Mohon tunggu...
Mohammad Irfan Ramly
Mohammad Irfan Ramly Mohon Tunggu... -

yang menyapa dari timur indonesia dengan keyakinan sederhana untuk terus melakukan hal - hal baik yang menyenangkan. selalu bergerak. mena !!!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Gunung Mimpi

9 Mei 2011   16:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:54 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Masih terang benar ingatan akan pertanyaan beberapa teman selepas pelaksanaan prosesi wisuda tempo hari, sebuah pertanyaan yang bagiku benar – benar menggelitik karena seharusnya tidak perlu dilontarakan apalagi mesti aku jawab. Pertanyaan itu bagiku lebih semacam pernyataan, penolakan terhadap pilihanku dan penyesalanan mereka atas diriku yang dianggap keterlaluan karena tidak pandai bersyukur; Mengapa mesti memilih Pulang Kampung ?

Hari masih pagi benar, ayam – ayam jantan juga belum turun benar dari atas pohon tapi gerombolan anak – anak kecil berseragam merah putih itu sudah melintas ramai. Aku selalu menyaksikan mereka setiap hari—setiap pagi melintas dengan rupa – rupa gaya dan obrolan. Penampilan mereka sederhana atau bahkan terlalu berlebihan untuk disebut layak. Rata – rata mereka kemungkinan besar hanya punya satu pasang baju seragam yang dipakai seminggu penuh, putih bersih dihari senin dan kembali berubah kekuning – kuningan dipertengahan minggu namun bagiku yang tidaak pernah berubah adalah sorot mata mereka, selalu berbinar dan seperti selalu berani menantang apapun. Mereka adalah gerombolan anak – anak kampung, anak – anak gunung yang untuk bisa tiba ke sekolah dengan tepat waktu harus mengantri angkutan selepas subuh karna jarak antara kampung dan sekolah yang jauh.

Aku kenal Buba, anak laki – laki berkulit hitam dan bertubuh lebih besar dari teman – teman segerombolannya. Ayah Buba adalah seorang supir mobil pickup yang hampir setiap hari mengangkut Buba dan teman – temannya kesekolah, jumlah gerombolan anak SD yang harus melewati 3 tiga Kampung besar dan 5 kampung kecil ditambah dusun – dusun petuanan itu memang tidaklah banyak tapi mereka selalu harus beradu cepat dengan orang – orang dewasa yang juga membutuhkan tumpangan untuk tidak terlambat sampai dipasar untuk berjualan. Kampung tempat aku dan buba tinggal bukanlah kampung besar, berada dibagian ujung pulau dan hanya berpenduduk sekitar 200 kepala keluarga yang rata – rata berprofesi sebagai petani kebun sehingga jumlah kendaraan umum yang tersediapun terbatas. Buba sehari – hari bertindak sebagai kondektur ayahnya, mengumpulkan teman – temannya sambil berteriak – teriak “ woe mare skolah woe ” lalu bila ada diantara mereka yang terlambat bisa dipastikan akan memilih pulang dan membantu orang tua mereka dikebun atau bermain dibukit batu.

“ bapa bilang kalo beta skolah, nanti beta bisa jadi presiden “ buba menceritakan alasan mengapa dia bersekolah sambil merajut bambu untuk dibuat menjadi layang – layang “ beta juga punya dua orang kakak laki – laki. Dua – duanya pergi sekolah dikota tapi dong seng jadi presiden, yang pertama jadi buruh dipelabuhan dan yang kedua kerja di Matahari. Yang kedua bajunya bagus, walaupun seng jadi presiden, abang pakai baju hitam – hitam seperti pengawal presiden, kata bapak abang jadi penjaga counter pakaian dalam laki – laki, dia sering sekali mengirimkan beta dan bapak pakaian dalam baru “ buba meracau panjang, terus merajut bambu lalu sesekali menimbangnya dengan benang.

Setiap sore buba dan teman – temannya berkumpul di bukit batu untuk merayakan hari mereka dengan berbagai macam permainan mulai dari permainan hari – hari seperti benteng, perang nama, hasen hingga permaianan – permaianan musiman seperti layang – layang dan mutel[1]. Buba sudah duduk dibanguku kelas enam dan beberapa bulan lagi bersama teman – teman seumurannya akan memasuki ujian nasional yang berarti moment kelulusan mereka akan segera tiba tapi ternyata moment kelulusan tersebut bukanlah sebuah moment yang ditunggu – tunggu oleh buba dan teman – temannya karena tidak semua dari mereka akan bisa melanjutkan studi ke tingkat selanjutnya kecuali mereka yang memiliki biaya dan cukup keinginan untuk pindah ke seberang pulau tempat satu – satunya SMP terdekat berada.

“ dulu beta punya om diseberang, kakak dulu tinggal bersama dia waktu skolah tapi skarang dia suda mati. Bapak bilang beta bisa ikut kakak dikota tapi beta tau hidup mereka susah, beta seng mau menyusahkan “ buba menyelesaikan kerangka layang – layang dan mulai mengolesi kertas Koran dengan minyak kelapa “ beta seng mau skolah lai, tapi beta tetap mau jadi presiden “

Buba berlari ketengah tanah lapang dan menjumur kertas – kertas Koran yang sebentar lagi akan berubah menjadi kertas minyak, baju untuk rangka layang – layang yang segera setelah siap akan diterbangkannya bersama angin timur. Aku menyaksikan anak kecil bertubuh hitam yang bertelanjang dada dibawah sinar matahari itu dengan terkesima, buba memang tidak sendiri—banyak anak laki – laki seumurnya yang juga sedang melakukan pekerjaan yang samaa dengannya, pijak dan langkah kaki mereka terlihat kokoh melebihi umur mereka yang sebenarnya, ruas – ruas tangan mereka kuat seperti ruas tangan orang dewasa. Mereka adalah anak – anak gunung yang setiap siang masuk kehutan untuk mencari kayu bakar dan membantu orang tua – orang tua mereka dikebun.

“ ibu baru panen kasbi[2], beta disuruh antarkan ini “ buba menyerahkan setengah karung ubi padaku. Terlalu banyak sebenarnya menurutku tapi menurut apa yang aku tahu, pemberian yang telah diberikan dalam kebiasaan masyarakat kampung haram untuk ditolak sehingga aku menerima dengan suka cita pemberian tersebut.

“ sampaikan salam untuk bapak dan ibu yaa “

Buba tidak langsung berbalik, ada sesuatu lain yang ingin disampaikannya padaku tapi terkesan sulit untuk disampaikannya.

“ ada apa nyong[3] ? “

Mata buba menatap tajam padaku, mulutnya pelan – pelan terbuka. Sesuatu yang penting akan disampaikannya padaku.

“ besok beta ujian kaka “

Aku menarik nafas dan mengusap pelan rambut anak laki – laki dihadapanku itu, aku tahu mengapa untuk mengucapkan itu rasanya berat sekali untuknya.

“ belajar sungguh – sungguh dan lulus dengan nilai yang baik yaa “

Buba mengangguk lalu berlalu, langkahnya yang setengah berlari hilang dalam tikungan. Aku merasa beruntung telah mengenalnya dan merasakan apa yang tengah dirasakannya karena setidaknya dengan begitu aku merasa lebih maanusiawi dan bisa lebih mengenal serta semakin menerima apa yang dititipkan bapak untuk menjadi pilihanku hari ini.

“ bapakku dulu merantau dari kampungnya kesini dan sampai akhir hayatnya tidak sempat lagi untuk kembali. Katanya beliau menyesal tidak bisa mewujudkan cita – cita kedua orang tuanya untuk berbakti dan melakukan sesuatu untuk tanah kelahirannya. Bapak berpesan agar aku bisa pulang ke kampung bila sudah sarjana, aku sendiri tidak tahu apa yang akan aku perbuat disana tapi sekarang waktunya sudah tiba dan aku memutuskan untuk memenuhi permintaan terakhir beliau tersebut “

“ kamu tidak menyesal meninggalkan kesempatan menjadi dosen yang terbuka lebar untukmu ? “

Aku menatap dalam – dalam mata Ira, satu – satunya orang yang kurasa pantas untuk kujawab pertanyaannya menyangkut pilihan yang telah aku ambil.

“ entahlah “

Ira balas menatap mataku dalam – dalam, aku tidak tahu apa yang ada didalam hati dan kepalanya saat itu, aku hanya mendengar satu – satunya keinginan terbesarku yaitu pulang dan membayar hutang janji bapak atas tanah kelahirannya.

Sudah dua minggu aku tidak melihat buba melintas didepan rumah tapi sore itu dia datang dan tersenyum lebar sekali didepan pintu.

“ ayo katong ke bukit batu kak ! “

Buba berlari sambil melompat, layang – layang diatas kepalanya terbang maju mengikutinya.

“ beta sudah lulus kakak “ buba bersiap – siap menerbangkan layang – layangnya “ nilai beta yang tertinggi kak “

“ lalu ? kamu … “

“ lalu mari kakak pegang beta punya layang – layang, beta mau kasi terbang “

Buba melangkah mundur, mengulur benang dan bersiap – siap menarik. Aku terkejut sekaligus terkesima mendapati tulisan yang dipaksa menempel seadanya diatas kertas minyak dari layang – layang yang aku pegang; Beta Anak Gunung, Beta jadi presiden.

Layang – layang terbang tinggi, nampak kecil dan elok menari diatas angin. Buba berbaring dibebatuan sambil mengendalikan layang – layangnya.

“ beta tidak lanjut sekolah lagi kak, beta mau bantu bapak ibu saja dirumah. Tapi beta mau terus belajar, beta mau jadi presiden di gunung “

Kali ini aku bukan hanya terkesima, aku merasa semacam takjub mendengar apa yang baru saja dikatakan anak laki – laki yang dengan mata awasnya terus mengawasi gerak gerik layang – layangnya. Sebuah mimpi mungkin kini bisa aku artikan seperti layang – layang, bisa diterbangkan dari mana saja karena yang terpenting adalah keinginan dan kemauan untuk berusaha.

Aku ingin lekas – lekas pulang dan menulis surat untuk Ira, aku tahu apa yang harus aku perbuat disini, digunung mimpi tempat rumahku berada.

Beranda Gorilla 9 Mei 2011 - 02.15am

(untuk Wesley dan anak – anak gunung mimpi. Terus belajar, terus bermimpi)

[1] Kelereng [2] Ubi [3] Panggilan untuk anak laki - laki

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun