Ketika Yesus meminta Legion ini keluar dari tubuh orang yang dirasuki, roh-roh jahat ini meminta untuk diizinkan tetap tinggal di daerah itu (ayat 10); inilah memang kemauan Roma, yakni tetap menjajah tanah Israel, tetap mengontrol seluruh negeri. Dari jalannya kisah, kita dapat simpulkan, permintaan ini Yesus tak kabulkan. Lalu Legion ini meminta diizinkan untuk “pindah ke dalam babi-babi, dan memasuki” kawanan babi ini. Yesus mengabulkan permintaan mereka. Legion ini segera masuk ke dalam kawanan babi, lalu kawanan dua ribu ekor babi ini “terjun dari tepi jurang ke dalam danau dan mati lemas di dalamnya” (ayat 13) (Catatan: sebetulnya sama sekali tak ada danau di daerah Gerasa! Jadi, tampaknya penulis Injil Markus keliru mengidentifikasi tempat.)
Babi adalah binatang haram, tentu saja dalam pandangan agama Yahudi kuno. Ya, bagi Yesus, penjajah Roma memang adalah bangsa yang najis dan haram, sederajat dengan babi, dan hanya pantas dibenamkan ke dalam air danau sampai mati lemas. Tuturan tindakan Yesus di kawasan orang Gerasa ini, yakni melakukan eksorsisme, konsisten dengan kebanyakan tindakan Yesus lainnya, yang kuat dicirikan oleh pengusiran setan, sebagaimana dipercaya kalangan pengkaji Yesus pada umumnya.
Di mana-mana dan di banyak zaman, sebagaimana telah disingkap oleh antropologi kultural, dalam suatu pertikaian sengit dan besar, pihak-pihak yang bertikai kerap memandang lawan-lawan mereka sebagai representasi setan-setan. Demonisasi (demonization, demonizing) selalu dilakukan terhadap lawan-lawan, khususnya ketika lawan-lawan ini dirasakan terlalu kuat dan terlalu besar untuk dikalahkan. Injil-injil Perjanjian Baru, juga banyak dokumen PB lainnya, sarat dengan motif mendemonisasi lawan ini. Entah yang didemonisasi itu Yesus, atau, sebaliknya, Yesus mendemonisasi lawan-lawannya, seperti kita dapat baca misalnya dalam Injil Yohanes (Yohanes 8:44, 48). Dalam kekristenan perdana yang beranekaragam, motif menyetankan lawan ini juga muncul di mana-mana seperti telah diperlihatkan oleh Elaine Pagels dalam bukunya The Origin of Satan: How Christians Demonized Jews, Pagans, and Heretics (1996).
Harus diingat bahwa kematian Yesus tak pelak lagi adalah sebuah konsekwensi dari gerakan politiknya di suatu negara yang sedang dijajah oleh kekaisaran Romawi, yang memandang hanya Kaisar Roma yang berkuasa memerintah tanah Yahudi. Vonis dan penghukuman mati Yesus melalui penyaliban bukan tanpa dasar politis. Dasar politis kematiannya ini sangat kuat, yakni dia ditemukan terbukti mengklaim dirinya Raja Yahudi di suatu negeri yang di dalamnya boleh hanya ada satu raja yang berkuasa, yakni Kaisar yang bertakhta di kota Roma. Setiap orang yang melawan Kaisar dan kedaulatan Roma atas negeri jajahan harus dihukum mati. Tuduhan terhadap Yesus ini ditulis dan dipasang sebagai titulus pada balok kayu salibnya, yang berbunyi “Raja Orang Yahudi” (lihat Markus 15:26; Matius 27:37; Lukas 23:38; Yohanes 19:19).
Tak lama sebelum Yesus ditangkap (di suatu tempat, tak harus di Taman Getsemani!), dia telah mengadakan sebuah demo kecil di suatu sisi Bait Allah di Yerusalem, ketika dia mengintervensi bisnis penukaran uang dan penjualan hewan-hewan kurban di situ sambil mengucapkan kata-kata keras tentang Bait ini (Markus 11:15-18; 14:58; Injil Tomas 71; Yohanes 2:14-16a). Kegiatan fiskal dan komersial di Bait Allah ini memang diperlukan dan sah diadakan demi kelangsungan ritual-ritual kurban yang diadakan di dalamnya. Tetapi hanya lewat hierarki kepemimpinan dan fungsi para pengelola Bait Allah, ritual-ritual ini, khususnya ritual penyucian dosa, baru dipandang absah dan dipercaya mujarab.
Mengganggu jalannya sistem dan ritual kurban yang dikelola para pengurus Bait Allah bukan saja mengganggu otoritas Yahudi yang ada di balik penyelenggaraan ritual-ritual itu, tetapi juga otoritas Romawi yang bertanggungjawab untuk mengamankan penyelenggaraan semua ritual itu karena dari penghasilan yang diterima otoritas Yahudi dari ritual-ritual ini otoritas Roma juga mendapatkan bagian keuntungan yang besar.
Nah, barangsiapa mengganggu kedua otoritas ini, barangsiapa mengganggu Bait Allah, si pengganggu harus ditangkap dan umumnya akan langsung dieksekusi, lebih-lebih lagi jika gangguan ini diadakan pada musim perayaan Paskah Yahudi tahunan yang berlangsung selama tujuh hari.
Ada alasan yang cukup untuk orang percaya bahwa demo yang dilakukan Yesus di Bait Allah, meskipun berskala kecil, yang diadakannya sebagai suatu tindakan simbolik untuk menyetop semua kegiatan fiskal dan ritual di Bait Allah, adalah satu penyebab paling menentukan mengapa dia dicari dan akhirnya ditangkap, lalu, tak lama setelah itu, dieksekusi.
Demo Yesus ini bukan sekadar suatu demo keagamaan untuk “menyucikan Bait Allah”, melainkan suatu tindakan simbolis politis untuk mengakhiri fungsi Bait Allah sebagai sebuah pranata yang berperan sebagai broker antara Allah Yahudi dan umat Yahudi kalau umat ini mau mendapatkan penyucian dosa, peran broker yang dimainkan oleh para pemuka keagamaan Yahudi yang bertindak di dalam perlindungan dan kontrol Roma. Jadi, bagi Yesus, untuk mengalami perjumpaan dengan Allah yang rahmani dan rahimi, hierarki kepemimpinan keagamaan dan para perantara tidakdiperlukan. Ini sebuah pandangan yang revolusioner dan radikal dan sangat politis.
Mudah sekali untuk membayangkan bahwa Yesus yang selalu memberitakan bahwa Allah Yahudi kini datang langsung kepada umat-Nya, tanpa broker, tanpa makelar, menjadi sangat terganggu dan naik pitam ketika dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana peran langsung Allah ini telah dihambat oleh peran Bait Allah dan para penguasa Yahudi di belakangnya sebagai perantara-perantara yang menghubungkan Allah Yahudi dengan umat. Tanpa dapat dicegah, Yesus demo di salah satu serambi Bait Allah, dengan memporakporandakan meja-meja pedagang valuta asing dan mengobrak-abrik kandang-kandang hewan-hewan kurban yang semuanya diperlukan bagi kelangsungan ibadah dan ritual di Bait Allah dan sumber pemasukan kas Bait Allah lewat pajak yang dibebankan.
Ihwal bagaimana aspek-aspek politik tak dapat dilepaskan dari gerakan yang dibangun Yesus bersama murid-muridnya, sudah banyak diulas oleh para pakar pengkaji Yesus sejarah. Buku yang disunting oleh E. Bammel dan C. F. D. Moule, Jesus and the Politics of His Day (1985; cetak ulang 1992), dapat dijadikan sebagai sebuah bacaan awal.