Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Teokrasi Yesus dan Demokrasi Modern. Anda Pilih Mana?

12 April 2016   16:53 Diperbarui: 2 Mei 2016   23:19 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nah, masalah krusialnya muncul ketika seorang bijak, Yesus misalnya, atau Siddharta Gautama, atau Antisthenes dan Diogenes dari Sinope (dua filsuf aliran Sinisisme), atau Lao Tsu, atau Mahatma Gandhi, memakai bahasa simbolik atau metafora untuk menyampaikan hanya satu pesan yang tak ambigu, namun disamarkan demi menjaga keamanan dirinya, seperti halnya dengan ucapan Yesus dalam Markus 12:17.

Nah, dalam situasi ini, bagaimana bahasa simbolik dan metafora yang digunakan orang-orang bijak ini betul-betul dapat ditangkap dengan benar dalam satu makna saja oleh para pendengar mereka semula dulu atau oleh para pendengar atau pembaca mereka di kemudian hari?

Masalah ini dapat diatasi dengan cara ini: para pendengar mereka (khususnya murid-murid lingkaran dalam mereka, the inner circle) harus betul-betul sudah bergaul erat dengan mereka dalam jangka waktu yang lama, sudah mengenal pemikiran dan visi-visi mereka, sudah mengenal cara-cara dan bentuk-bentuk komunikasi verbal mereka, sudah cergas memahami dan menangkap kapan mereka mau dipahami secara harfiah atau secara metaforis lewat ucapan dan tindakan mereka, dan mampu menempatkan semua tindakan dan ucapan mereka pada konteks sosial aktual yang terbatas maupun yang luas.

Dengan kata lain, setiap ungkapan simbolik atau bahasa metaforis, jika ini dimaksudkan untuk membawa satu makna dan pesan saja, makna dan pesan yang satu ini dapat dengan benar ditangkap dan dipahami jika kita, dalam hal Yesus, mengenal teologi Yesus, kosa kata khas Yesus, gaya bahasa khas Yesus, gaya khas kehidupan Yesus, dan konteks sosial kehidupan Yesus dan konteks sosial aktual yang di dalamnya Yesus melakukan suatu tindakan simbolik atau mengucapkan pesan-pesan simbolik metaforis, serta persoalan-persoalan aktual yang sedang dihadapi Yesus dan bangsa Yahudi zamannya.

Jadi kajian sejarah dan kritik sastra harus digunakan ketika orang mau menangkap dan memahami ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan simbolik Yesus yang bisa memikul banyak makna dan pesan, tetapi dikehendaki Yesus hanya menyampaikan satu makna dan pesan.

Nah, sekarang kita lanjutkan ke sebuah episode lainnya dalam kehidupan Yesus, kali ini ke teks Yohanes 12:36b. Teks ini memuat sebuah catatan pendek bahwa Yesus “pergi bersembunyi” ketika dia, sementara memasuki kota Yerusalem pada masa perayaan Paskah Yahudi tahunan (lihat juga Markus 11:1-11; dan par.), mendapati orang banyak ingin melantiknya menjadi Raja Israel sementara mereka meneriakkan yel-yel “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel” (Yohanes 12:13). Teks ini tampak autentik jika dibandingkan dengan teks-teks paralelnya dalam injil-injil sinoptik (Markus, Matius, Lukas).

Dalam injil-injil sinoptik Perjanjian Baru (Markus, Matius dan Lukas) tak ada catatan bahwa Yesus segera pergi bersembunyi setelah dia melihat gelagat orang banyak ingin melantiknya menjadi seorang raja Israel. Dalam setiap perayaan Paskah Yahudi, nasionalisme dan patriotisme Yahudi sangat kuat muncul kembali karena dipicu oleh ingatan tentang kemerdekaan nenek moyang bangsa Israel dari perbudakan di Mesir pada masa yang sudah sangat lampau (yang setiap tahun diperingati sebagai Paskah), dan ini dapat menimbulkan berbagai kerusuhan besar di kota Yerusalem seperti pernah terjadi pada tahun 4 SM, dan pada masa Ventidius Cumanus memerintah Palestina dari 48 sampai 52 M, sebagaimana dilaporkan oleh Flavius Yosefus, seorang sejarawan Yahudi (Bellum Judaecum 2.10-13; 2.224; Antiquitates 17.204; 20.106-112). Untuk mencegah kerusuhan massal ini, kota Yerusalem (yang dipadati bisa sampai empat ratus ribu orang pada masa perayaan Paskah) dan khususnya Bait Allah dijaga dan diawasi dengan sangat ketat oleh sejumlah besar pasukan Romawi. Karena itulah, tidak mungkin pawai pelantikan yang digelar Yesus dan orang banyak ini bisa berlangsung aman-aman saja. Karena penilaian ini, ada sejumlah pakar kajian Yesus yang menyatakan bahwa kisah pawai pelantikan Yesus saat dia masuk ke kota Yerusalem adalah fiksi.

Nah, jika dalam Yohanes 12:36b dinyatakan bahwa segera setelah pawai ini Yesus pergi bersembunyi, pernyataan pendek ini mengindikasikan bukan bahwa Yesus menolak aspirasi orang banyak untuk mengangkatnya menjadi raja Israel (karena Yesus sendiri tidak menolak mengadakan pawai pelantikan dirinya sebagai raja, yang dimeriahkan dengan yel-yel pelantikan dan berbagai atribut lainnya), melainkan bahwa Yesus tahu betul bahwa aspirasi orang banyak ini yang tidak ditampiknya sama sekali adalah sebuah aspirasi politis yang sangat berbahaya. Karena itu, demi keamanan dirinya dan gerakannya yang masih belum matang, dia segera menyingkir, pergi bersembunyi, bisa jadi karena dia berpikir dengan benar bahwa tentulah pasukan Romawi sedang menyelidiki siapa orang yang telah mengklaim takhta raja Yahudi itu dan di mana orang ini kini berada, orang yang harus ditangkap dan diamankan.

Dalam tuturan injil-injil PB, sedikitnya ada dua metafora yang dipakai Yesus untuk menunjukkan bahwa dia memang sedang melawan penjajah Roma, yang dikehendakinya dapat dikalahkan olehnya dan oleh bangsa Yahudi. Dalam Markus 3:27, kekaisaran Romawi yang sedang menjajah tanah dan bangsa Israel disebutnya sebagai “orang kuat” (ho iskhuros). Kata Yesus, jika rumah orang kuat ini ingin dimasuki dan harta bendanya dirampas, orang kuat ini harus “diikat dahulu”.

Teks Markus 3:27 ini muncul dalam sebuah narasi pertikaian, yang dibuka dengan suatu tuduhan bahwa Yesus “kerasukan Beelzebul”, sang penghulu setan, roh jahat, yang lalu ditangkis Yesus (Markus 3:20-30). Jika “orang kuat” ini dimaksudkan Yesus sebagai “Beelzebul”, yaitu “penghulu atau kepala setan-setan”, atau “roh jahat”, penulis Injil Markus di tahun 70 abad 1 M memang mengidentikkan penjajah Romawi sebagai “setan” atau “roh jahat”, seperti kita baca dalam Markus 5:1-20.

Dalam tuturan Markus 5 ini, Yesus meminta roh jahat yang sedang merasuki seorang Gerasa “keluar dari” orang yang kerasukan ini. Sebelumnya, Yesus bertanya siapa nama roh jahat ini; lalu roh jahat ini menjawab, “Namaku Legion, karena kami banyak” (ayat 9). Nah, dalam dunia Yunani-Romawi abad-abad pertama, “legion” adalah sebuah sebutan dalam dunia kemiliteran untuk satuan prajurit pejalan kaki Roma ditambah pasukan berkuda, dengan jumlah sangat besar antara tiga ribu sampai enam ribu orang. Nama ini dengan demikian adalah sebuah metafora (yang dipakai dan dipertahankan penulis Injil Markus) untuk penjajahan Roma atas tanah Israel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun