu kamu bisa melakukannya, Belva. Impianmu menjadi nyata, dan aku sungguh-sungguh bangga padamu."

Semua perjuangan dan rintangan yang aku hadapi menjadi berarti karena aku berhasil mencapai impianku. Hari itu mengajarkan padaku tentang pentingnya memiliki keyakinan pada diri sendiri, mendengarkan hati, dan terus berjuang menghadapi segala rintangan. Aku bersyukur atas setiap langkah yang telah membawaku pada kebahagiaan dan kesuksesan ini. Dan kini, aku siap untuk melanjutkan perjalanan menulisku, mengejar impianku dengan penuh semangat, dan menginspirasi banyak orang melalui kata-kataku.

"Belva..." bibi memanggilku dari lantai bawah.

"iya... sebentar" aku berteriak dari kamarku.

"kamu lagi ngapain sih" bibi sudah berada dibelakangku, ia benar-benar mengejutkanku.

"eh... ee... ini lagi nulis naskah" jawabku ragu, aku takut dia marah, meskipun saat ini ia telah menerima kenyataan, aku berhasil mengejar impianku menjadi penulis.

"bikin buku baru lagi?" tanya bibiku

"iya..." kujawab dengan singkat.

"judulnya apa" pertanyaan itu sungguh membuat jantungku seperti mau lepas.

"Tanteku Monster" kujawab dengan perlahan dengan nada yang hampir tidak terdengar, berharap ia tidak mendengarnya.

"AAAARRRRRGGGHHHHHHHH" ia mengeluarkan taring dan tanduk dikepalanya, aku segera berlari turun menuju meja makan, makan malam sudah siap, dan kami makan bersama malam itu dengan penuh tawa dan canda.

-TAMAT-

Iqbal Muchtar

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun