Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Teokrasi Yesus dan Demokrasi Modern. Anda Pilih Mana?

12 April 2016   16:53 Diperbarui: 2 Mei 2016   23:19 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gerakan Yesus bagaimana pun juga adalah sebuah gerakan politis, meskipun tidak ada indikasi kuat apapun dalam injil-injil Perjanjian Baru bahwa Yesus memiliki dan membangun suatu pasukan bersenjata, yang disiapkan untuk suatu saat menggelar perlawanan militer terbuka terhadap Roma. Yesus memang seorang religiopolitis, tetapi sama sekali bukan seorang yang militeristik dan juga bukan seorang pemimpin perang!

Barangkali Yesus dari Nazareth menghayati diri sebagai seorang nabi apokaliptik, yang percaya bahwa di masa depan semua ketidakberesan dunia ini, termasuk ketidakberesan politik dan penjajahan Roma atas bangsa dan tanah Israel, akan diakhiri oleh intervensi langsung dari sorga oleh Allah sendiri bersama pasukan besar sorgawi-Nya, pada saat mana Bait Allah akan juga dihancurkan oleh Allah sendiri untuk diganti dengan Bait lain yang bukan buatan tangan manusia.

Ada sejumlah pakar yang menyarankan bahwa Yesus yakin intervensi ilahi ini akan terjadi pada saat dia ditangkap dan menjelang disalibkan, untuk menyelamatkan dirinya dan membebaskan Israel dari kekuasaan Roma, dan mendatangkan Bait Allah yang baru yang tidak dibuat oleh tangan manusia. Tetapi, sampai menjelang ajal dan ketika merasakan kesakitan luar biasa di kayu salib, intervensi Allah sebagai Sang Ayah ini tak kunjung terjadi sehingga Yesus merasa telah ditinggalkan dan ditelantarkan Allah.

Jika penulis Injil Markus memang mencatat sebuah ingatan historis tentang apa yang terjadi ketika Yesus sedang kesakitan di kayu salib, menurut penulis injil ini, Yesus akhirnya merasa sangat kecewa dan berteriak, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”, artinya: “Ya Allahku, ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” (Markus 15:33). Inilah problem teodise (gabungan dua kata Yunani theos dan dikē yang berarti “keadilan Allah”) yang Yesus sendiri harus hadapi. Di mana Allah yang mahaadil ketika seorang saleh seperti dirinya sedang mau dibunuh oleh musuh-musuhnya, sedang sekarat? Mengapa Sang Ayah ilahi ini diam saja? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Inilah pergumulan eksistensial yang setiap orang yang beragama pasti pernah alami, suatu pergumulan mental kognitif yang dinamakan teodise. Pergumulan ini muncul karena iman atau keyakinan keagamaan dan fakta eksistensial tidak sejalan, tidak harmonis, bertabrakan keras. Teodise adalah suatu disonansi kognitif.

Teodise menambah penderitaan batin orang yang beragama, padahal mereka semula beragama supaya hidup dapat berbahagia dan jiwa adem dan tenteram. Beragama untuk menjaga moral mungkin lebih baik ketimbang beragama dengan tujuan untuk tidak mengalami persoalan teodise. Tanpa teodise, agama pasti tidak ada. Jika agama dianut, teodise pasti terjadi, lebih sering ketimbang jarang. Karena teodise sesuatu yang niscaya, sosok Allah mau tidak mau menjadi sebuah teka-teki besar yang kerap membingungkan dan menimbulkan stres dan depresi.

Tetapi para pakar pengkaji Yesus sejarah belakangan ini makin condong menolak jika Yesus dari Nazareth dipandang sebagai seorang nabi apokaliptik. Mereka lebih siap untuk memandang Yesus sebagai seorang nabi sosial, yang membawa visi dan misi pembaruan sosio-politik dan religius untuk bangsa dan negerinya, yang di ujung pergerakannya menemui kegagalan total.

Sebagai seorang nabi sosial, Yesus lebih kuat menghayati apa yang oleh John Dominic Crossan disebut ethical eschatology, atau sapiential eschatology, yang mendorong orang seperti Yesus (dan juga murid-murid Yesus) untuk aktif ambil bagian secara etis dan bijak dalam tindakan-tindakan Allah yang sekarang sedang berlangsung untuk menegakkan kerajaan-Nya dalam dunia ini (di beberapa tulisannya, Crossan menguraikan isi eskatologi jenis ini; lihat khususnya bukunya, Jesus: A Revolutionary Biography, 1994, hlm. 56 dyb.). Apokaliptisisme, yang membuat orang pasif menunggu intervensi Allah sang pembalas di akhir zaman untuk membereskan semua ketidakberesan dunia ini, meskipun tak dapat dilepaskan sama sekali dari pikiran Yesus, hanya sedikit memengaruhi kiprah-kiprah dan ajaran-ajaran Yesus.

Bagaimana pun juga, gerakan politis Yesus lebih tampak sebagai suatu gerakan pemberdayaan rakyat (empowering the people) melalui berbagai aktivitas yang Yesus lakukan banyak kali (penyembuhan, perkawanan, persekutuan di sekitar meja makan sambil lesehan, pengusiran setan, penghiburan). Juga melalui berbagai pengajarannya, yang dalam banyak segi disampaikan bukan sebagai pernyataan-pernyataan politis terbuka, tetapi sebagai metafora-metafora (antara lain perumpamaan-perumpamaan tentang kerajaan Allah, tentang Allah yang kini sedang berkuasa dan memerintah atas bangsa Israel dan akibat-akibatnya yang kentara dan dirasakan dan dialami langsung oleh rakyat Yahudi). Selain itu, juga melalui usaha-usahanya membangun suatu komunitas egaliter, di mana egalitarianisme ini diwujudkan antara lain dalam acara-acara makan bersama di lantai yang digelar dan dipimpinnya. Ini adalah suatu komunitas miniatur yang menjadi sebuah model bagaimana nanti di masa depan bangsa Israel harus dikelola, ketika Israel sudah merdeka dari penjajahan, dan dipimpin langsung oleh Allah, Sang Ayah bangsa Yahudi, yang akan memerintah dengan kerahimannya.

Begitu juga, ketika berbagai kekristenan perdana (yang melahirkan Perjanjian Baru) mengklaim dan memproklamirkan bahwa Yesus adalah Tuhan (kurios), klaim dan proklamasi Kristen ini dibuat sebagai suatu tandingan terhadap klaim dan proklamasi resmi bangsa Romawi bahwa sang Kaisar mereka (Kaisar Augustus) adalah Tuhan/Allah, Anak Allah, sang Penyelamat Dunia, yang membawa kabar baik bagi dunia yang dikenal. Klaim bangsa Romawi ini dengan jelas dikumandangkan pada sebuah prasasti yang bertuliskan dekrit Majelis Provinsi Asia dalam kekaisaran Romawi, yang berasal dari tahun 9 SM. Bunyi dekrit ini:

“Kaisar yang paling ilahi... harus kita pandang setara dengan Sang Awal (arkhē) dari segala sesuatu.... Kaisar.... sang Nasib Baik bagi semua orang.... Awal kehidupan dan vitalitas... semua kota dengan bulat mengadopsi hari kelahiran Kaisar ilahi sebagai awal baru untuk tahun ini.... Sementara Sang Providentia, yang telah mengatur seluruh eksistensi kita,... telah membawa kehidupan kita ke puncak kesempurnaan dengan memberikan kepada kita [sang Kaisar] Augustus, yang oleh sang Providentia telah diisi dengan kebajikan demi kesejahteraan semua orang, dan yang, lewat pengutusannya sebagai sang Penyelamat (sōtēr) kepada kita dan semua keturunan kita, telah mengakhiri perang dan menempatkan segala sesuatu dalam keteraturan pada tempatnya masing-masing,... dan... akhirnya, hari kelahiran Allah [Augustus] telah menjadi bagi seluruh dunia awal kabar baik [euaggelion] tentang dirinya [dan karena itu hendaklah suatu zaman baru dimulai sejak kelahirannya].” (Dikutip oleh Richard A. Horsley, The Liberation of Christmas. The Infancy Narratives in Social Context, 1989, 27.)

Oktavianus Augustus adalah kaisar pertama Imperium Romawi yang berkuasa 27 SM hingga 14 M. “Augustus” berarti “dia yang disanjung” atau “dia yang disucikan” atau “dia yang dimuliakan”. Oleh Senat Romawi, Augustus diberi gelar “Anak Allah” saat naik ke tampuk kekuasaan. Dalam kompetisi religiopolitik dengan Imperium Romawi, gereja-gereja perdana menyetarakan Yesus Kristus dengan Kaisar Augustus sebagai Tuhan, Anak Allah dan Juru Selamat. Praktek religiopolitik menyetarakan seorang manusia dengan Tuhan umum dilakukan di dunia Yunani-Romawi ketika kekristenan perdana terbentuk, bukan suatu dosa syirik seperti dipahami dalam agama Islam belakangan. Praktek di dunia Yunani-Romawi kuno ini dinamakan apotheosis atau deifikasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun