Nah orang yang kehilangan nafkah yang selama ini jadi kaya raya lewat KKN nasional dan KKN di DKI adalah para “kutu loncat” yang terus dengan kalap menyebar fitnah dan kebencian pada Ahok, dari satu tempat ke tempat lain, loncat sana-sini tiada akhir. Sebagian lagi diperparah oleh kemarahan dan dendam karena kalah Pilpres 2014. Sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, karena Joko Widodo terpilih jadi Presiden RI, otomatis posisinya sebelumnya sebagai gubernur DKI pindah ke tangan Ahok yang sebelumnya menjadi wakilnya.
Bisa jadi, seperti sekarang sedang dikoar-koarkan seorang artis dan FPI, Ahok dihadang dan difitnah terus dan sedang mau dijegal dan dijungkalkan dengan segala cara ya karena dia Cinkris. Kasarnya gini, kata mereka, “Gengsi loh kita kalau kota DKI diurus dan dibereskan oleh seorang gubernur non-pri dan kafir!”
Ini adalah mental purba primordial yang menjadi salah satu penyebab NKRI dan DKI selama ini makin ketinggalan dari negeri-negeri dan kota-kota lain di luar negeri yang semula berada di bawah kita.
Hanya lewat multikulturalisme (maksudnya: tidak ada perlakuan dan penerimaan berbeda terhadap semua WNI yang berasal dari berbagai latarbelakang yang berbeda) dan meritokrasi (maksudnya: semua WNI diberi kesempatan sama untuk berprestasi sejauh mereka cakap, ahli, berilmu, menguasai “know-how”, patriotis dan cinta NKRI) negara RI akan bisa jadi negara dan bangsa yang hebat. Dengan cara itu, tak mustahil RI akan bisa mengalahkan dengan bermartabat sahabat-sahabat kompetitif kita sekarang, seperti Jepang, Amerika dan China serta Korsel.
Tapi bangsa kita juga punya problem mental lain di luar problem penunggangan isu-isu SARA. Sebagian WNI sejak Pilpres 2014 terus saja suka memfitnah Presiden Jokowi dan terus saja membenci beliau meskipun jelas-jelas beliau seorang Muslim dan seorang “pribumi” (terus-terang saya sudah muak dengan dikotomi biner “pri” dan “non-pri” karena alasan-alasan ilmiah, kemanusiaan, moral dan politik dan psikologi tidak membenarkan dikotomi buruk ini). Kenapa mereka bersikap begitu negatif?
Pertama, bisa jadi karena para pembenci dan pakar “ngelmu” fitnah itu adalah insan-insan berwatak pendendam “dari sononya” yang tidak bisa selamanya menerima kekalahan politik dalam Pilpres 2014. Dendam dan kemurkaan ini tidak mustahil akan dibawa hingga ke lubang kubur mereka. Semoga tidak. Saya bertanya-tanya sendiri, apakah hidup dengan dipenuhi dendam dan kemarahan seperti itu mendatangkan kebahagiaan, atau malah kebahagiaan balas memusuhi mereka. Adalah suatu kesia-siaan yang sangat malang jika seseorang hidup tanpa rasa bahagia yang bermartabat dalam dunia ini.
Ada orang yang mengasalkan “gen” pendendam dalam diri sebagian WNI ini sebagai produk mutasi epigenetik para pendahulu mereka yang dulu dibuat menderita dan disakiti oleh Belanda yang pernah menjajah nusantara Indonesia konon selama 350 tahun. Bisa saja hal ini benar, tapi masalahnya adalah pendapat semacam ini sama sekali tidak bisa dibuktikan benar atau salah secara empiris.
Kedua, bisa jadi karena mereka memang “dipelihara dan diberi makan” untuk terus-menerus merongrong pemerintahan Presiden Jokowi. Mereka menempatkan diri sebagai pihak oposisi inkonstitusional yang memiliki tujuan atau skenario akhir menjungkalkan beliau di masa jabatannya. Siapa yang memelihara dan memberi mereka makan? Ya, sangat banyak pihak, dalam dan luar negeri, yang punya banyak agenda dan kepentingan politis individual yang egoistik separatis, atau oleh pihak-pihak yang melihat diri mereka sedang atau akan terancam serius oleh semua kebijakan pemerintahan Jokowi yang bertujuan memajukan NKRI semaju-majunya.
Jika itu tujuan utama mereka, mereka tidak akan berhasil karena pendukung cerdas dan bermartabat Presiden Jokowi juga sangat kuat dan banyak. Kini kita sudah lihat KMP sudah jadi mendiang. Beberapa politikus KMP yang dulu yang suka nyinyir dan keras menyerang Presiden Jokowi tiba-tiba saja berubah jadi para pekerja PR yang piawai memuji-muji keberhasilan pemerintahan Jokowi (dan juga karya-karya Ahok di DKI). Semua perubahan sikap mental dan pandangan ini terjadi ketika ketua umum Partai Golkar berganti. Hebat juga. Tapi sekaligus juga semua perubahan ini menunjukkan bahwa para politikus kita baru mampu menjalankan politik oportunis alias politik bunglon, dan masih jauh dari kemampuan untuk menjalankan politik kenegarawanan.
Membangun teori-teori ilmiah itu sangat menggairahkan dan menantang, tapi perlu riset mendalam dan meluas dengan mengumpulkan dan menyeleksi bukti-bukti yang lazimnya harus dijalankan oleh lebih dari satu tim kerja profesional, dan memerlukan biaya yang besar dan waktu yang panjang. Kebanyakan kita orang Indonesia tidak sanggup membangun teori-teori ilmiah karena faktor-faktor tersebut.