Jadi, daripada mencari panda hitam dan kambing hitam dan babi hitam atau domba hitam dan melamunkan konspirasi-konspirasi ngalor-ngidul yang fantastis, lebih realistik jika kita semua mempertahankan kesatuan dan persatuan NKRI, kebesaran RI, dan kemandirian bangsa dan negara, dengan mula-mula melakukan introspeksi diri yang jujur, cerdas dan bermarwah.
Kita terima dengan baik hal-hal bagus yang diwariskan semua rezim sebelumnya dan menolak tegas hal-hal buruk dan jahat pemberian mereka. Sekarang, dan tak usah diulur-ulur lagi sampai 100 tahun mendatang, semua hal buruk dan jahat ini harus diungkap dengan objektif, dievaluasi sesuai hukum dan diselesaikan tuntas dengan damai. Ini yang dinamakan rekonsiliasi yang berpijak pada kebenaran, dan sama sekali jauh dari pembalasan dendam atau pemutarbalikan fakta-fakta. Tanpa rekonsiliasi yang berfondasi kebenaran ini kita tak akan pernah menjadi bangsa besar yang jujur pada diri sendiri dan bermartabat. Bangsa dan negara pembohong dan tanpa marwah tidak akan pernah dihargai oleh dunia modern dan Tuhan.Â
Kita periksa diri, apa tujuan-tujuan para politikus kita ketika mereka memutuskan diri untuk menjadi para politikus: apakah untuk memperkaya diri dan kelompok mereka tanpa batas lewat KKN ataukah untuk membaktikan diri sebagai para negarawan untuk mewujudkan nilai-nilai agung yang sudah menjadi konsensus bangsa dan negara yang terkristalisasi dalam ideologi Pancasila dan lebih dirinci dalam UUD dan semua hukum positif RI yang dinamis dan progresif.
Mari juga kita teliti, apakah para konglomerat kapitalis, khususnya yang WNI, yang berbisnis di NKRI, sudah juga menjalankan amanat sila kelima Pancasila. Boleh kaya raya tanpa batas, asal lewat cara-cara yang tidak melawan hukum, dan serentak harus juga punya kesadaran dan kemauan berlaku dan bertindak adil dan sosial bagi seluruh rakyat NKRI. Sudah berapa banyak kapitalis filantropis di NKRI? Ada satu? Atau tidak ada sama sekali karena semuanya kapitalis rakus serakus-rakusnya? Seorang suci dunia pernah bersabda, orang yang sekarang makan dengan terlalu kenyang, dan tertawa terbahak-bahak di tengah kerumunan orang yang sedang menangis dan meratap, pada saatnya akan mengalami hal-hal sebaliknya dengan jauh lebih berat.Â
Mari juga kita bertanya, mengapa kita beragama? Kenapa kita memilih agama X dan bukan agama Y? Apakah ajaran-ajaran agama kita bermanfaat positif buat bangsa Indonesia dan NKRI, atau malah mendatangkan perpecahan dan penderitaan dan kemunduran? Apakah agama kita menjadikan kita orang baik atau malah orang jahat, orang yang cerdas atau malah orang yang bodoh? Apakah kita harus berubah dalam sikap beragama kita, dari sikap mau menang sendiri dan mau benar sendiri, ke sikap terbuka, bersahabat, ikhlas, toleran, agung, dan menghargai kemajemukan keberagamaan?
Musuh terbesar yang bisa memecahbelah bangsa Indonesia dan NKRI sesungguhnya tidak terutama datang dari luar negeri, tetapi dari sesama anak negeri sendiri yang berkhianat demi mencapai kepentingan-kepentingan diri dan kelompok sendiri yang tamak, rakus, egoistik, tak manusiawi, dan sektarian. Perangi dirimu sendiri sebelum memerangi orang lain. Curigai dirimu sendiri sebelum mencurigai orang lain.Â
Jakarta, 13 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H