SENIMAN ITU SEKSIÂ
Membaca Catatan Kecil ditulis oleh Agus Dermawan T menyoal pameran besar dengan tema Tiga Warna Seni Lukis Indonesia, Affandi, R. Basoeki Abdullah RA dan S. Sudjojono di Galeri Pasar Seni Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta13-22 September 1985.
"Seniman itu seksi."Â
"Kenapa?" tanya seorang teman penasaran.
"Seniman (pelukis) tampak seksi ketika sedang melukis. Lihat saja, ketika seniman sedang mencipta karya seni, laiknya seorang perempuan sedang bersolek. Seolah mereka menyisir rambut, memakai foundation, menepuk bedak di pipi, menyapukan eye shadow, mascara, blush on, memoles lipstick dan seolah selalu mengakhiri ritual kejutannya itu dengan kata muaacchhh disetiap ending karyannya?"
Benar dan mungkin betul. Sesungguhnya, ketika seniman sedang berkarya itu seperti sedang berhias diri. Ia mempercantik dan memperseksi diri agar nampak bergairah dan mendebarkan. Aktivitas itu bukan untuk mencuri perhatian lawan jenisnya tetapi itu adalah bagian dari strategi atau langkah taktis untuk mereduksi dan menghalau sesama jenisnya?Â
Membaca kembali artikel lawas menyoal pertemuan tiga sosok karakter Maestro seni lukis Indonesia dalam satu ruang pamer, bagaikan lengkingan terompet sangkakala yang getir dan menyayat (meskipun saya belum sempat mendengar suara terompet Isrofil).Â
Tiga Maestro berbeda prinsip dan karakter dalam berkarya telah menjadi kenangan. Kisah-kisahnya sambung-menyambung dengan kisah lain yang hingga kini fragmen-fragmen dari kisah ketiga Maestro masih terangkai dengan sempurna tiap jejak laku dan bentuk pemikirannya. Kita tahu, mereka telah pulang, damai di sana, berkumpul dengan yang Maha Indah tetapi mungkin saja ada dari mereka yang menginginkan bisa kembali "menemui kita"-dalam banyak hal. Dan sebagian dari kita pun, mungkin juga menginginkan satudua sosok dari mereka hadir kembali, menyaksikan karya seni terkini, karya seni futuristik yang kian bertumbuh.
Meskipun mereka telah menjadi kenangan. Dan (kita telah sepakat), mereka adalah bagian dari scene sejarah kehidupan senirupa Indonesia. Kita akan selalu mengingat itu dan kita tahu harus meletakkan intro, reffrain, atau ending karya mereka menjadi bagian interlude ajeg, tak bisa timbul-tenggelam dalam sejarah seni rupa Indonesia.Â
Mereka adalah setetes air hujan yang bisa nyanyi, bisa menari di atas jamur tumbuh, bunga mekar sebatang flamboyan. Mereka sudi mengerutkan diri, membuka selaput agar-agar waktu, mereka mengetuk tapak kaki menari, membangun dinding dan lapisan atsmosfer senirupa Indonesia. Mereka pergi bersama ke padang estetika. Mereka ingin satu perjalanan tapi tidak terbentang pada terang dan malam, masing-masing dari mereka bagai sepotong agar-agar, kenyal melompat jauh ke tempat setetes air hujan. Mereka tidak leha-leha, ongkang-ongkang kaki dalam berkarya. Mereka penentu arah berkesenian. Mereka tak sama dengan gelandangan yang menulis kisahnya sendiri di emperan toko, lorong-lorong, studio, pasar, kios seni-lupa diri. Ya, mereka adalah setetes hujan yang tak sudah membasahi batang-batang kulanjana dan lidi yara.