Kondisi ini diperparah dengan munculnya berita beberapa waktu lalu terkait masuknya 500 orang Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China ke Indonesia yang akan dipekerjakan di dua perusahaan tambang nikel yang ada di Sulawesi Tenggara, yaitu PT. Virtue Dragon Nickel Industry dan PT. Obsidian Stainless Steel. Meskipun masuknya 500 orang TKA ini tertunda akibat desakan dan penolakan dari berbagai pihak, namun sangat disayangkan pemerintah yang seharusnya bisa fokus memutus mata rantai penyebaran virus corona (Covid-19) di Indonesia, terutama menyiapkan solusi kebijakan untuk para kaum buruh.
Bayang-Bayang Ancaman Omnibus Law
Tidak cukup tertimpa tangga, setelah terdampak PHK dan berjibaku menghadapi pandemi, kaum buruh harus was-was dengan hadirnya ancaman Undang-undang Omnibus Law yang dinilai banyak pihak tidak berpihak kepada kaum buruh. Alih-alih menghasilkan banyak manfaat, Omnibus Law justru banyak menyunat hak-hak kaum buruh.
Hal menyedihkan adalah ketika semua pihak fokus memerangi pandemi Covid 19, Pemerintahan tetap bersikeras agar Omnibus Law ini disahkan. Terlihat dari tetap dilaksanakannya pembahasan oleh DPR RI. Sangat disayangkan dan melukai hati kaum buruh Indonesia yang saat ini sedang bertaruh nyawa ditengah ancaman bahaya Covid-19 dan ancaman PHK, kehilangan pendapatan dan kelaparan.
Jika kita melihat pada Klaster Ketenagakerjaan Omnibus Law, pengaturan upah dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil. Adanya ketentuan ini berpotensi adanya upah per jam untuk pekerja. Ketika upah dibayarkan per jam (satuan waktu dan hasil), maka otomatis upah minimum akan hilang, yang berakibat hanya akan adanya buruh harian lepas dan buruh borongan. Sangat rawan akan terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap buruh dan rawan untuk diberhentikan sepihak. Dampak lainnya adalah upah di bawah upah minimum akan banyak didapati. Padahal fungsi upah minimum sendiri merupakan jaring pengaman.
Padahal dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun2003, jika pengusahan membayar upah dibawah upah minimum, pengusaha bisa dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak 400 juta.
Begitu juga dalam pengaturan sistem hubungan kerja, diberlakukannya sistem Outsourcing dan sistem kerja kontrak tanpa batas dan untuk semua jenis pekerja dan sektor industri. Padahal, sebelumnya dalam UU Ketenagakerjaan kerja Nomor 13 tahun 2003 kontrak hanya diperbolehkan untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara dan tidak untuk pekerjaan yang bersifat tetap, waktu kontrak pun hanya boleh dilakukan maksimal 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali maksimal 1 tahun.
Banyak hal-hal lain dari Omnibus Law yang menyunat hak-hak pekerja, tidak heran jika penolakan buruh terhadap aturan ini sangat kuat. Berbagai elemen hari ini juga mendesak dihentikankanya pembahasan dan dibatalkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Kartu Pra-Kerja Solusi Ala Pemerintah
Kartu Pra Kerja ini merupakan program pemerintah yang digadang sebagai sebuah langkah baik dengan tujuan yaitu menyiapkan keahlian bagi para pencari kerja. Namun di masa pandemi ini apakah kartu pra kerja merupakan solusi?
Sejak wacana awal hadirnya Kartu Pra-Kerja hingga diterapkan, kontroversi banyak bermunculan di kalangan masyarakat. Dimulai dari dugaan adanya konflik kepentingan Belva Devara selaku Staf Khusus Milenial Presiden Jokowi yang mana perusahaannya dipilih sebagai penyedia layanan Kartu Pra Kerja.