Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah yang dirasakan oleh para buruh di Tahun 2020 ini. Di tengah hak-hak yang belum terpenuhi dan jauh dari kata adil, para buruh masih harus berjibaku akibat hadirnya Pandemi Covid-19 yang menyerang hampir 200 negara di dunia, salah satunya Indonesia. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini peringatan hari buruh harus nihil dari aksi jalanan sebagai ruang penyampaian aspirasi rutin tiap tahunnya.
Para buruh harus menyesuaikan dengan anjuran physical distancing sehingga tidak dapat menghimpun berkumpulnya orang banyak. Padahal, jika melihat nasib buruh hari ini yang terdampak Covid-19 dan di bawah bayang-bayang ancaman Undang-undang Omnibus Law yang sangat kontroversial, niscaya akan banyak sekali uneg-uneg dan tuntutan yang akan disuarakan.
Kebijakan lockdown dan pembatasan-pembatasan yang diterapkan di negara terdampak untuk mengatasi Covid-19 berimplikasi besar pada iklim ekonomi global saat ini. Termasuk di Indonesia saat ini Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah mulai diterapkan di beberapa daerah sehingga sangat berdampak terhadap pekerja baik formal maupun informal.
Dampaknya, menurut data dari International Labour Organization (ILO), 7 April 2020, pandemi Covid-19 telah berdampak pada hampir 2,7 miliar pekerja di dunia. Menurut ILO, para pekerja dan keluarga mereka tidak akan memiliki sarana untuk bertahan hidup tanpa sumber pendapatan alternatif. Sebagai akibat dari krisis ekonomi, ILO menyebut, 1,6 miliar pekerja informal berpotensi kehilangan mata pencaharian.
Di Indonesia, Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan per 20 April 2020, tercatat sebanyak 84.926 perusahaan telah merumahkan para pekerjanya sedangkan jumlah pekerja yang dirumahkan diperkirakan sebanyak 1.546.208 pekerja. Pada sektor informal yang terdampak, data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, ada 31.444 perusahaan yang harus merumahkan karyawan, dengan jumlah pekerja terkena putus hubungan kerja (PHK) mencapai 538.385 orang.
Banjir PHK seperti saat ini membuat para buruh semakin kesulitan dalam mengais sisa-sisa cara menenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, pembatasan yang terjadi akibat pandemi membuat lapangan-lapangan pekerjaan semakin menyempit dan dunia usaha juga semakin suram tanpa kepastian kapan pandemi ini akan berakhir.
Ditambah lagi dengan pembenaran yang dilakukan perusahaan dengan dalih terdampak pandemi untuk merumahkan dan mem-PHK karyawannya secara sepihak tanpa menimbang beban hidup yang harus diampu oleh para buruh yang diberhentikan. Akhirnya, pandemi membuat bargaining position para buruh lemah baik kepada perusahaan atau ke pemangku kebijakan.
Fatamorgana Ekonomi KerakyatanÂ
Melihat jauh sebelum adanya pandemi global Covid-19, kaum buruh dan rakyat Indonesia seyogyanya telah banyak menghadapi ketertindasan hak-hak yang jauh dari kata adil. Ditambah dengan hadirnya pandemi dan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak membuat kata sejahtera semakin menjauh dari kehidupan para buruh. Dengan adanya pandemi Covid-19, semakin memperburuk kehidupan kaum buruh dan rakyat Indonesia yang bekerja diberbagai sektor seperti; buruh migran, pekerja rumah tangga, pelaut, kontruksi, pekerja harian lepas, dan sebagainya karena kenaikan harga-harga berbagai kebutuhan terutama untuk kesehatan dan kebutuhan bahan pokok rakyat.
Konsep ekonomi berbasis kerakyatan di Indonesia seakan menjadi fatamorgana semata bagi para buruh. Bagaimana tidak, prinsip kapitalisme benar-benar digdaya diterapkan oleh pelaku usaha kepada para kaum buruh. Di tengah krisis seperti ini, perusahaan seolah hanya beranggapan bahwa satu-satunya jalan untuk menyelamatkan perusahaan dari krisis adalah dengan mengurangi biaya produksi dan operasional dan mengabaikan buruh sebagai korban kebijakan.
Dari sisi pemangku kebijakan, juga seolah acuh dan lamban menyikapi kondisi yang ada. Jarring pengaman sosial yang seharusnya disiapkan untuk menyelamatkan jutaan buruh dan pekerja yang terdampak sampai hari ini nihil belum berpengaruh signifikan.
Kondisi ini diperparah dengan munculnya berita beberapa waktu lalu terkait masuknya 500 orang Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China ke Indonesia yang akan dipekerjakan di dua perusahaan tambang nikel yang ada di Sulawesi Tenggara, yaitu PT. Virtue Dragon Nickel Industry dan PT. Obsidian Stainless Steel. Meskipun masuknya 500 orang TKA ini tertunda akibat desakan dan penolakan dari berbagai pihak, namun sangat disayangkan pemerintah yang seharusnya bisa fokus memutus mata rantai penyebaran virus corona (Covid-19) di Indonesia, terutama menyiapkan solusi kebijakan untuk para kaum buruh.
Bayang-Bayang Ancaman Omnibus Law
Tidak cukup tertimpa tangga, setelah terdampak PHK dan berjibaku menghadapi pandemi, kaum buruh harus was-was dengan hadirnya ancaman Undang-undang Omnibus Law yang dinilai banyak pihak tidak berpihak kepada kaum buruh. Alih-alih menghasilkan banyak manfaat, Omnibus Law justru banyak menyunat hak-hak kaum buruh.
Hal menyedihkan adalah ketika semua pihak fokus memerangi pandemi Covid 19, Pemerintahan tetap bersikeras agar Omnibus Law ini disahkan. Terlihat dari tetap dilaksanakannya pembahasan oleh DPR RI. Sangat disayangkan dan melukai hati kaum buruh Indonesia yang saat ini sedang bertaruh nyawa ditengah ancaman bahaya Covid-19 dan ancaman PHK, kehilangan pendapatan dan kelaparan.
Jika kita melihat pada Klaster Ketenagakerjaan Omnibus Law, pengaturan upah dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil. Adanya ketentuan ini berpotensi adanya upah per jam untuk pekerja. Ketika upah dibayarkan per jam (satuan waktu dan hasil), maka otomatis upah minimum akan hilang, yang berakibat hanya akan adanya buruh harian lepas dan buruh borongan. Sangat rawan akan terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap buruh dan rawan untuk diberhentikan sepihak. Dampak lainnya adalah upah di bawah upah minimum akan banyak didapati. Padahal fungsi upah minimum sendiri merupakan jaring pengaman.
Padahal dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun2003, jika pengusahan membayar upah dibawah upah minimum, pengusaha bisa dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak 400 juta.
Begitu juga dalam pengaturan sistem hubungan kerja, diberlakukannya sistem Outsourcing dan sistem kerja kontrak tanpa batas dan untuk semua jenis pekerja dan sektor industri. Padahal, sebelumnya dalam UU Ketenagakerjaan kerja Nomor 13 tahun 2003 kontrak hanya diperbolehkan untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara dan tidak untuk pekerjaan yang bersifat tetap, waktu kontrak pun hanya boleh dilakukan maksimal 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali maksimal 1 tahun.
Banyak hal-hal lain dari Omnibus Law yang menyunat hak-hak pekerja, tidak heran jika penolakan buruh terhadap aturan ini sangat kuat. Berbagai elemen hari ini juga mendesak dihentikankanya pembahasan dan dibatalkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Kartu Pra-Kerja Solusi Ala Pemerintah
Kartu Pra Kerja ini merupakan program pemerintah yang digadang sebagai sebuah langkah baik dengan tujuan yaitu menyiapkan keahlian bagi para pencari kerja. Namun di masa pandemi ini apakah kartu pra kerja merupakan solusi?
Sejak wacana awal hadirnya Kartu Pra-Kerja hingga diterapkan, kontroversi banyak bermunculan di kalangan masyarakat. Dimulai dari dugaan adanya konflik kepentingan Belva Devara selaku Staf Khusus Milenial Presiden Jokowi yang mana perusahaannya dipilih sebagai penyedia layanan Kartu Pra Kerja.
Kecurigaan lain terus mengalir dan justru terkesan Kartu Pra Kerja hanya menjadi agen aliran dana bagi para perusahaan penyedia pelatihan. Ditambah media pelatihan yang disediakan dalam program ini sebenarnya bisa diperoleh secara gratis di akun media sosial seperti di YouTube. Padahal, dana yang digelontorkan untuk pengadaan program hingga mencapai 5.6 Triliun.
Alih-alih memangkas angka pengangguran akibat PHK, Program Kartu Pra Kerja terkesan tidak memiliki tolak ukur yang jelas dan hanya sebatas pelatihan untuk menambah Curriculum Vitae pesertanya.
Meski begitu, pemerintah justru mengklaim program ini sebagai solusi tingginya angka PHK. Padahal, yang dibutuhkan para buruh terdampak hari ini adalah jarring pengaman sosial berupa bantuan sosial dan lapangan pekerjaan. Kita bisa menilai bahwa hadirnya Kartu Pra Kerja tidak menjamin pesertanya mendapatkan pekerjaan, apalagi dengan hanya bermodal sertifikat pelatihan online. Meskipun program ini memberikan bantuan dana pelatihan sebanyak 600 ribu perbulan selama 4 bulan, namun di masa pandemi seperti ini tidak akan cukup memenuhi kebutuhan hidup para kaum buruh terdampak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H