Yesus membisu ketika diadili oleh Pontius Pilatus. Berpolitikkah Yesus? Sumber: Mattfrizzell.com. https://mattfrizzell.com/2014/02/08/jesus-silence-before-pilate-or-the-politics-of-madness/
Kebanyakan orang Kristen masa kini tidak mengetahui konteks religio-politis gerakan yang diprakarsai Yesus, yakni gerakan menghadirkan “kerajaan Allah”, artinya: gerakan mendatangkan dan menegakkan teokrasi, di tengah rakyat dan negara terjajah Yahudi pada abad pertama M. Karena itu, mereka menganggap Yesus sebagai seorang spiritualis yang memperjuangkan hanya hal-hal rohani, hal-hal spiritual, hal-hal batiniah, hal-hal yang tak ada hubungannya dengan politik atau (sistem) pemerintahan suatu negara.
Untuk mendukung anggapan ini, biasanya mereka akan mengutip teks-teks yang pada pandangan pertama tampak menampilkan Yesus sebagai seorang yang anti-politik atau apolitik, misalnya teks tentang keharusan memberi pajak kepada Kaisar dan keharusan memberi kepada Allah apa yang harus diberikan kepada Allah (Markus 12:13-17), atau tuturan pendek tentang Yesus yang menghindar (“pergi bersembunyi”) ketika dia (mau) diproklamirkan oleh massa Yahudi sebagai seorang raja Israel (Yohanes 12:12-16, 36b). Anggapan mereka ini tidak benar sama sekali.
Jauh lebih tidak benar lagi, ketika beberapa ucapan Yesus dalam Injil Yohanes dikutip-kutip untuk menyatakan bahwa Yesus sama sekali tidak peduli dengan kerajaan duniawi (misalnya Imperium Romanum, kekaisaran Romawi, atau kerajaan Israel sendiri), melainkan hanya peduli pada kerajaan rohani yang bukan dari dunia ini. Ucapan Yesus dalam Yohanes 18:36 seringkali dikutip, “Kerajaanku bukan dari dunia ini; jika kerajaanku dari dunia ini, pasti hamba-hambaku telah melawan, supaya aku tidak diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi kerajaanku bukan dari sini.”
Sudah menjadi suatu prosedur umum di kalangan para pakar pengkaji Yesus untuk tidak memakai Injil Yohanes sebagai sebuah sumber sastra autentik bagi pengkajian atas figur Yesus dari Nazareth, meskipun ada sejumlah kecil tradisi historis dalam injil ini yang dapat dikaitkan pada figur Yesus sejarah, selain tradisi-tradisi historis yang diambil penulis Injil Keempat ini dari injil-injil sinoptik Markus, Matius dan Lukas (misalnya kisah kesengsaraan Yesus, passion narrative).
Ucapan Yesus yang baru dikutip di atas (Yohanes 18:36) adalah ucapan Yesus versi penulis Injil Yohanes, bukan sebuah ucapan Yesus dari Nazareth. Dalam kristologi penulis Injil Yohanes, Yesus digambarkan sudah sangat menjauh dari gambaran Yesus dalam injil-injil sinoptik (Markus, Matius, dan Lukas). Orang menyebut kristologi dalam Injil Yohanes sebagai “kristologi dari atas” (high christology), yang berkontras dengan “kristologi dari bawah” (low christology) yang mendominasi injil-injil sinoptik Perjanjian Baru.
Dalam kristologi “dari atas”, Yesus digambarkan sebagai suatu oknum sorgawi (baik sebagai sang Firman, maupun sebagai Anak Manusia sorgawi) yang memiliki pra-eksistensi, berasal dari kawasan sorgawi, ada di sana, sebelum “turun dari atas”, masuk ke kawasan dunia “di bawah”. Sebagai oknum sorgawi Yesus digambarkan tidak berasal dari dunia ini, bahkan dunia ini dan segala isinya digambarkan tidak mengenal dia, bahkan menolak dia dan akhirnya menyalibkan dia. Nah, dalam bingkai kristologi “dari atas” inilah ucapan Yesus dalam Yohanes 18:36 harus ditempatkan. Sedangkan Yesus dari Nazareth sendiri, sebagai seorang manusia yang real dalam dunia ini, berasal dari dunia ini, tidak pernah mengucapkan kata-kata itu.
Dalam injil-injil sinoptik, gagasan Yesus tentang “kerajaan Allah” atau “pemerintahan Allah” atau “Imperium Allah” (Ibrani: malkuth hashamayim, kerajaan sorga; Yunani: basileia tou theou), yang berlatarbelakang pada konsep religio-politis Perjanjian Lama, sungguh-sungguh adalah sebuah gagasan politis tandingan terhadap Imperium Romanum, kekaisaran Romawi, yang sedang menjajah negerinya (sejak 63 SM).
Sejak zaman Perjanjian Lama periode kerajaan (abad ke-10 SM), pemerintahan negara Israel kuno dipandang dan berlaku sebagai pemerintahan Allah, sebagai teokrasi, di mana Allah memerintah lewat wakilnya (seorang raja yang diurapi, sang messias, Raja Daud, misalnya) atau lewat hukum-hukum-Nya yang diberikan kepada wakilnya ini. Konsep sekularisme yang memisahkan agama dari politik, atau politik dari agama, adalah sebuah konsep modern yang sangat asing bagi dunia PL, bagi Yesus di abad pertama M, dan bagi umat Kristen perdana yang melahirkan Perjanjian Baru.
Teks-teks dalam PB tersebut di atas yang dikenakan pada Yesus jelas tidak mungkin dipahami dalam rangka sekularisme. Sesungguhnya teks-teks tersebut, dalam konteks historis Yesus sendiri, dapat dijelaskan sebagai teks-teks yang malah memperkuat teokratisme Yesus.
Kalau di tangan penulis Injil Markus teks Markus 12:13-17 tampak membuat Yesus takluk pada sang Kaisar yang bertakhta di Roma, atau membuat Yesus menganut “teori dua pedang” (pedang politik digenggam Kaisar Romawi, dan pedang rohani digenggam Paus), tidaklah demikian halnya di tangan Yesus orang Nazareth sendiri.