Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kekuasaan, Empati, dan Belarasa

22 Februari 2018   16:28 Diperbarui: 20 Maret 2018   16:23 1842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: peoplestrategy.com

Psikopati memiliki banyak ciri. Prof. William Hirstein, Ph.D., seorang peneliti pikiran manusia (ilmuwan kognisi), mendaftarkan 9 ciri orang psikopat yang ditemukan para neurosaintis dan psikolog. Berikut ini (uraian rincinya lihat di sini):

1. Tidak memiliki kepedulian pada perasaan orang lain ("berhatidingin");
2. Emosi sosial (seperti rasa malu, rasa bersalah, rasa menyesal) dangkal;
3. Tidak dapat dipercaya, tidak memiliki tanggungjawab setelah tahu mereka bersalah kepada orang lain;
4. Suka berdusta, tidak jujur, demi meraih tujuan-tujuan yang tamak, hanya mencari kesenangan dan keuntungan buat diri sendiri, sebagai predator;
5. Terdelusi bahwa diri mereka besar dan hebat;
6. Tidak mampu mengalihkan perhatian pada hal-hal lain di saat kondisi-kondisi telah berubah, alhasil mereka tampak impulsif, kaku, keras kepala, dan picik;
7. Loba, egosentrik, dan tidak bisa mengasihi orang lain;
8. Tidak mampu berpikir dan membangun rencana jauh ke depan;
9. Tidak toleran, mudah tersinggung, agresif dan biasa melakukan kekerasan tanpa beban rasa bersalah.

Alih-alih Machiavellianisme para psikopat bertahan langgeng dan sukses, malah kini terlihat, sebagaimana ditulis Keltner, bahwa "kekuasaan bekerja paling efektif ketika digunakan dengan bertanggungjawab oleh orang yang terbuka dan aktif terlibat dan peduli pada kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan orang lain." Dengan kata lain, oleh orang yang memiliki empati.

Selanjutnya Keltner menegaskan bahwa "empati dan kecerdasan sosial jauh lebih penting dalam ihwal mendapatkan dan menjalankan kekuasaan, ketimbang penggunaan bermacam-macam kekuatan pemaksa, tipudaya, kebohongan, atau teror." Tulis Keltner, "Jika untuk tetap bisa diakui sebagai penguasa seseorang harus dengan segala cara mengendalikan orang lain, kondisi ini menandakan bahwa kekuasaan orang itu tidak stabil, sedang tergelincir."

Kecerdasan sosial yang memampukan anda bergaul dan membangun hubungan-hubungan sosial yang empatetis adalah sesuatu yang esensial bukan hanya dalam mendapatkan kekuasaan, tapi juga dalam merawat dan mempertahankannya.

Sudah banyak diperlihatkan oleh kajian-kajian empiris bahwa para pemimpin yang memperlakukan bawahan-bawahan mereka dengan respek, membagi kekuasaan mereka dan membangun semangat persahabatan dan kepercayaan terhadap mereka, dipandang sebagai para pemimpin yang lebih adil, lebih fair dan lebih mampu menyelami batin dan pikiran mereka.

Jika empati dan kecerdasan sosial anda sebagai seorang pemimpin meningkat, maka bawahan-bawahan anda dapat membangun aliansi yang kuat dan mendukung tindakan-tindakan anda sebagai seorang yang berkuasa.  Seperti dikatakan filsuf Lao-Tzu, "Untuk memimpin orang, anda perlu berjalan berdampingan di samping mereka", bukan mengontrol dan menekan mereka. Filsafsat Timur Lao-Tzu ini berbeda tajam dari filsafat kekuasaan Machiavellian, dan sejalan dengan temuan-temuan banyak kajian empiris mutakhir tentang kekuasaan. 

Jalan keluar dari cengkeraman hitam dan kebuasan kekuasaan Machiavellian bukan membuang kekuasaan, tapi mengontrol dan menjalankannya bersama dengan belarasa, "compassion", yang anda harus latih dan praktekkan sebagai seorang pemimpin. "Compassion" berarti bersama-sama atau ikut menanggung ("co") penderitaan ("passion") orang lain; bukan cuma mampu secara mental memahami penderitaan orang lain dari suatu jarak tertentu, tanpa ikut menanggungnya. Kata Indonesia untuk "compassion" adalah "belarasa". 

Oleh Dacher Keltner dalam artikelnya yang berjudul "The Compassionate Instinct", "compassion" atau belarasa diartikan sebagai "kepedulian yang kita rasakan untuk membuat orang lain berbahagia dan sejahtera." Selengkapnya baca di sini.

Dari mana belarasa berasal? Keltner menyatakan bahwa "belarasa berakar dalam dan kuat pada kodrat manusia, memiliki suatu basis biologis dalam tubuh dan otak. Manusia dapat mengkomunikasikan belarasa lewat mimik dan isyarat wajah dan sentuhan. Cara-cara memperlihatkan belarasa ini memainkan fungsi sosial yang vital. Ini semua menunjukkan dengan kuat bahwa belarasa memiliki suatu basis evolusi biologis. Ketika diungkap, belarasa mengalahkan kepentingan-kepentingan yang tamak dan memotivasi perilaku altruistik."

Jadi, belarasa merupakan salah satu bagian terpenting dari kemampuan kodrati kita untuk membuat keputusan moral dan memenuhi kontrak sosial dan berperilaku manusiawi. Jika dilatih, dipraktekkan dan diungkap serta dikembangkan dalam suatu konteks kehidupan yang tepat, di dalam kehidupan perkawinan, keluarga, pengasuhan oleh orangtua, pendidikan, pergaulan dan pekerjaan, dan berbagai pranata sosial, belarasa akan menjadi suatu kecakapan dan kebajikan yang berbasis pada biologi kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun