Mohon tunggu...
Ipan Yefta
Ipan Yefta Mohon Tunggu... -

Simple ...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Wajah Didalam Kanvas

16 September 2010   15:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:12 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenangan awal itu begitu manis membuatku sadar bahwa aku mempunyai teman, aku tidak akan lagi sendiri di dalam duniaku. Waktu itu aku berumur sepuluh tahun.

Lukisan tersebut telah mengubah hidupku selamanya. Satu jam yang lalu waktu memasuki gedung ini, lukisan itulah yang pertama kali aku lihat. Setiap pengunjung mau tidak mau harus melihat gambar ini, karena mereka meletakkannya tepat di depan pintu masuk. Bersendirian terpampang dengan bangga berkata, “Disinilah aku ditemukan.”

Lelaki asing yang kemudian aku panggil Papa itu menjemputku setiap pagi dari rumah dan hanya akan mengantarku pulang setelah makan siang. Kami hanya melukis dan melukis. Ia memperkenalkanku pada beberapa tekhnik. Sekali-kali membawa aku jalan-jalan ke kota, ke gunung, ke sungai dan ke banyak tempat, dan bahkan sekali-kali kami ke sanggar tari, theater dan banyak lagi. Sepulangnya kami akan menggambar lagi. Tak kusangkal kebahagiaan yang ia ciptakan untukku. Namun hanya ada satu hal yang belum pernah dapat aku jawab.

Mengapa tiada seorang pun yang dapat mengerti apa yang kuinginkan seketika itu juga? Cara mereka memandangku sangat beda dengan cara mereka memandang satu sama lain. Mengapa?’

Di hari ulang tahunku yang kesebelas, kutuangkan perasaan ini di dalam lukisan. Papa memandang lukisan itu sangat lama. Aku mencoba menjelaskan kepadanya. Dengan menggerakkan mulut, dengan tangan, dengan air mata. Akhirnya ia mengerti. Detik itu juga ia membawaku ke sebuah tempat yang belum pernah aku kunjungi. Sebuah klinik.

Aku tidak mengerti apa yang ia lakukan dan apa yang telah menjadi pembicaraan kedua orang itu. Kakek setengah baya berjubah putih membawa kami keruangan kecil yang tertutup dan penuh dengan alat-alat yang tidak aku mengerti.

Aku diminta duduk di depannya. Ia menggerakkan mulut ke arah telingaku beberapa kali. Kemudian ia mengambil sebuah benda dan menempelkannya di telingaku. Aku sedikit ngeri. Selang beberapa waktu, satu hal yang tidak pernah aku kenal sebelumnya terjadi.

Telingaku berdengung. Aku ketakutan. Seluruh tubuhku seperti disengat listrik.

Apa ini?’ Aku beranjak dari kursi dan melotot pada kedua orang yang tersenyum. Mengherankan sekali, bahagia dengan ketakutanku. Aku melepaskan alat itu dari telinga.

Apa itu tadi Papa?’ Papa mencoba menjelaskan sesuatu kepadaku, namun aku tidak dapat mengerti.

Apakah ini jawabanmu terhadap lukisanku? Apa yang kau katakan?’ Kulihat Papa berusaha keras menjelaskan padaku.Kugelengkan kepala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun