Mohon tunggu...
Muhmad Iqbal Haqiqi
Muhmad Iqbal Haqiqi Mohon Tunggu... Jurnalis - Author

Mahasiswa cupu yang manaruh cinta pada baca - tulis, anima dan minum susu. Sesekali juga doyan gorengan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bulir-bulir Hikmah dari Pengalaman Kuliah Kerja "Ngendeso"

3 Maret 2019   21:50 Diperbarui: 4 Maret 2019   03:44 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

 "Kuliah Kerja Nyata itu proses mendesokan mahasiswa yang sekarang statusnya kek pejabat keilmuan ajaah"

Hujan mengguyur sore ini dengan intensitas yang lembut. Suara gemriciknya seolah alunan rima yang menyongsong datangnya azan magrib. Udara dingin menyapu dengan embusan yang kalem seakan memberikan pemakluman kepada anak-anak kecil yang berlarian menuju ke mesjid kampung. Aroma khas tanah yang terangkat oleh hujan, serta langit - langit kampung yang diselimuti pohon - pohon durian, semakin menambah kesan damai di perkampungan ini.

Sembari berjalan kaki menuju mesjid, mata saya mengamati setiap sudut - sudut kampung yang begitu hijau dan lembap, di belakang telah mengekor anak - anak kecil yang sedari tadi mencari perhatian saya. Mereka mendatangi saya dan mulai bercerita tentang tetek bengetnya kehidupan sekolah. Dan meminta saya mengajari mereka sedikit ilmu perihal merayu wanita, aaaaah anak kecil jaman sekarang benar - benaar sudah terkontaminasiiiii !!

Sudah, sudah, gak perlu ngegassssh dong !

Tidak terasa, waktu KKN akan segera berakhir. Segala macam suasana sejuk nan damai akan mulai berganti dengan ramainya hiruk pikuk kota Semarang. Menanggalkan segala macam permainan dengan anak kecil di setiap sore, mulai menutup kebiasaan berjalan di tepi sawah di kala fajar, dan tidak ada lagi ribut - ribut di pagi hari perihal jadwal memasak. Momen yang paling dirindukan adalah ketika berdialog santai dengan pemilik rumah tempat saya menumpang. Bercerita tentang sejarah desa, budaya, dan kebiasaan masyarakat setempat. Dan lagi, berada di desa yang damai ini terasa seperti begitu dekat dengan Tuhan. Haiiish terhuraaa !!

Itulah potret di sebuah kampung tempat saya menyelesaikan program pengabdian suci dari kampus. Sebuah kampung yang terletak di pelosok barat daya Kota Semarang yang berbatasan dengan Kabupaten Kendal. Maklum, belakangan ini mahasiswa di beberapa kampus di kota Semarang seperti saya tengah menjalani salah satu pengabdian suci, atau istilah kampusnya adalah KKN - Kuliah Kerja Ngorok eeeeh Kuliah Kerja Nyata-. 

Sebuah pengabdian suci yang diberikan oleh kampus untuk menguji keabsahan istilah Agent of change, serta sebagai sarana menetralisasi sifat hedonisme mahasiswa milenial seperti saya yang kian tumpeh - tumpeh. Bukan tanpa alasan loooh ketika saya mengutarakan dua pokok urgensi dari pengabdian suci ini.

Perkembangan arus globalisasi yang begitu masif, menyebabkan berbagai budaya dan style hedonis barat kian menjamur di kalangan mahasiswa milenial seperti saya. Banyak budaya dan gaya hidup desa yang sederhana mulai ditinggalkan dengan dalih ketinggalan jaman. Selain itu, gelar agent of change yang melekat, mengakibatkan tidak sedikit masyarakat umum yang memandang mahasiswa seperti saya sebagai kasta baru di kancah persosialan kemasyarakatan. Dan menyematkan mahasiswa seperti saya sebagai katrol elit di bidang keilmuan. Padahal yah kalau dilihat-lihat, banyak mahasiswa seperti saya yang lebih sering menghabiskan waktunya bukan di dunia keilmuan, melainkan di dunia perkasuran. Tapi tetap saja, namanya juga mahasiswa, dari dulu sampai sekarang, image yang ada di masyarakat perihal mahasiswa ya begitu adanya.

Setujuuuu ?? Okeh kalau ga setuju juga gak apa - apa.

KKN merupakan sebuah fase di civitas akademik kampus yang mau tidak mau harus dilalui oleh setiap mahasiswa yang ingin mendapatkan gelar strata 1 termasuk saya. Sebuah program dimana kami mahasiswa harus siap - siap dibuang ke daerah - daerah pinggiran kota atau bisa juga dilempar ke daerah - daerah terisolasi yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Tujuannya yah seperti yang saya ucapkan tadi,  menguji keabsahan predikat agen of change dan menetralisasi berbagai sifat hedonisme mahasiswa milenial.

Terdengar keren memang bila disebut sebagai pengabdian suci. Pada awal - awal pelaksanaan program KKN. Cita - cita yang diharapkan di KKN ini adalah tentang peran mahasiswa sebagai calon sarjana untuk dapat memanfaatkan sebagian waktu belajarnya menyumbangkan pengetahuan dan ilmunya dalam membantu memecahkan dan melaksanakan pembangunan di dalam kehidupan masyarakat di pedesaan.  Cita - cita awalnya sih begitu. Namun dengan perubahan waktu dan budaya. Tentunya membuat paradigmanya kini telah bergeser dan berorientasi sedikit pragmatis.

Memang, sebagian kalangan masyarakat yang mulai menyangsikan manfaat KKN bagi mahasiswa dan masyarakat itu sendiri. Orientasi nilai yang ingin dicapai mahasiswa milenial seperti saya menjadikan paradigma yang diinginkan terkait KKN kadang menjadi salah kaprah.

Ini dibuktikan dengan banyak dari mahasiswa milenial yang menjadikan masyarakat bukan sebagai subjek dalam kuliah kerja nyata, melainkan sebuah objek dalam program - program kuliah kerja nyata yang dibuat. 

Kebanyakan kita mahasiswa terlalu pede dengan program - program yang kita rancang tanpa mau mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat. Kan yah aneh, kita ini tamu, kok dengan semena - mena buat program ini itu yang memaksa mereka keluar dari berbagai pola keseharian mereka yang sudah adem ayem bertahan selama bertahun - tahun.

Muncul kasus di mana kita mahasiswa dengan bangga mensosialisasikan program mewah dan revolusioner dari sudut pandang kita. Dan akhirnya berakhir tragis dengan tanpa partisipasi masyarakat desa. Ujung - ujungya, demi kebutuhan formalitas LPJ dan nilai, kita cekrek cekrek foto sebagai bukti kegiatan KKN.  hadeeeh ramshook.

Di kasus lain, kadang kita mahasiswa karena sudah kelewat bingung dengan program apa yang perlu kita terapkan di masyarakat, kita menyerah pada tantangan dan bernasib tragis dengan program unggulan berupa memasak dan tura - turu tok di posko.

Efek domino dari kasus ini tentunya pada sentimen masyarakat desa yang muncul terhadap mahasiswa KKN. Seperti curhatan salah seorang teman KKN dari kampus tetangga yang mengeluhkan sinisme masyarakat di lokasi KKNnya. Masyarakat di lokasinya apatis dan kurang partisipatif terhadap program yang mereka adakan. 

Padahal, program tersebut telah melalui pertimbangan dari tokoh masyarakat setempat. Tidak sering juga nada - nada sentimen terlontar dari masyarakat sekitar. " halah gawe opo cah kkn neng kene, gaweane rak jelas", atau " mahasiswa jaman saiki Cuma jago kandang, neng kampus sangar, neng masyarakat melempem, gawe program ae rak iso". Kan yah sakit kalau denger kata - kata seperti itu. Niat suci kami kau balass dengan air tubaaah saudara - saudaraaa !!

Okeh - okeh jangan baper.

Sebenarnya tidak semua tim KKN bernasib tragis dangan menghadapi masalah dan kasus - kasus tersebut. Banyak dari tim KKN yang berhasil membaur dan memberikan kesan positif terhadap masyarakat setempat, serta memberikan sumbangsih peninggalan yang bermanfaat bagi masyarakat. 

Ada dari mereka yang meninggalkan penemuan inovatif berupa Teh daun jambu merah. Ini tentu akan membantu masyarakat setempat dari sisi ekonomi, ada yang memulai gagasan pupuk cair dari limbah dapur yang bermanfaat bagi kesejahteraan petani, dan masih banyak lagi gagasan menarik yang dilahirkan untuk menunjang kehidupan masyarakat desa oleh tim KKN.

Terlepas dari berbagai macam kasus, problematika dan keberhasilan hidup dalam berumah tangga eeh maksudnya hidup dalam pengabdian, tentunya terselip hikmah yang bijaksana dari sang Maha Kuasa bukan?  

Banyak pelajaran yang saya dapatkan dari proses pengabdian ini. Pastinya pelajaran ini didapatkan bukan hanya melalui tura - turu tok, heheheh

Pelajaran Pertama adalah belajar beradaptasi. Memang sih adaptasi merupakan perilaku meinstream di kehidupan kita, karena beradaptasi adalah gerbang awal dalam memulai hubungan sosial yang menyenangkan. Manusia adalah mahkluk sosial, okelah kalau situ introvert. Tapi ketika mulai di-challenge dalam kehidupan sosial di masyarakat pedesaan, kita mahasiswa dituntut untuk belajar adapatasi dengan cepat. 

Kita mahasiswa harus mulai menganalisa setiap interaksi dan perilaku masyarakat setempat dimulai dari hari pertama kita berada di lokasi KKN. sehingga penilaian pertama masyarakat terhadap pribadi kita selanjutnya dianggap positif.

Selain beradaptasi dengan masyarakat setempat, kita juga dituntut belajar beradaptasi dengan 10 - 15 spesies manusia yang satu tim KKN dengan kita. Nah ini yang paling berat. Kita dikumpulkan dengan orang - orang yang sebelumnya kita tidak tahu menahu soal mereka, mulai dari karakter asli mereka, kebiasaan mereka, kekuclukan mereka, serta status mereka sudah punya pacar atau belum. 

Eeeh yang terakhir emang penting yah? Muehehe. Semua faktor di atas membuat kita harus siap dengan berbagai kemungkinan terjadi. Kalau kita tidak bisa beradaptasi, maka KKN kita terasa seperti berada di pengasingan guys hohoho ngenesh.

Nah setelah mendapatkan ilmu beradaptasi. Pelajaran Kedua adalah mengelola tim dengan rasa yang berbeda. Ini merupakan tugas pokok dari pemimpin atau kordinator tim KKN. Meski pada dasarnya semua anggota tim KKN wajib memiliki ini.

Di awal - awal pengabdian, saya belum sadar bahwa KKN berbeda dengan Ormawa (organisasi mahasiswa) di kampus. Setelah lima hari berjalan, barulah saya menyadari perbedaan itu.

Tentu jelas berbeda, ormawa di kampus berisi orang -orang yang memiliki idealisme yang serupa dan berkomitmen untuk militan dalam memajukan organisasi. Sedangkan di tim KKN, berisi orang - orang yang tergabung karena persamaan kepentingan yang sifatnya pragmatis yaitu nilai guna legitimasi kelulusan.

Selain kepentingan itu, sisanya adalah perbedaan background dari masing -masing anggota tim KKN. Patut disadari, dari 10 - 15 spesies dari anggota tim KKN kita tidak semuanya adalah anak aktivis dan organisator di kampus. Di antara mereka ada jenis mahasiswa rajin yang hanya tahu tentang kuliah, ada yang mahasiswa Kupu - kupu (Kuliah pulang kuliah pulang), ada yang berjenis kura - kura ( kuliah turu kuliah turu), ada yang mahasiswa yang berkultur santri di pondok pesantren.

Dengan bermacam perbedaan yang ada dalam tubuh tim KKN, tentunya kita akan belajar dalam menjalankan tim agar tetap bersinergi dan memosisikan masing - masing diri kita sesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki. Untung saja pada kondisi ini saya sendiri tidak menjadi kordinator dari tim KKN.  Yah bebannya tidak terlalu beratlah. Heheheh

Pelajaran ketiga adalah tentang mengelola konflik. 45 hari menjalani kehidupan yang dilandaskan pada pengabdian, akan banyak rintangan yang muncul dari berbagai sisi. Baik dari sisi internal tim, dan eksternal tim.

Dari internal tim, akan muncul konflik yang bisa saja  memicu lahirnya dua kubu, dan melancarkan perang sindiran serta senimental layaknya kubu C*bong dan Kampr*t.  Haduuh kalau sudah kubu - kubuan, susah semua deh pokoknya. Konflik ini biasanya muncul ketika baper mengalahkan sabar dalam perebutan akal. Masalahnya kadang sepele, karena dipendam sendiri akhirnya panas dan tak terbendung dah bapernya.

Nah inilah pentingnya mengelola konflik melalui pengetahuan tentang setiap karakter dari 10 - 15 spesies yang ada dalam tim KKN. Dalam salah satu teori manajemen konflik, ada yang namanya teori identitas. Di sini kita menganalisa dan mencoba memberikan respon yang berbeda sesuai dengan karater setiap individu saat berinteraksi. 

Yah memang terlihat begitu kurang kerjaan sih. Kok ngoyo banget sampai harus meneliti masing - masing individu dari tim KKN kita. Tapi gak akan rugi kok, itu akan menambah kemampuan intuisi kita dalam mengelola rasa dari tim KKN kita. Yah siapa tahu besok pas nikah punya anak 15, kan perlu banget tuh manajemen konflik biar keluarganya harmonis. Muehehhe.

Dari sisi eksternal, konflik yang biasanya muncul datang dari tokoh masyarakat yang terusik dengan kehadiran kita yang cuma gitu - gitu ajah. Kembali pada teori manajemen konflik, ada teori tentang hubungan masyarakat. Di sini kita belajar menelisik tentang estetika dalam berinterksi dan berkomunikasi. Semuanya akan terkelola dengan baik ketika kita menjalin hubungan yang baik dan harmonis dengan masyarakat setempat, serta menjalin kerjasama yang sinergis terkait dengan program kerja yang kita canangkan.

Pelajaran keempat adalah pelajaran mendidik. Dalam pengabdian KKN, program yang hampir pasti selalu ada adalah bimbingan belajar dan ngajari ngaji untuk anak - anak Sekolah Dasar. Di sini mahasiswa KKN seperti saya akan dituntut untuk menjadi guru, dan mengajarkan ilmu dengan bahasa sesederhana mungkin dan semenyenangkan mungkin. Tujuannya yah biar tidak terkesan boring dan menjenuhkan. Bayangkan saja, ketika kita menjelaskan tentang njelimetnya pelajaran  matematika kelas 6 sekolah dasar, dan tiba -- tiba ada yang meloncat kepunggung dan dikira saya adalah kuda lumping yang bebas aniaya.

Belum lagi berbagai macam pertanyaan aneh yang sifatnya ngetes seperti "binatang apa yang jago berenang kak ? ikan? Salaah, yang benar bebek, ikan mah menyelam, gak berenang, aah payaah lemaaah. Nuuub".

Dan ketika saya menjawab benar, mereka gak terima dan marah. Selain itu kadang mereka menggoda dan minta dikejar, ketika dikejar malah marah - marah Kan yah lucuuuu !!

 Tapi yah sudahlah, dengan ini saya jadi tahu, bahwa mahluk yang tidak bisa disalahkan di zaman ini adalah wanita dan anak - anak.

Dengan mendidik anak - anak, saya jadi mengerti bahwa guru benar - benar mahluk kuat dan sabar yang berjasa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Yah bagaimana tidak sabar, sehari - hari mengajari anak - anak hiperaktif yang jumlahnya 20 - 30 orang. Saya saja menghadapi 7 orang anak saja sudah hampir semaput.

Pelajaran terakhir adalah mengetahui bahwa pola pikir masyarakat desa itu sederhana dan tidak butuh yang njlimet - njilmet. Bisa dipastikan bahwa teori - teori perkampusan yang kita pelajari tidak semua aplikatif di masyarakat. 

Bagi saya yang calon lulusan di sektor perbankan, saya sadar, bahwa teori bunga, bagi hasil, ijarah, istishna, salam, murabahah dan tetek bengeknya di kehidupan perbankan yang diajarkan di kampus benar -- benar tidak bermanfaat secara praktis. Yah meski demikian teori itu tetap berfungsi bagi koorporasi dan pemangku regulasi.  

 Mereka (masyarakat) lebih membutuhkan skill mengenai complex problem solving. Okeeh jangan sinis dulu dengan bahasa inggrisnya. Heehhe. Ini adalah kemampuan dalam memecahkan masalah yang asing.

Di kehidupan masyarakat, mereka lebih membutuhkan solusi dari pada hanya sekedar teori. Masyarakat tidak butuh kebanyakan teori, tidak butuh kebanyakan prolog dan orasi. Mereka butuh akses nyata menuju solusi. Di sini mahasiswa akan dituntut mengahasilkan solusi yang sederhana dari permasalahan yang kompleks. Mulai dari masalah limbah dapur, pengelolaan taman, membangun budaya membaca dan lain sebagainya.

Yah pelajaran yang didapat pastinya disesuaikan dengan proses mengamati dan menganalisa. Sekali lagi ini hanya coretan tentang rasan -- rasan, dan tidak bisa dijadikan patokan.

Oh iya adalah pelajaran satu lagi yang bisa di dapat, yaitu persaudaraan. Heheh bila selama 45 hari tim KKN bisa berjalan sinergis dan harmonis, tentunya akan menambah dan menguatkan persaudaraan, dan channel dalam mencari utangan dikala susah pun menjadi berlimpaah hahahaha. Just guyon luur.

Muhamad Iqbal,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun