Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Money

Antara Kapitalisme dan Sosialisme: Di mana Posisi Gubernur Ahok?

1 Mei 2016   13:31 Diperbarui: 28 Mei 2016   15:57 1707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Indonesia, dan di DKI khususnya, hanya lewat jalur pemberlakuan Perda-perda DKI dengan konsisten dan tanpa pilih bulu semacam yang sudah diuraikan di atas, para kapitalis konglomerat (Cina dan bukan-Cina!) dapat dibuat menjadi para kapitalis yang “terpaksa filantropis”. Corporate Social Responsibility (CSR) yang dibebankan pada setiap perusahaan di DKI saja tampak tidak memadai untuk mencapai tujuan-tujuan besar Pemprov DKI dalam membangun kota Jakarta dan menolong para penduduk miskin di DKI lewat langkah-langkah yang komprehensif dan progresif, yang membutuhkan dana besar.

Sosok-sosok Bill Gates dan Mark Zuckerberg dll yang kini digolongkan sebagai para “kapitalis filantropis” dunia sukar atau mustahil lahir sendiri di NKRI. Yang terjadi malah sebaliknya: para kapitalis rakus WNI makin rakus detik demi detik!

Para kapitalis filantropis di Indonesia harus dipaksa lahir lewat bidan hukum positif nasional dan Perda-perda yang memaksa atau mewajibkan para kapitalis untuk akhirnya peduli secara tidak langsung pada rakyat miskin, tanpa perlu sosialisme kiri dijalankan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah manapun. NKRI masih jauh dari kondisi-kondisi sosioekonomi yang sudah dicapai oleh negara-negara kesejahteraan Nordik yang sudah disinggung di atas.

Itulah, setahu saya, sebagian kecil kebijakan manajerial kota DKI yang sedang dilakukan Gubernur Ahok. Dia menyebut dirinya sebagai Gubernur “preman legal”. Setahu saya, tak pernah sebelumnya seorang gubernur DKI manapun mau dan ringan saja menyebut dirinya demikian!  

Tapi, risiko Pak Ahok tinggi. Dia dimusuhi banyak pihak yang mempunyai kepentingan ekonomi dan politik atas kekumuhan dan orang miskin dan premanisme lokal ilegal. Dia juga dimusuhi sejumlah konglomerat Cina dan non-Cina yang terganjal olehnya dalam ekspansi ilegal bisnis mereka dan dalam meraih laba setinggi langit dengan mengabaikan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat NKRI dan transparansi segala urusan bisnis yang diwajibkan hukum. Tak mengagetkan jika sekarang dan terus ke depan, sedang dan akan makin banyak pebisnis WNI Tionghoa yang geram terhadap Gub. Ahok, lalu mereka, dengan mengklaim diri wakil-wakil penduduk Tionghoa DKI, menyebar fitnah dan info-info palsu atau info-info yang dipelintir untuk mendiskreditkan sang gubernur. Bagaimanapun juga, kompetisi di pasar bebas harus terus dijalankan. 

Tetapi “oligarkhi kapitalis” tidak boleh berkuasa atas kawasan DKI khususnya, sama seperti “premanisme lokal” juga tidak boleh mengatur NKRI seperti pernah ditegaskan oleh Menko Bidang Politik, Hukum dan Keamanan NKRI, Jendral TNI purnawirawan Luhut Binsar Pandjaitan ketika Gubernur Ahok sedang menertibkan kawasan Kali Jodo.

Kita tahu, penertiban kawasan Kali Jodo telah menimbulkan reaksi-reaksi keras dari lawan-lawan politik Ahok bahkan, ironis juga, dari lembaga-lembaga keagamaan yang selama ini mengecam dan menolak segala bentuk kemaksiatan.

Sama seperti oligarkhi kapitalis, sosialisme kiri juga sama sekali bukan sebuah pilihan; dan dunia sudah membuktikan bahwa sosialisme ekonomi tidak jalan, alias telah gagal.

Bill Gates, sebagai seorang kapitalis filantropis besar dunia, pernah menegaskan kepada masyarakat Amerika bahwa “kapitalisme pasar bebas terbukti berjalan dengan sukses. Jika orang menolak kapitalisme, mereka bebas pindah ke Korea Utara untuk hidup di sana!” Tentu saja kita tidak mau NKRI menjadi Korut.

Sedikit banyak, tentu kita tahu perihal sikon kehidupan rakyat Korut yang hingga kini diperintah suatu rezim yang dapat dikata memakai “sosialisme murni” sebagai ideologi utama negara ini. Rakyat di sana tetap miskin, terisolasi dari dunia luar, tidak ada kepemilikan pribadi, tidak ada akumulasi kekayaan personal, tidak ada kompetisi bisnis di pasar bebas, tidak ada masyarakat tanpa kelas, dan justru yang terbangun adalah masyarakat kelas budak. Sementara pada sisi lain, pemerintah Korut membangun industri-industri militer yang memproduksi persenjataan nuklir!

Kebijakan komprehensif yang terukur dan transparan yang sedang dijalankan Gubernur Ahok untuk DKI bisa menjadi sebuah model manajerial yang bisa diikuti dan dimodifikasi seperlunya di kota-kota lain yang juga mau makin maju dan modern, tidak bantut atau malah mundur ke masa silam yang jauh, sekaligus juga kemiskinan dan kekumuhan dan ketidakadilan sosial tahap demi tahap berhasil diatasi tanpa perlu sosialisme dijalankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun