Perlu diketahui pula, suatu riset skala kecil mutakhir (2018) dengan menggunakan fMRI untuk memindai aktivitas otak 27 orang muda, usia 18-27 tahun, yang semuanya sehat fisik dan mental, telah juga dilakukan Prof. Lisa J. Miller bersama satu tim peneliti.
Lewat riset tersebut, Prof. Miller dkk menemukan bahwa bagian otak yang dinamakan lobus parietal inferior kiri (yang memproses persepsi dan gambaran tentang diri sendiri dan orang lain) kurang aktif di saat orang terbenam dalam pengalaman-pengalaman spiritual, tetapi meningkat aktivitasnya ketika orang tenggelam dalam hal-hal yang merangsang emosi, mulai dari yang wajar atau netral hingga yang menimbulkan stres dan depresi.
Di samping itu, aktivitas spiritual positif yang teratur dalam waktu panjang juga mengurangi aktivitas thalamus medial dan kaudate (bagian pemroses pengindraan dan emosi). Alhasil, emosi bisa lebih stabil dan tak rentan gangguan.
Sekali lagi, adalah betul bahwa aktivitas spiritual yang positif dan teduh terhubung dengan berbagai aktivitas neural dalam otak, dan dapat berfungsi untuk meredam dampak-dampak stres dan depresi kronis pada kesehatan mental, "to buffer the effects of stress on mental health."/23/Â
Supaya lengkap, perlu kita ketahui juga, depresi bukan cuma sebuah sisi lain dari ada atau tidak adanya aktivitas-aktivitas spiritual.Â
Telah dibuktikan, relasi-relasi sosial dan pergaulan yang luas, khususnya bagi para manula, dengan sesama anggota komunitas-komunitas religius maupun yang nonreligius yang sehat, juga memperkuat daya tahan mental terhadap serangan stres dan depresi kronis, selain mencegah kepikunan dini, dan memperkuat kebugaran tubuh./24/
Telah ditemukan juga, kronotipe, yakni kebiasaan kapan tidur malam dan kapan bangun esok harinya, berpengaruh signifikan juga bagi daya tahan orang lansia khususnya terhadap serangan depresi.Â
Orang yang menjalankan kronotipe burung hantu (tidur sangat larut malam dan bangun sangat siang), dus kurang atau tidak pernah terpapar pada cahaya Matahari pagi, lebih rentan dikalahkan depresi dibandingkan orang yang memiliki kronotipe burung nuri (tidur lebih awal di malam hari, lalu bangun di pagi hari sekali) yang bersama terbitnya sang Mentari bernyanyi riang dan bebas di alam terbuka./25/
Selain itu, depresi timbul bukan cuma karena para penderitanya tidak memiliki pengalaman-pengalaman spiritual, tapi karena terjadi ketidakseimbangan hormon-hormon neurokimiawi serotonin dan norepinefrin dalam sistem neurobiologis kita. Jika kondisi ketidakseimbangan hormon neurokimiawi ini sudah rawan, ya si penderita jelas tidak akan bisa berdoa lagi dan juga tidak akan terdorong untuk berpartisipasi dalam bermacam-macam kegiatan olah spiritual.Â
Kini sedang dikaji lebih lanjut (semula lewat eksperimen dengan tikus-tikus) oleh tim pakar dari Universitas Hiroshima, antara lain oleh Yuki Kobayashi dan Yumiko Saito, perihal faktor-faktor lain di luar faktor ketidakseimbangan hormon-hormon neurokimiawi yang menjadi penyebab timbulnya depresi kronis.
Selama ini, sejak 1970-an, yang menjadi anggapan umum yang kuat dipegang para pakar gangguan-gangguan mental adalah bahwa depresi terpicu dan dialami jika terjadi ketidakseimbangan hormon-hormon neurokimiawi serotonin dan norepinefrin dalam sistem biologis kita, sebagaimana telah dinyatakan di atas.