KEGAGALAN MODEL KEKUASAAN MACHIAVELLIANISME
Saya baru saja membaca sebuah tulisan pendek yang bagus yang perlu saya bagi ke anda setelah memperluasnya di sana-sini. Judul tulisan itu "Power Can Corrupt Leaders. Compassion Can Save Them", ditulis oleh Rasmus Hougaard dkk, dan terbit di Harvard Business Review, 15 Februari 2018. Selengkapnya silakan baca di sini.
Menurut Rasmus Hougaard dkk, kekuasaan besar yang dipikul para pemimpin cenderung membuat mereka "corrupt", mengalami kerusakan mental. Alhasil, mereka mudah menindas dan mengeksploitasi orang lain yang berposisi lebih lemah, tanpa mereka sendiri merasa gamang, terluka atau bersalah. Kita katakan, mereka telah kehilangan empati. Akibat akhirnya lazimnya buruk buat para pemimpin yang sudah tak mampu berempati, dan juga buat sangat banyak orang lain dalam masyarakat kapan dan di mana pun.
Perilaku tanpa empati ini terkait dengan gangguan dalam aktivitas "neuron cermin" dalam sistem saraf otak. Sistem neuron cermin bekerja terkoordinasi dan terinterkoneksi di lebih dari satu bagian otak, yakni korteks frontalis, lobus parietal, lobus temporalis, anterior insula (dalam area olfaktori), korteks somatosensori dan korteks pra-motorik.
Sistem neuron cermin dalam otak, yang bekerja otomatik, memampukan kita untuk meniru, atau seolah melakukan juga, apa yang kita lihat sedang dilakukan orang lain, dan untuk mampu menangkap dan merasakan apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain, yakni mampu berempati.
Ibaratnya, ketika kita melihat ke sebuah cermin, yang kita lihat dalam cermin adalah orang lain, alih-alih diri kita sendiri. Kita berada pada posisi orang lain, dan orang lain menempati posisi kita. Kita mengalami orang lain dengan segala persoalan mereka sebagai diri kita sendiri. Inilah "empati", yakni kemampuan mental kita untuk ikut merasakan dan berada "di dalam penderitaan orang lain".Â
Dalam suatu artikel, empati didefinisikan sebagai suatu "kemampuan atau kecakapan untuk menyamakan diri dengan orang lain yang sedang menderita". Kecakapan ini digolongkan sebagai salah satu "soft skill" yang dibutuhkan dalam orang membangun kehidupan sosial insani yang ramah dan bersahabat serta ditandai oleh kepedulian dan kebaikan hati.
Empati sebagai "soft skill" dibagi oleh mereka dalam 3 jenis yang dapat muncul serentak dan interaktif atau sebagian-sebagian saja, yang melibatkan seluruh bagian otak manusia. Yakni:
• Empati refleksif, yaitu kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain sebagai respons neurologis dari bagian otak yang mengontrol rasa sakit saat seseorang melihat langsung penderitaan orang lain;
• Empati emosional, yakni kemampuan ikut merasakan azab dan nestapa dalam emosi dan perasaan orang lain hanya dengan mengetahui atau mendengar beritanya saja, tanpa melihat langsung; dan
• Empati kognitif, yaitu kemampuan untuk memahami dan mengerti sesuatu dari sudut pandang orang lain, dan dapat dengan akurat membayangkan pengalaman orang lain itu. Empati kognitif menimbulkan keinginan kuat untuk menolong, berbaik hati, peduli dan berperilaku prososial tinggi.
Lebih rinci, tentang empati sebagai "soft skill" lihat artikel "Empathy Is Essential: The 'Soft Skill' that Engages the Whole Brain", Nebraska Children, 15 January 2014, di sini. Dalam tulisan ini, terdapat sejumlah petunjuk praktis bagaimana menumbuhkan empati pada kanak-kanak.
Kemampuan berempati muncul di saat sistem neuron cermin teraktivasi. Lebih jauh tentang sistem neuron cermin, bacalah artikel Lea Winnerman yang diberi judul "The Mind's Mirror", di sini.