Aku adalah seekor semut betina yang tinggal di dalam sebuah koloni semut yang hidup di halaman rumah manusia yang baik hati, aku sering melihat manusia itu menatap sarang kami yang berbenruk seperti gunung, sarang kami adalah gundukan tanah di permukaan tapi istana di bawahnya. Aku memiliki bulu kuning yang lembut dan hati yang penuh dengan kasih sayang.Â
Namun, meski hidup dalam kelompok yang hangat dan penuh keramahtamahan, hatiku merasakan kerinduan, keinginan dan harapan untuk menemukan cinta sejati.
Sejak kecil, aku selalu bermimpi menemukan cinta sejati. Aku melihat semut lain dalam koloni yang menemukan pasangan hidup mereka, saling mencintai, dan membangun sarang bahagia bersama. Aku merindukan sentuhan hangat, kata-kata manis, dan kehadiran seseorang yang bisa memenuhi hatiku yang hampa.
"Hei... jangan melamun" nenek membuyarkan impianku bertemu seekor semut tampan.
"Eh... eh... aku ngak bengong nek, lagi capek" jawabku sontak, meskipun tidak masuk akal, sejak kapan kami para semut mengenal lelah.
"Oh... capek ya..." ledeknya, ia tersenyum dengan tatapan yang sangat dalam, tatapan itu mengandung sejuta makna, sejak dulu aku tidak pernah dapat memahami tatapan itu, terlihat sama saja baik dalam situasi marah, senang, curiga, dan bahkan ketika sedang tertawa terbahak-bahak.
Saat ini tatapan itu entah masuk kedalm kategori yang mana, yang aku lakukan ketika melihat tatapan itu hanya bisa tertunduk diam seribu bahasa.
"Nek... aku mau bergabung dengan semut-semut lain mengumpulkan gula" tanyaku, seraya meminta izin untuk berlari dari situasi yang sangat tidak aku harapkan ini.
"Tunggu..." teriaknya ketika aku hendak berlari dengan kaki-kakiku yang kokoh ini, aku teridam terpaku, kata itu seperti petir yang menyambar tubuhku, kaki ku mulai gemetar.
"Kekkkeennaappaaa nek" tanyaku, sambil berbalik arah. Jantungku rasanya berhenti berdetak, meskipun kami para semut tidak memilikinya melainkan hanya aorta yang berfungsi mirip seperti jantung, mengalirkan darah.
"Keranjangnya ketinggalan tuh" ia menunjuk ke arah sebuah keranjang yang terlihat masih bersih, pertanda tidak ada aktifitas sejak pagi tadi, matahari sudah hampir membakar daun-daun kering di halaman ini, namun keranjang itu masih terlihat sama seperti semalam setelah aku membersihkannya.
"Ii.. iii.. yyaaa neekk" segera kusambar keranjang itu, dan berusaha berlari sekencang-kencangnya meninggalkan nenek.
"Kerja yang rajin, sebentar lagi musim kemarau" teriaknya, yang terdengar sangat jelas meskipun aku sudah jauh sekali dari pandangannya, ku rasa bukan karena suaranya yang menggelegar, namun kalimat itu selalu terngiang ditelingaku, setiap kali aku pergi meladang, kata-kata itu selalu mengalir menemani langkahku, aku rasa saat ini ia mengatakan hal yang sama.
Suatu hari, saat aku sedang mengumpulkan makanan di ladang gula, mataku tertuju pada seekor semut jantan. Dia terlihat seperti semut yang gagah berani, dengan postur tubuh yang kuat, ia sangat tampan dan semut jantan itu memiliki mata tajam yang menembus hati.Â
Setiap kali aku melihatnya, hatiku berdebar-debar tidak tentu arah, aku mendengarkan pembicaraannya semut jantan itu sangat bijaksana.
"Rara... sedang apa kamu disini" tanya Riri, adikku.
"Sssssttttttttttt" aku memberikan sinyal agar persembunyianku tidak diketahui oleh semut jantan itu. "jangan berisik, kakak lagi memantau seseorang" sambungku.
"Dia.." tanya adikku. "namanya Raja" sambungnya singkat.
"Apa... bagaimana kamu tahu nama dia" tanyaku kesal, karena ia lebih mengenalnya dari padaku.
"Tentu saja... semua semut di ladang ini mengenalnya, ia semut yang baik hati, rajin dan cerdas" jawab Riri dengan ekspresi wajah mengaggumi pujaan hatinya, aku semakin bersungut-sungut, antena dikepalaku semakit menjulang tinggi karena kesal.
Dengan keberanian yang tak tergoyahkan, aku memutuskan untuk mengungkapkan perasaanku kepada Raja, apapun itu aku harus mengungkapkan perasaan ku, aku berharap dia juga merasakan perasaan yang sama denganku, meskipun dia baru mengenalku.
"Raja... Raja..." panggilku.
"Rara..." ia menyebut namaku, bagaimana ia bisa tahu namaku, aku terdiam sejenak ketika ia memanggil namaku.
"Ya... Raja," aku menatapnya, wajah tampan itu, membuatku kehilangan kesadaran.
"Ada apa Rara" kini wajahnya semakin jelas nampak dihadapanku, aku harus segera mengatakan keinginanku, perasaanku ini.
"Bagaimana kamu bisa tahu namaku?" aku mengucapkannya tanpa sadar, bukan itu seharusnya, entah mengapa bibir ini tidak dapat aku ajak kerjasama kali ini.
"Tentu semua orang di ladang ini mengenal kamu Rara, kamu gadis cantik" mendengar kalimat itu mengalir dari mulutnya, hati terbang melayang ke angkasa.
"Raja... aku suka padamu, sepertinya aku cinta, tapi aku bingung... perasaan ini muncul ketika pertama kali aku melihatmu" aku mengatakan kalimat sepanjang itu hanya dalam satu hembusan nafas, semoga ia tidak mendengarnya, hatiku mengutuk, mengapa aku berbicara begitu cepat, apakah ia mengerti kata-kataku, aku mulai gugup, aku tidak berani menatap wajahnya, apa lagi matanya.
"Rara..." ia mendekat menghampiriku "terima kasih sudah mengungkapkan perasaanmu kepadaku, aku senang kamu sudah jujur dengan diri sendiri" ia mengatakan kalimat itu dengan tangannya yang kokoh menggenggam pundakku.
"Rara... aku hanya mengganggapmu sebagai teman" ia melepaskan genggaman tangannya, hatiku hancur berkeping-keping, aku merasakan aliran darah ditubuhku tidak menentu arahnya.
"Aku pergi dulu.. terima kasih Rara" ia pergi dengan meninggalkan kesedihan yang teramat dalam.
Rasa sakit menerpa hatiku. Aku merasa kecewa, hancur, dan ditolak. Aku berusaha menahan air mata yang sudah tak terbendung di mataku, tapi itu sulit. Hatiku terasa berat, penuh dengan keraguan dan kehilangan. Apakah aku tidak layak mendapatkan cinta sejati?
Aku mencoba melupakan perasaan itu berhari-hari, berusaha mengalihkan perhatian pada pekerjaanku di koloni. Tetapi semakin aku mencoba melupakan Raja, semakin aku merasa sedih dan terluka di dalam hatiku yang hancur. Aku melihat semut lain dalam koloni yang saling mencintai, sementara aku hanya bisa melihat mereka dari kejauhan.
Di malam yang sunyi, aku duduk sendirian di tepi sarang semut, mengawasi bintang-bintang yang berkilauan di langit. Aku merasakan kesedihan yang begitu dalam, merasa seolah-olah tak ada yang bisa memahami betapa hancur hatiku.
Tiba-tiba, teman-teman semut lainnya datang menghampiriku. Mereka melihat kesedihanku, dengan lembut memberikan dukungan dan kasih sayang.Â
Mereka menyemangatiku, mengatakan bahwa aku adalah semut yang luar biasa, penuh dengan kebaikan dan keindahan. Mereka meyakinkanku bahwa aku pantas mendapatkan cinta sejati, dan mengatakan bahwa patah hati bukanlah akhir dari segalanya.
Dukungan dan kasih sayang yang kuterima dari teman-teman semutku membuatku merasa terinspirasi. Aku mulai melihat diriku dengan mata yang baru. Aku tidak perlu mengukur keberartian diriku berdasarkan cinta yang diterima dari orang lain. Aku belajar untuk mencintai dan menghargai diriku sendiri, tanpa validasi dari orang lain.
Aku mulai merubah diriku. Aku mengambil keputusan untuk menjadi semut yang lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih mandiri.Â
Aku menggali kekuatan dan bakatku, tumbuh menjadi semut yang tangguh dan penuh percaya diri. Aku menyadari bahwa cinta sejati dimulai dari dalam diri kita sendiri, dan aku harus mencintai dan menerima diriku apa adanya.
Perlahan tapi pasti, waktu berlalu. Aku tumbuh menjadi semut yang lebih bijaksana dan kuat. Aku menemukan kebahagiaan di dalam diriku sendiri, menemukan sebuah cinta tanpa batas untuk teman-teman semutku dan juga keluargaku, dan aku menemukan keindahan hidup di sekelilingku.
Aku menyadari bahwa patah hati adalah bagian dari perjalanan hidup sebuah metamorfosis. Melalui patah hati itu, aku tumbuh menjadi semut yang lebih kuat dan lebih mampu menghargai diriku sendiri. Aku belajar bahwa cinta sejati tidak hanya tentang menemukan pasangan hidup, tetapi juga tentang mencintai dan menghargai diri sendiri.
Akhirnya, aku menemukan cinta sejati. Bukan dari semut lain, melainkan dari diriku sendiri. Aku menyadari bahwa aku adalah semut yang berharga dan indah dengan segala keunikan yang ada pada diriku. Aku merangkul dan bergaul dengan semua kalangan, menjalani hidup dengan penuh semangat dan kebahagiaan.
Kini, aku menjalani hidup dengan penuh kasih sayang, mengisi hari-hariku dengan keberanian, cinta, dan penghargaan kepada diri sendiri.Â
Aku menyadari bahwa cinta sejati tidak hanya datang dalam bentuk pasangan hidup, tetapi juga dalam bentuk persahabatan dan penghargaan terhadap diri sendiri.
Dikoloni semut kami yang penuh dengan perasaan gembira, aku hidup dengan rasa sukacita. Patah hati yang dulu merasuki hatiku telah membentukku menjadi semut yang lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih mencintai diri sendiri. Aku tahu bahwa cinta sejati tidak selalu ditemukan di luar sana, tetapi juga di dalam hati kita sendiri.
"Riri... dari mana kamu mendapatkan gula sebanyak itu?" tanyaku ketka aku melihatnya sedang memboyong gula-gula itu masuk ke dalam sarang kami.
"Semut jantan itu yang memberikanku" jawabnya santai, ia menunjuk ke arah semut jantan yang masih berdiri di luar sarang kami.
"Apa..." aku terkejut "dia bilang apa?" sambungku dengan rasa penasaran.
"Dia mencintaiku"Â
"Lalu.."
"Aku menolaknya"
"Riri... kenapa kamu tolak"
"Dia bukan semut pilihanku, aku sudah jatuh cinta dengan semut lain, ia cerdas, tampan dengan tatapannya tajam, semut jantan pujaan hatiku itu selalu membuatku terbang melayang dengan gitarnya, membuatku berkhayal, berhalusinasi dengan untaian kata-katanya"Â
"Tapi... " Riri menutup mulutku, berusaha untuk menghentikanku berbicara "aku tidak patah hati meskipun aku tidak memilikinya, karena cinta tidak harus memiliki, melihatnya bahagia setiap hari sudah cukup untukku"
"Huft.."
-TAMAT-
M.I
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI