Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Money

Antara Kapitalisme dan Sosialisme: Di mana Posisi Gubernur Ahok?

1 Mei 2016   13:31 Diperbarui: 28 Mei 2016   15:57 1707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kenyataannya, oligarkhi sosialis ini merampas kemerdekaan rakyat untuk menentukan kehidupan ekonomi mereka sendiri. Rakyat dijadikan hanya sebagai pelaksana-pelaksana taat semua perencanaan ekonomi yang disusun secara sentralistik oleh oligarkhi ini. Benarlah apa yang dikatakan penerima Anugerah Nobel Ekonomi 1974, Friedrich A. Hayek (1899-1992), bahwa sosialisme hanya melahirkan negara perbudakan!    

Sesuai dengan namanya, “utopia” sosialis kini tertinggal hanya sebagai suatu utopia, yakni sebuah negara imajiner saja, yang tidak pernah ada dalam realitas masyarakat di negara manapun.

Sosialisme juga sama sekali bukan sebuah model kebijakan sosioekonomi “negara-negara kesejahteraan”  (“welfare states”) Nordik (Denmark, Finlandia, Norwegia, Islandia, Swedia). Dalam negara-negara kesejahteraan ini, kapitalisme pasar/perdagangan bebas dan kepemilikan pribadi dikombinasikan dengan prinsip-prinsip negara kesejahteraan, antara lain adanya posisi tawar-menawar kolektif pada peringkat nasional yang melibatkan buruh, pemilik perusahaan dan pemerintah dalam menentukan besarnya gaji, berbagai jenis pekerjaan dan kebijakan pasar.  

Oligarkhi sosialis juga membangun berbagai bentuk “sistem premanisme” lokal dan nasional yang berfungsi sebagai suatu perisai untuk melindungi oligarkhi ini dari berbagai serangan langsung vertikal rakyat kepada mereka yang sewaktu-waktu dapat terjadi jika akumulasi ketidakpuasan rakyat sudah mencapai puncak-puncaknya. Kajian-kajian ilmiah tentang topik yang menarik ini sudah banyak dilakukan.  

Saya bisa paham jika hal serupa juga bisa terjadi dalam komunitas-komunitas Kali Code di Yogyakarta. Sekuat apapun komunalitas mereka dan sumber daya kapital kooperatif mereka, mereka tetap kalah jauh jika dibandingkan dengan kekuatan modal dan ekspansi bisnis para kapitalis rakus. Premanisme terbangun di sana saya kira tidak lepas dari situasi yang “mirip” di Amerika Latin, atau juga muncul semata-mata karena kemiskinan yang makin parah dan tidak adanya pengawasan dan tindakan yang legal oleh pemerintah setempat untuk mengamankan dan memakmurkan masyarakat dan mencegah kriminalitas.

Nah terkait DKI Jakarta, Gubernur Ahok tampak memakai sebuah pendekatan lain. Sosialisme Marxis jelas tidak dipakai Ahok; tetapi kapitalisme rakus juga tidak didukung beliau, namun diatur dengan tegas dan konsisten dalam koridor kompetisi bisnis bebas yang bertanggungjawab, sekaligus Gubernur Ahok memanfaatkannya.  

Gubernur Ahok memanfaatkan para kapitalis DKI pengembang bukan untuk memeras uang mereka untuk memperkaya diri (kalau ini yang sudah dilakukannya, pasti sudah lama beliau mendekam dalam penjara!), tapi untuk menarik sebagian kekayaan perusahaan mereka lewat Perda-perda yang digunakan untuk, antara lain, menolong penduduk miskin di DKI demi keadilan sosial.

Salah satu cara yang sudah dan sedang dijalankan Pemprov DKI adalah dengan memberlakukan ketentuan hukum yang terkait dengan Koefisien Luas Bangunan (KLB) dan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang dituangkan dalam Perda No. 1, Tahun 2014, tentang RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) DKI. Ketentuan ini antara lain mengatur total jumlah maksimal lantai yang diizinkan dibangun di suatu kawasan tertentu oleh para pengembang dalam proyek-proyek bangunan fisik (properti) berlantai banyak, mulai dari gedung-gedung yang tidak tinggi, cukup tinggi, tinggi, hingga gedung-gedung pencakar langit.

Jika pelanggaran terjadi di kawasan-kawasan yang masih diperbolehkan oleh hukum untuk sebuah bangunan tinggi melebihi KLB dan KDB, para pengembang dikenakan denda. Jika tidak diperbolehkan sama sekali, bangunan apapun pasti dibongkar dan diruntuhkan. Tentu saja KLB dan KDB perlu direvisi periodikal sejalan dengan perkembangan kepadatan penduduk di suatu kawasan. Bagaimanapun juga, dengan uang yang ditarik lewat cara inilah kini sudah terhimpun Rp. 4 T yang langsung disetor pihak-pihak yang terkena denda ke kas Pemprov DKI dari waktu ke waktu.  

Sejauh saya tahu, dengan memakai sebagian uang inilah Gubernur Ahok membangun rusunawa dan rusunami untuk rakyat yang dibebaskan dari kekumuhan dan direlokasi. Juga untuk membangun dan menjalankan berbagai fasilitas, sarana-prasarana dan berbagai bantuan lain untuk para penghuni rusun-rusun lewat cara yang legal dan edukatif.

Jadi saya kira, hanya orang yang buta mata, buta hati dan buta nalar, yang menuduh Pak Ahok musuh rakyat miskin. Mereka yang buta multidimensional ini pasti punya sejumlah agenda picik personal dalam protes-protes mereka atas nama rakyat miskin untuk mengguncang Ahok atau bahkan untuk menumbangkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun