Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Money

Antara Kapitalisme dan Sosialisme: Di mana Posisi Gubernur Ahok?

1 Mei 2016   13:31 Diperbarui: 28 Mei 2016   15:57 1707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Seluruh bangunan kantor pemasaran Apartemen Fatmawati City Center milik Agung Sedayu Group seluas  500 meter persegi dibongkar habis oleh Pemprov DKI, 14 April 2016, karena tidak memiliki IMB. Tidak ada kompromi. Sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2016/04/14/12004501/Seluruh.Bangunan.Kantor.Pemasaran.Fatmawati.City.Center.Dibongkar.

Tulisan ini saya kembangkan dari suatu tanya-jawab pendek yang berlangsung lewat Facebook saya, antara seorang sahabat dan saya. Jawaban saya yang paling 8akhir, telah saya perluas di sana-sini. Semoga tulisan saya ini bermanfaat bagi banyak orang.

Tanya: Warga miskin Jakarta itu sebenarnya siapa sih? Apakah kaum Betawi yang tersingkir oleh para pendatang? Ataukah kaum urban yang tak punya skill untuk bekerja di DKI?

Jawab: Semua WNI yang miskin dan hidup di kawasan-kawasan kumuh perlu kita beri empati dan intervensi dengan manusiawi untuk mengeluarkan mereka dari sikon yang buruk itu. Mereka itu ya penduduk DKI seluruhnya, warga NKRI, baik orang Betawi atau bukan, baik pendatang baru yang legal maupun penduduk lama. Dari semua etnis dan agama apapun. Semuanya harus terdidik dan memiliki kemampuan membangun masa depan mereka sendiri lewat wirausaha yang tertib dan kreatif atau dengan bekerja keras dan cerdas sebagai para karyawan.

Hanya dengan berbekal pendidikan yang cukup, kecerdasan, kemampuan wirausaha, kecakapan mengelola harta dan warisan sendiri dengan wawasan maju ke depan, dan dengan mental baja dan budi pekerti yang baik, penduduk lama DKI, dari suku dan agama apapun, akan juga bisa maju dan kaya dan hidup bermartabat. Tentu saja untuk mereka bisa maju, Pemprov DKI perlu membantu mereka lewat berbagai program bantuan usaha dan berbagai perangkat hukum yang menopang mereka untuk dapat maju. Marilah kita semua keluar dari penjara primordialisme SARA untuk menjadikan NKRI suatu negeri besar multikulturalis yang makmur, adil, maju, modern, beradab dan demokratis.

Tanya: Sudah saya lihat, pendekatan sosiokultural Almarhum Romo Mangun dulu di Kali Code Yogyakarta kini sepertinya sia-sia. Kawasan tersebut justru sekarang telah berubah jadi “kantong kemiskinan” yang baru di Yogyakarta, dengan tingkat kriminalitas yang juga tinggi.

Jawab: Ya, hal tentang komunitas-komunitas di kawasan Kali Code yang pernah dibangun atas dorongan Rm. Mangun itu, yang terbukti gagal, sudah saya dengar juga. Saya sebetulnya ingin melongok langsung ke sana; tapi belum pernah sempat.

Para romo Gereja Katolik di Indonesia umumnya terdorong untuk “pro-rakyat miskin” karena mereka mengambil alih pendekatan “memihak orang miskin” atau “taking side with the poor” dari teologi pembebasan Amerika Latin yang muncul di akhir 1960-an dan awal 1970-an. Pendekatan ini― yang pernah dikecam dan ditolak oleh Vatikan khususnya ketika Kardinal Ratzinger berkuasa (belakangan menjadi Paus Benediktus XVI) tetapi kini didukung oleh Paus Fransiskus― dinamakan “preferential option for the poor” yang memakai teori Marxis tentang “perjuangan kelas” sebagai suatu landasan sosio-ideologisnya.

Pendekatan ini dipakai untuk membebaskan negara-negara di sana yang, kata para pendukung Marxisme, dibuat bangkrut oleh kapitalisme Barat. Sebagai alternatif, negara-negara di sana memakai pendekatan ekonomi kiri yang kuat warna sosialis komunalnya. Tapi tokh akhirnya terbukti bahwa teologi pembebasan dan sosialisme juga gagal di sana dalam mengubah nasib rakyat miskin.

Kenapa? Karena sosialisme ekonomi yang diklaim akan mendatangkan keadilan distributif ekonomi ke seluruh rakyat malah menjadi suatu peluang intan berlian bagi munculnya “oligarkhi sosialis” sebagai sekelompok kecil penguasa yang mengatur dan mengendalikan segala sesuatu dalam suatu negara sosialis. Kelompok ini terbukti tamak. Mereka menghimpun kekayaan dan harta untuk diri dan kelompok mereka sendiri lewat berbagai aktivitas KKN yang dikemas begitu rupa seolah semua aktivitas mereka ini dijalankan demi rakyat yang miskin dan demi keadilan ekonomi dalam suatu masyarakat lamunan yang “tanpa kelas” dan “tanpa kepemilikan pribadi” sama sekali.

Dalam kenyataannya, oligarkhi sosialis ini merampas kemerdekaan rakyat untuk menentukan kehidupan ekonomi mereka sendiri. Rakyat dijadikan hanya sebagai pelaksana-pelaksana taat semua perencanaan ekonomi yang disusun secara sentralistik oleh oligarkhi ini. Benarlah apa yang dikatakan penerima Anugerah Nobel Ekonomi 1974, Friedrich A. Hayek (1899-1992), bahwa sosialisme hanya melahirkan negara perbudakan!    

Sesuai dengan namanya, “utopia” sosialis kini tertinggal hanya sebagai suatu utopia, yakni sebuah negara imajiner saja, yang tidak pernah ada dalam realitas masyarakat di negara manapun.

Sosialisme juga sama sekali bukan sebuah model kebijakan sosioekonomi “negara-negara kesejahteraan”  (“welfare states”) Nordik (Denmark, Finlandia, Norwegia, Islandia, Swedia). Dalam negara-negara kesejahteraan ini, kapitalisme pasar/perdagangan bebas dan kepemilikan pribadi dikombinasikan dengan prinsip-prinsip negara kesejahteraan, antara lain adanya posisi tawar-menawar kolektif pada peringkat nasional yang melibatkan buruh, pemilik perusahaan dan pemerintah dalam menentukan besarnya gaji, berbagai jenis pekerjaan dan kebijakan pasar.  

Oligarkhi sosialis juga membangun berbagai bentuk “sistem premanisme” lokal dan nasional yang berfungsi sebagai suatu perisai untuk melindungi oligarkhi ini dari berbagai serangan langsung vertikal rakyat kepada mereka yang sewaktu-waktu dapat terjadi jika akumulasi ketidakpuasan rakyat sudah mencapai puncak-puncaknya. Kajian-kajian ilmiah tentang topik yang menarik ini sudah banyak dilakukan.  

Saya bisa paham jika hal serupa juga bisa terjadi dalam komunitas-komunitas Kali Code di Yogyakarta. Sekuat apapun komunalitas mereka dan sumber daya kapital kooperatif mereka, mereka tetap kalah jauh jika dibandingkan dengan kekuatan modal dan ekspansi bisnis para kapitalis rakus. Premanisme terbangun di sana saya kira tidak lepas dari situasi yang “mirip” di Amerika Latin, atau juga muncul semata-mata karena kemiskinan yang makin parah dan tidak adanya pengawasan dan tindakan yang legal oleh pemerintah setempat untuk mengamankan dan memakmurkan masyarakat dan mencegah kriminalitas.

Nah terkait DKI Jakarta, Gubernur Ahok tampak memakai sebuah pendekatan lain. Sosialisme Marxis jelas tidak dipakai Ahok; tetapi kapitalisme rakus juga tidak didukung beliau, namun diatur dengan tegas dan konsisten dalam koridor kompetisi bisnis bebas yang bertanggungjawab, sekaligus Gubernur Ahok memanfaatkannya.  

Gubernur Ahok memanfaatkan para kapitalis DKI pengembang bukan untuk memeras uang mereka untuk memperkaya diri (kalau ini yang sudah dilakukannya, pasti sudah lama beliau mendekam dalam penjara!), tapi untuk menarik sebagian kekayaan perusahaan mereka lewat Perda-perda yang digunakan untuk, antara lain, menolong penduduk miskin di DKI demi keadilan sosial.

Salah satu cara yang sudah dan sedang dijalankan Pemprov DKI adalah dengan memberlakukan ketentuan hukum yang terkait dengan Koefisien Luas Bangunan (KLB) dan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang dituangkan dalam Perda No. 1, Tahun 2014, tentang RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) DKI. Ketentuan ini antara lain mengatur total jumlah maksimal lantai yang diizinkan dibangun di suatu kawasan tertentu oleh para pengembang dalam proyek-proyek bangunan fisik (properti) berlantai banyak, mulai dari gedung-gedung yang tidak tinggi, cukup tinggi, tinggi, hingga gedung-gedung pencakar langit.

Jika pelanggaran terjadi di kawasan-kawasan yang masih diperbolehkan oleh hukum untuk sebuah bangunan tinggi melebihi KLB dan KDB, para pengembang dikenakan denda. Jika tidak diperbolehkan sama sekali, bangunan apapun pasti dibongkar dan diruntuhkan. Tentu saja KLB dan KDB perlu direvisi periodikal sejalan dengan perkembangan kepadatan penduduk di suatu kawasan. Bagaimanapun juga, dengan uang yang ditarik lewat cara inilah kini sudah terhimpun Rp. 4 T yang langsung disetor pihak-pihak yang terkena denda ke kas Pemprov DKI dari waktu ke waktu.  

Sejauh saya tahu, dengan memakai sebagian uang inilah Gubernur Ahok membangun rusunawa dan rusunami untuk rakyat yang dibebaskan dari kekumuhan dan direlokasi. Juga untuk membangun dan menjalankan berbagai fasilitas, sarana-prasarana dan berbagai bantuan lain untuk para penghuni rusun-rusun lewat cara yang legal dan edukatif.

Jadi saya kira, hanya orang yang buta mata, buta hati dan buta nalar, yang menuduh Pak Ahok musuh rakyat miskin. Mereka yang buta multidimensional ini pasti punya sejumlah agenda picik personal dalam protes-protes mereka atas nama rakyat miskin untuk mengguncang Ahok atau bahkan untuk menumbangkannya.

Di Indonesia, dan di DKI khususnya, hanya lewat jalur pemberlakuan Perda-perda DKI dengan konsisten dan tanpa pilih bulu semacam yang sudah diuraikan di atas, para kapitalis konglomerat (Cina dan bukan-Cina!) dapat dibuat menjadi para kapitalis yang “terpaksa filantropis”. Corporate Social Responsibility (CSR) yang dibebankan pada setiap perusahaan di DKI saja tampak tidak memadai untuk mencapai tujuan-tujuan besar Pemprov DKI dalam membangun kota Jakarta dan menolong para penduduk miskin di DKI lewat langkah-langkah yang komprehensif dan progresif, yang membutuhkan dana besar.

Sosok-sosok Bill Gates dan Mark Zuckerberg dll yang kini digolongkan sebagai para “kapitalis filantropis” dunia sukar atau mustahil lahir sendiri di NKRI. Yang terjadi malah sebaliknya: para kapitalis rakus WNI makin rakus detik demi detik!

Para kapitalis filantropis di Indonesia harus dipaksa lahir lewat bidan hukum positif nasional dan Perda-perda yang memaksa atau mewajibkan para kapitalis untuk akhirnya peduli secara tidak langsung pada rakyat miskin, tanpa perlu sosialisme kiri dijalankan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah manapun. NKRI masih jauh dari kondisi-kondisi sosioekonomi yang sudah dicapai oleh negara-negara kesejahteraan Nordik yang sudah disinggung di atas.

Itulah, setahu saya, sebagian kecil kebijakan manajerial kota DKI yang sedang dilakukan Gubernur Ahok. Dia menyebut dirinya sebagai Gubernur “preman legal”. Setahu saya, tak pernah sebelumnya seorang gubernur DKI manapun mau dan ringan saja menyebut dirinya demikian!  

Tapi, risiko Pak Ahok tinggi. Dia dimusuhi banyak pihak yang mempunyai kepentingan ekonomi dan politik atas kekumuhan dan orang miskin dan premanisme lokal ilegal. Dia juga dimusuhi sejumlah konglomerat Cina dan non-Cina yang terganjal olehnya dalam ekspansi ilegal bisnis mereka dan dalam meraih laba setinggi langit dengan mengabaikan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat NKRI dan transparansi segala urusan bisnis yang diwajibkan hukum. Tak mengagetkan jika sekarang dan terus ke depan, sedang dan akan makin banyak pebisnis WNI Tionghoa yang geram terhadap Gub. Ahok, lalu mereka, dengan mengklaim diri wakil-wakil penduduk Tionghoa DKI, menyebar fitnah dan info-info palsu atau info-info yang dipelintir untuk mendiskreditkan sang gubernur. Bagaimanapun juga, kompetisi di pasar bebas harus terus dijalankan. 

Tetapi “oligarkhi kapitalis” tidak boleh berkuasa atas kawasan DKI khususnya, sama seperti “premanisme lokal” juga tidak boleh mengatur NKRI seperti pernah ditegaskan oleh Menko Bidang Politik, Hukum dan Keamanan NKRI, Jendral TNI purnawirawan Luhut Binsar Pandjaitan ketika Gubernur Ahok sedang menertibkan kawasan Kali Jodo.

Kita tahu, penertiban kawasan Kali Jodo telah menimbulkan reaksi-reaksi keras dari lawan-lawan politik Ahok bahkan, ironis juga, dari lembaga-lembaga keagamaan yang selama ini mengecam dan menolak segala bentuk kemaksiatan.

Sama seperti oligarkhi kapitalis, sosialisme kiri juga sama sekali bukan sebuah pilihan; dan dunia sudah membuktikan bahwa sosialisme ekonomi tidak jalan, alias telah gagal.

Bill Gates, sebagai seorang kapitalis filantropis besar dunia, pernah menegaskan kepada masyarakat Amerika bahwa “kapitalisme pasar bebas terbukti berjalan dengan sukses. Jika orang menolak kapitalisme, mereka bebas pindah ke Korea Utara untuk hidup di sana!” Tentu saja kita tidak mau NKRI menjadi Korut.

Sedikit banyak, tentu kita tahu perihal sikon kehidupan rakyat Korut yang hingga kini diperintah suatu rezim yang dapat dikata memakai “sosialisme murni” sebagai ideologi utama negara ini. Rakyat di sana tetap miskin, terisolasi dari dunia luar, tidak ada kepemilikan pribadi, tidak ada akumulasi kekayaan personal, tidak ada kompetisi bisnis di pasar bebas, tidak ada masyarakat tanpa kelas, dan justru yang terbangun adalah masyarakat kelas budak. Sementara pada sisi lain, pemerintah Korut membangun industri-industri militer yang memproduksi persenjataan nuklir!

Kebijakan komprehensif yang terukur dan transparan yang sedang dijalankan Gubernur Ahok untuk DKI bisa menjadi sebuah model manajerial yang bisa diikuti dan dimodifikasi seperlunya di kota-kota lain yang juga mau makin maju dan modern, tidak bantut atau malah mundur ke masa silam yang jauh, sekaligus juga kemiskinan dan kekumuhan dan ketidakadilan sosial tahap demi tahap berhasil diatasi tanpa perlu sosialisme dijalankan.

Gubernur Ahok juga berisiko diperalat dan dikendalikan oleh familinya dan kalangan lain yang jahat dan tidak tahu diri untuk memperkaya diri mereka sendiri lewat jabatan Ahok sebagai Gubernur DKI. Tapi godaan KKN ini tampaknya tidak mempan mengubah Gubernur Ahok. Semoga seterusnya demikian.

Penduduk DKI harus terus menjadi kawan-kawan Ahok sekaligus para pengontrol yang cerdas dan bermarwah terhadap segala kebijakan yang diambil Pemprov DKI. Orang baik dan jujur membutuhkan kawan dan pengontrol yang juga baik dan jujur.

Bukan hanya kita yang perlu belajar dari Gubernur Ahok. Sebaliknya juga harus terjadi: Gubernur Ahok harus terus belajar dari kita dan dari banyak pengalamannya sendiri. Dalam suatu “smart city”, semua penduduknya, termasuk sang pemimpin teratasnya dan semua staf-nya, harus terus-menerus belajar untuk makin cerdas, makin berwawasan, dan makin bijak, dari waktu ke waktu.

Bangsa dan negara yang besar lahir dari proses pembelajaran terus-menerus, bukan dari lamunan atau mimpi kosong sepanjang hari.

Tanda bahwa kita telah dan sedang belajar adalah terjadi perubahan dalam diri kita, perubahan menuju kemajuan dan keagungan tanpa batas. Menjadi para mahatma, para insan kamil, para pembaru masyarakat dan dunia.

Salam dalam kesunyian,

Jakarta, 1 Mei 2016

ioanes rakhmat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun