Mohon tunggu...
Ipon Semesta
Ipon Semesta Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Seniman. Melukis dan Menulis. Mantan Jurnalis Seni dan Budaya. Ketua PERSEGI (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Seni

Beberapa Kenangan Almarhum HENDRA GUNAWAN - Berang-Berang Garang

13 September 2024   12:23 Diperbarui: 13 September 2024   12:27 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pada waktu pertama kali saya masuk ke Pasar Seni saya keluar kembali dan pergi ke bawah pohon supaya tidak dilihat orang Begitu Hendra dikisahkan mengawall ceritanya.

Di bawah pohon tersebut saya menangis tersedu-sedu, karena teringat pada waktu saya masih belajar melukis dan saya harus menjajakan lukisanku sendiri ke luar masuk kampung untuk menjual dan pernah ditutup pintu pagar oleh seorang ibu pada saat saya mendekatinya. Karena ia tidak ingin repot-repot menolak membeli lukisan saya yang pernah tidak makan karena tidak punya uang. Tetapi sekarang para seniman sudah tak perlu melakukan hal yang saya alami. Mudah-mudahan mereka yang berada di Pasar Seni dapat menjadi seniman-seniman yang baik tanpa menderita lapar seperti saya dulu. Kemudian sesudah tangisku habis baru saya berani masuk ke Pasar Seni Dan lagi pada waktu saya di penjara membaca telah ada Pasar Seni maka saya meneteskan air mata juga

Karena Basoeki

Hendra Gunawan yang romantik, tegar sekaligus garang, akhirnya memang tinggal kenangan. Yang manis, bahkan sampai yang begitu pahit ketika ia harus mendekam di penjara selama 10 tahun karena teribat G 30S/PKI, menjadi ingatan banyak orang. Juga pada apa yang terjadi di Pasar Seni Ancol tanggal 23 Oktober 1978 lampau Pada hari Itu Hendra Gunawan terlibat dalam acara tanya jawab formal dengan khalayak ramal Dan apa yang disuarakan sebagai jawaban, agaknya patut dicatat.

Di antaranya inilah yang terpenting.

Pada kesempatan itu ada seorang yang bertanya, api apa yang menyulut nasionalisme seorang Hendra Gunawan, sehingga la nampak selalu berapi-api sejak tahun 1935? Atas pertanyaan itu Hendra menjawab bahwa tak ada api. Yang ada adalah kenyataan tentang Indonesia yang dinjak-injak oleh kaki penjajahan.

"Namun pendorong tambahan dari ketegasan patriotisme kami (seniman-seniman Bandung termasuk Hendra Gunawan sendiri, adt) adalah kedongkolan kami pada Basoeki Abdullah. Kala itu Basoeki Abdullah baru pulang dari Belanda dan menyelenggarakan pameran di toko buku Kolff jalan Noordwijk (sekarang Jn. Ir. H. Juanda, Jakarta, adt) Tempat ini adalah daerah pertemuan tuan-tuan kontrak tertinggi di negeri ini. Nah, kami yang termasuk kelas bawah tak bisa masuk. Tetapi kami tih nekad. Akhirnya, saya dan Affandi berusaha menerobos ke sana. Sebelum menerobos, jiwa kami telah terisi harapan-harpan manis bahwa kami si anak-anak melarat akan diajari melukis oleh Tuan Basoeki Abdullah. Karena itu pak Affandi segera berangkat ke rumah Pak Cokro Suharto, seorang dokter nationalis yang mengawini Trijoto, adik Basoeki Abdulah. Di rumah Pak Cokro Suhartol Basoeki menginap. Pak Affandi datang pukul 5 sore, dan Basoeki baru keluar pukul 7 malam. Dan ketika Basoeki mengenalkan pak Affandi kepada pak Cokro Suharto, Basoeki berkata spreekt in goed Hollands, yang artinya berbicaralah kamu dalam bahasa Belanda. Mendengar perintah itu kontan Affand melongo. Karena terialu lama melongo Basoeki Abdullah lantas menganggap Pak Affandi tak bisa bahasa Belanda. Padahal Pak Affandi itu sebenarnya menguasai Belanda, juga Inggris, Perancis, dan Jerman. Pak Affandi melongo hanya karena heran. Ngomong sama orang pribumi koq pake bahasa Belanda!

Di lain saat saya pergi ke Pak Abdullah Suriosubroto, ayah Basoeki itu. Saya sebelumnya memang sudah kenal baik, karena sering ke rumahnya di Gang Aceng Bandung. Dari pak Abdullah ini saya mendengar Basoeki pernah mengatakan bahwa Hendra een lelijke jongen, atau Hendra itu anak busuk. Bahkan Basoeki katanya pernah menggugat ayahya yang menerima murid-murid melukis. Dikatakannya bahwa mengajar melukis itu sama dengan melahirkan kongkurensi bajingan.

Menyadari itu, saya dan Pak Affandi naik pitam. Kami lalu berkumpul dan mempersiapkan ledakan. Dari situlah di antaranya patriotisme kami terbangunkan. Dari situ pak Affandi terbangunkan. Sudjojono terbangunkan, yang lalu melahirkan Persagi atau Persatuan Ahill Gambar Indonesia tahun 1937 itu. Tetapi begitu, kami toh tidak pernah tidak mengaku bahwa kami memang murid-murid dari guru-guru kami yang ternyata adalah pelukis-pelukis pasar. Pelukis-pelukis jalanan.

Dari semangat perjuangan itu Hendra Gunawan lalu melukiskan isi jiwanya dengan cara-cara realistik ekspresif. Emosinya nampak terhunjam dalam kanvas-kanvasnya. Namun bentuknya masih jelas terlihat, dan menggigitkan persoalan kepada penikmatnya, Gaya itu dibawanya sampai ujung hayatnya. Dari kenyataan tersebut lantas ada yang bertanya, apakah ide lukisan Hendra yang dahulu dengan yang sekarang masih berada dalam garis yang sama, padahal situasi negara dan penciptaannya telah jauh berbeda? Atas pertanyaan itu Hendra menjawab.

"Tetap pada garis yang sama Ide dari lukisan saya adalah tetap untuk memperjuangkan suatu keindahan, keindahan terbaik di Indonesia. Dan keindahan terbaik itu harus diterjemahkan secara luas. Misalnya, perjuangan bangsa untuk mencapai kemerdekaan 45 dengan pengorbanan sekian ribu ton darah, adalah keindahan yang luar biasa. Kesibukan manusia Indonesia dalam membangun masyarakat yang terbebas dari rasa lapar adalah keindahan pula. Karena itu, ide-ide dari karya-karya saya yang realistik, memang tak pernah habis atau berubah"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun