Namun partisipasi pendidikan yang meningkat ternyata berbanding terbalik dengan besaran upah yang diterima karena laju animo untuk sekolah lebih tinggi ketimbang laju kenaikan upahnya. Mengapa?Â
Melimpahnya lulusan SD Inpres (sumber daya manusia/human capital) ini yang memenuhi sektor formal ternyata tidak dibarengi dengan "perencanaan" penyerapan mereka pada pasar kerja yang lebih baik kualitas dan tingkatannya terutama penyediaan modal fisik/physical capital seperti mesin yang memungkinkan mereka mendapatkan penghasilan lebih besar dengan keterampilan lebih tinggi.Â
Akibatnya kerja menjadi tidak efisien dan produktifitas turun. Padahal kalau banyak barang diproduksi, produktifitas meningkat maka pada gilirannya upah akan naik juga. Â Â
Hal ini mengajarkan pendidikan dan industrialisasi harus punya sinergi bukan berjalan sendiri-sendiri sehingga perencanaan yang dibuat oleh masing-masing bidang tidak fokus dan tidak terencana dengan baik.Â
Hal yang mungkin saja akan terjadi pada zaman internet ini bila tim penggagas ekonomi digital kurang cerdas dan jeli melihat limpahan populasi generasi milineal untuk dimanfaatkan di masa kini dan masa depan.
Sehingga pada tahun 2030, yang ditakutkan, populasi milinial dengan demografi terbanyak dari populasi penduduk Indonesia saat itu, hanya mewarnai negara yang pendapatannya diprediksi terjebak hanya tingkat menengah terus (middle income trap).
Dari sejumlah sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H