“Ada tamu datang membersihkan rumah, dan secara canggih dan tegas mengusir tikus-tikus. Kami sekeluarga terpesona. Kami menerimanya sebagai keluarga. Karena tamu itu lebih menguasai pengelolaan rumah dibandingkan kami sekeluarga. Akhirnya, rumah kami menjadi rumahnya. Dan kami numpang. Berkat kebaikan hatinya.”
Ucapan di atas membuat saya langsung teringat pada sebuah ucapan yang agak mirip. Ucapan yang agak mirip ini keluar dari mulut Uskup Agung Afrika Selatan yang sudah pensiun, Desmond Tutu (DT), lahir 7 Oktober 1931 di Klerksdorp, Afrika Selatan. Ihwal apakah EAN tahu atau tidak tahu ucapan beken DT ini, bukan suatu masalah. Saya menggunakannya hanya sebagai sebuah pembanding saja.
DT adalah sosok terkenal di dunia sebagai aktivis HAM dan sosial di tahun 1980-an, yang menentang politik apartheid yang pernah membelenggu orang kulit hitam Afrika Selatan. DT telah menerima banyak penghargaan, antara lain Anugerah Nobel Perdamaian (1984), Anugerah Perdamaian Gandhi (2007), dll.
Di bawah ini terjemahan saya atas ucapan DT yang sangat terkenal itu. Ucapan ini membuat banyak orang merenung-renung tentang agama yang menjadi wahana untuk menjajah, atau penjajah yang datang dengan berjubah agama. Untuk teks Inggris aslinya, lihat gambar pertama terlampir di atas. DT dengan ringkas berkisah:
“Ketika para pekabar injil dulu datang ke Afrika Selatan, mereka mempunyai Alkitab, dan kami mempunyai tanah. Mereka berkata, ‘Mari kita berdoa!’ Kami menutup mata kami. Di saat kami membuka mata kami kembali, kami memiliki Alkitab, dan mereka memiliki tanah kami.”
Nah, dengan mengacu ke sebuah sumber otentik yang sudah saya sebut di atas, saya kini bisa memastikan bahwa “tamu” yang dimaksud EAN pada meme-nya di atas adalah Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa dipanggil Ahok. Maaf, jika saya salah mengidentifikasi! Tapi, Apakah ada sosok lain yang pas selain Ahok, katakanlah misalnya Hary Tanoe, atau mungkin Samadikun Hartono yang baru pulang ke Indonesia setelah “berlibur sangat panjang” lebih dari 10 tahun di RRC ketika presiden NKRI sudah berganti?
Perhatikanlah. Ucapan EAN dan ucapan DT di atas mirip. Tetapi juga sangat berbeda. Wibawa dua sosok ini juga jauh berbeda. EAN hanya dikenal di Indonesia. DT dikenal dan diakui dunia.
Para pekabar injil yang datang ke Afsel di era gerakan Desmond Tutu, dan di era jauh sebelumnya, adalah memang orang-orang asing, para tamu, yang bertujuan menjajah Afsel dengan mula-mula memakai jubah agama dan membawa aksesoris agama. Tidak ada cinta dalam diri mereka terhadap rakyat Afrika Selatan.
Sebaliknya, Gubernur Ahok sama sekali bukan tamu, bukan orang asing, bukan pendatang, juga bukan penjajah berjubah agama. Ahok itu WNI yang mencintai NKRI dan bangsa Indonesia, khususnya penduduk DKI dan lebih khusus lagi rakyat miskin di Jakarta yang semula tidak punya tempat tinggal yang sah dan tidak punya rumah sendiri yang layak.
Kepedulian Gubernur Ahok pada penduduk miskin di DKI bukan untuk menaikkan citra dirinya dan juga bukan untuk memperkokoh posisi politiknya, sebagaimana sejumlah orang dengan keliru menilainya. Ahok mencintai mereka. Ahok tidak gila kekuasaan. Beberapa waktu lalu ketika KPUD menyebar wacana untuk membuat rumit syarat validitas formulir dukungan penduduk DKI ke pasangan independen (non-partai) calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI dalam Pilkada 2017, dengan ringan Ahok menanggapi, "Silakan saja. Saya menjadi gubernur cukup sampai Oktober 2017 saja!"
Kita tahu, demi hukum dan keadilan sosial Gubernur Ahok juga melawan dan menindak dengan tegas sejumlah konglomerat WNI etnis Tionghoa yang mau mempermainkan hukum NKRI dan berbuat tidak adil dalam bisnis mereka. Bahwa Ahok juga tidak disukai bahkan dibenci oleh sejumlah konglomerat WNI Tionghoa atau oleh sejumlah orang Tionghoa yang dengan narsis merasa sudah menjadi tokoh penting dan paling mampu memahami dan mewakili isi pikiran seluruh WNI etnis Tionghoa di Jakarta, adalah suatu kenyataan yang niscaya. Ini fakta real! Bukan propaganda. Bukan fiksi.