Mohon tunggu...
iqbal dawami
iqbal dawami Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Senjakala Dunia Terjemahan

13 Maret 2016   05:54 Diperbarui: 13 Maret 2016   16:29 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi proses menerjemahkan. Sumber: mhq.com"][/caption]Suatu ketika saat lari pagi, dengan mengelilingi lapangan sepakbola, di putaran ketiga saya terpikir dengan esai yang berjudul “Infrastruktur Buku Setelah Buschmesse”, ditulis oleh Muhidin M. Dahlan. Muhidin (yang akrab dipanggil Gus Muh) menceritakan peristiwa The Frankfurt Book Fair (TFBF) 2015, di mana Indonesia menjadi tamu kehormatannya.  Kata Gus Muh, inti utama TFBF sebenarnya ajang jual beli hak cipta penerjemahan buku. “Tiga hari pertama masyarakat umum tak dibolehkan masuk, kecuali para pelaku industri buku untuk transaksi hak cipta penerjemahan,” ujarnya.

Indonesia sendiri sebelum TFBF dihelat sudah mencanangkan untuk menerjemahkan 200 buku ke dalam bahasa Jerman. Nahasnya, stok penerjemah begitu minim. Saya tidak tahu angka 200 itu tercapai atau tidak. Proyek pemerintah menerjemahkan buku-buku dari penulis Indonesia untuk acara TFBF tentu patut dipuji. Tapi patut disayangkan kalau kemudian proyek tersebut berhenti seiring berhentinya TFBF.

Gus Muh pun menunggu adakah follow-up dari pemerintah setelah acara TFBF ini untuk membangun dan menata ulang Infrastruktur Penerjemahan Buku? “Bukan hanya agar buku-buku kita tetap berada dalam level sebagai warga dunia, namun juga buku-buku literatur dunia menjadi benda sehari-hari dalam perpustakaan masyarakat kita,” ujarnya.

Pemerintah sebagai fasilitator penerjemahan saya kira sesuatu yang sangat ideal. Proses terjemahan secar massal akan terjadi, sehingga perbukuan kita menggeliat secara signifikan. Lantas, mekanismenya seperti apa agar penerjemahan ini bisa berjalan, baik secara langsung maupun tidak? Soal ini kita bisa belajar pada bangsa Jepang yang terbukti efektif menyemarakkan dunia terjemahan di negaranya.

Berkaca pada Jepang

Di Jepang, pemerintahnya langsung turun tangan untuk membuat kebijakan perihal penerjemahan buku. Pemerintah memfasilitasi kegiatan penerjemahan agar bisa berlangsung efektif. Salah satu programnya adalah para mahasiswa Jepang yang mendapatkan beasiswa di luar negeri hukumnya wajib menerjemahkan buku. Minimal dua judul dalam satu semester. Karena wajib, mau tidak mau mereka pun menerjemah.

Uniknya, mereka tidak menjadikan hal itu sebagai beban, tapi sebaliknya, mereka begitu menikmati aktivitas ini. Tak jarang dalam satu semester mereka bisa menerjemah lebih dari dua buku. Antusiasme ini terjadi, lantaran kecintaan mereka terhadap buku, termasuk di dalamnya suka membaca dan mengoleksi buku. Bagi mereka, menerjemah berarti juga menyerap sumber ilmu pengetahuan dari pemikiran-pemikiran orang di luar Jepang.

Bisa kita bayangkan, jika ada lima ratus mahasiswa penerima beasiswa saja, maka bisa dihitung berapa ratus ribu judul buku yang bisa diterjemahkan dalam setahun. Kemudian, kita kalikan lima tahun. Angka lima ratus saya kira masih terlalu minim. Jumlah sebenarnya pasti lebih dari itu. Begitu juga angka lima tahun.

Saya kira, hal ini patut ditiru oleh pemerintah kita, karena sangat logis untuk diterapkan. Saya membayangkan, para mahasiswa Indonesia yang menerima beasiswa akan berlomba-lomba menerjemahkan pelbagai buku. Mahasiswa yang di Timur Tengah dan Mesir akan menerjemah buku-buku berbahasa Arab, dan dari Eropa akan menerjemah buku-buku Bahasa Inggris bahkan bahasa lain, seperti Jerman dan Prancis.

Tentu ini baru satu strategi saja, karena masih banyak strategi lainnya yang bisa kita lakukan. Misalnya di kampus-kampus yang ada jurusan bahasa, bisa juga diwajibkan untuk menerjemahkan sebuah buku, sebagai tugas wajib mata kuliah atau bahkan sebagai pengganti skripsi. Agar tidak kecurangan, tentu harus dibuat aturan mainnya seefektif mungkin. Saya sendiri pada waktu kuliah dulu pernah menerjemah sebuah buku bahasa Arab sebagai tugas mata kuliah di mana kemudian hasil terjemahannya saya kirim ke penerbit dan—alhamdulillah—diterbitkan.

Selain itu, hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah kita adalah memberi order kepada para penerjemah profesional, seperti halnya yang dilakukan para penerbit. Tentu hal ini sangat lumrah. Bukankah cara seperti ini juga yang dilakukan pemerintah pada saat kita hendak ke TFBF sebagai tamu kehormatan?

Model semacam ini yang perlu dan harus diperhatikan adalah soal honorarium. Jangan sampai pemerintah mengecewakan para penerjemah profesional ini. Misalnya, harga terjemahannya melenceng dari kesepakatan di awal. Kita mafhum lah di negara kita kalau ada proyek sering kali ada potongan-potongan dana, semakin ke bawah semakin mengecil nominalnya.

Dunia penerjemahan tidaklah main-main. Pengaruhnya terhadap kemajuan peradaban sangatlah besar. Aktivitas ini mempunya peran yang luar biasa terhadap suatu bangsa. Hal ini kita bisa berkaca pada masa-masa kejayaan Islam. Saya akan menceritakan peran seorang khalifah membuat the big project untuk menerjemahkan pelbagai buku dari pelbagai bangsa yang telah lebih dulu maju peradabannya. Dan para penerjemahnya begitu dimanjakan dengan pelbagai fasilitas.

Baitul Hikmah

Pada zaman keemasan Islam, baik pada masa Abbasiyah di Baghdad maupun masa Umayyah di Andalusia, ilmu pengetahuan begitu maju. Hampir dalam segala bidang: sains, filsafat, kedokteran, sastra, dll.      

Pada masa pemerintahan kekhalifahan Harun al-Rasyid dibangun perpustakaan di Baghdad di mana seseorang dapat menemukan karya-karya asli dari bahasa Yunani, Sansekerta, dan Persia serta terjemahan dari masing-masing bahasa tersebut. Sesudah itu, aliran ilmu pengetahuan mulai memasuki negeri muslim sebagai hasil aktivitas penerjemahan yang sistematis dan intensif.

Al-Makmun, penguasa Bagdad (786-833 M), khalifah ketujuh dan mungkin juga khalifah Abbasiyah terbesar (813-833), merupakan pemrakarsa pengetahuan dan karya-karya ilmiah melebihi Harun al-Rasyid serta menjadikan pencarian dan penerjemahan manuskrip-manuskrip Yunani sebagai tujuan hidupnya, bahkan ia mengirim sebuah misi kepada raja Byzantium, Leon De Armenia, demi tujuan hidupnya itu. Al-Makmun mengundang, menerjemahkan dan mendukung para sarjana Yahudi dan Kristen untuk menerjemahkan manuskrip-manuskrip Yahudi itu ke dalam bahasa arab. Ia membangun lembaga riset yang bernama Baitul Hikmah.

Selama masa kekuasaannya, beratus-ratus manuskrip telah diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Sebagaimana ayahnya, khalifah al-Makmun juga merupakan patron ilmu pengetahuan yang andal. Didukung keuangan kekhalifahan, lembaga ini menarik ilmuan dan sarjana terutama para penerjemah yang berkompeten.

Proyek terjemahan ini memunculkan para penerjemah yang kompeten, seperti Abu Zakariyya Yahya Ibn Batriq, yang menerjemahkan buku-buku Hipocrates tentang tanda-tanda kematian, beberapa karya Aristoteles, karya-karya Galen, De Theriaca dan Pisonem. Al-Kindi, seorang filsuf, menerjemahkan dan memimpin proses penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa arab. Karya-karya terjemahannya yang paling terkenal adalah sebuah karya Neoplatonik yang didasarkan pada buku-buku IV hingga VI dari buku Enneads karya Plotinus.           

Jibrail Ibn Bakhtyashu, cucu dari seorang penerjemah sebelumnya dengan nama yang sama, menjadi dokter ahli bagi al-Makmun dan Harun al-Rasyid dan menerjemahkan banyak manuskrip Yunani dalam bidang kedokteran. Sahl at-Thabari, seorang ahli astronomi dan tabib Yahudi adalah satu dari penerjemah-penerjemah pertama Adri Almagest karya Ptolemy ke dalam bahasa arab.

Tiga bersaudara Banu Musa, yang masing-masing memiliki keahlian dalam salah satu atau tiga bidang ilmu pengetahuan, menghabiskan sebagian besar waktu dan kekayaannya untuk memperoleh manuskrip-manuskrip Yunani serta menerjemahkannya ke dalam bahasa arab. Hunain Ibn Ishaq dan Tsabit Ibn Qurra merupakan para penerjemah paling terkenal yang mereka pekerjakan. Banyak tulisan-tulisan dalam bidang matematika, mekanik, dan astronomi serta beberapa karya dalam bidang logika diterjemahkan untuk mereka.

Abu Zakariya Yuhanna Ibn Masawaih, seorang tabib yang menerjemahkan beberapa karya Yunani tentang ilmu kedokteran ke dalam bahasa arab, adalah pemimpin pertama dari perpustakaan Baitul Hikmah yang didirikan al-Makmun.

Hunain ibn Ishaq (808-877 M), adalah seorang tabib Nestorian, salah satu sarjana hebat dan penerjemah handal pada masanya. Adapun jumlah karya terjemahan yang telah dihasilkannya adalah 95 karya versi bahasa Persia, lima darinya adalah edisi revisi dan 39 versi bahasa arab dari buku-buku Galen dan lainnya. Ia bekerja sebagai seorang penerjemah sekitar lebih dari 50 tahun. Jumlah dan kualitas karya terjemahan dari ilmu kedokteran yang dihasilkan oleh Hunain dan kelompoknya, menjadi pondasi dari pengetahuan muslim yang mendominasi pemikiran pertengahan hingga abad ke-17, dan kemudian dilanjutkan oleh putranya.

Barangkali Hunainlah sebagai penerjemah terbesar karya-karya klasik, terutama karya Helenistik ke dalam bahasa arab yang boleh jadi terjemahannya sama pentingnya dan sama berpengaruhnya dengan terjemahan karya-karya bahasa arab ke dalam bahasa latin oleh Gerard dari Cremona, selama paruh kedua abad kedua belas. Hunain mempunyai 90 murid penerjemah di bawah pengawasannya. Dorongan membuat karya-karya terjemahan pada masa kejayaan Islam terlihat dari pemberian bayaran kepada para penerjemah. Hunain, misalnya, ketika diangkat dan sebagai pengawas Baitul Hikmah, diberikan emas senilai dengan berat buku yang diterjemahkan.

Pada abad kesembilan Baghdad benar-benar menjadi pusat ilmu pengetahuan. Penerjemahan yang telah dihasilkan selama 900 tahun menjadi anti-klimaks bagi karya-karya yang ditulis selama ratusan tahun sebelumnya. Teks-teks Yunani klasik dalam bidang matematika dan medis telah selesai diterjemahkan. Namun, antara periode 900-1000 tahun bukan berarti tidak ada aktivitas atau usaha-usaha yang terorganisir untuk mengembangkan karya-karya terjemahan. Aktivitas itu terus ada walaupun intensitasnya agak menurun.

Kontribusi yang diberikan oleh para penerjemah waktu itu memiliki arti yang signifikan. Mereka mendapatkan dukungan yang besar dalam kegiatan penerjemahannya, dalam pendirian pusat-pusat penerjemahan dan dalam pengamanan manuskrip-manuskrip Yunani.

Masa penerjemahan (the age of translation) yang berlangsung hampir 150 tahun (750-900 M), merupakan masa bagi berlangsungnya kreativitas murni dan pengaruh intelektual muslim. Sepakat atau tidak, kejayaan Islam dalam kebudayaan dan ilmu pengetahuan secara dekat berhubungan dengan aktivitas penerjemahan. Penerjemahan telah terbukti menjadi sesuatu yang memainkan peranan utama.

Bercermin pada bangsa Jepang dan Kekhalifahan Islam, saya kira sudah saatnya pemerintah Indonesia turun tangan memfasilitasi proses penerjemahan. Jangan ditunda lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun