Untuk itulah warga sekitar Pura Dalem Balingkang mengklaim diri sebagai masyarakat Bali Aga atau Bali Mula.
Periode Kedua, Etnis China ke Bali pada Zaman Belanda
Sejaka kekuasaan Raja Jayapangus ada rentang yang sangat panjang tanpa adanya kemunculan etnis Tionghoa hingga zaman Belanda.
Beberapa sumber menyebutkan, kejadian tersebut terjadi ketika zaman Kerajaan Majapahit. Ada pengaruh dari Sam Poo Kong yang terkenal di seluruh Indonesia, dan pernah berlayar ke Bali pada periode Majapahit, Rombongan mereka datang dari Jawa yang kemudian datang ke Balingkang yang saat itu merupakan pusat Kerajaan Bali kuno.
Sampai sekarang, banyak penduduk Batur yang meyakini hal tersebut memang benar. Apalagi bisa kita lihat bahwa banyak penduduk di Batur yang mirip dengan orang daerah China, wajah kekuningan atau agak kemerahan dan itu berbeda dengan orang Bali pada umumnya.
Raja Jayapangus memiliki dua istri, di mana satu orang merupakan warga Bali dan seorang lagi dari China. Selanjutnya kisah ini dimanifestasikan dengan Barong Landung atau Jero Gede Jero Luh.
Periode selanjutnya, warga etnis Tionghoa datang ke Bali pada jaman Belanda, di mana mereka datang dari Cina Selatan yakni Provinsi Guangdong.
Mereka menguasai Bahasa Melayu dengan baik sehingga jadi perantara Belanda dengan orang pribumi di Bali maupun tempat-tempat lain. Sehingga sampai sekarang mereka masih menguasai jalur perdagangan di Indonesia termasuk Bali. Selain itu, menurutnya pada zaman Belanda mereka juga tidak diizinkan di kota-kota sehingga banyak yang pindah ke desa.
Ketika Tahun 1965, kondisi tidak kondusif untuk keturunan China di Indonesia, dan banyak juga dari mereka yang kemudian lari ke China sehingga di China ada kampung Bali. Jadi di Kampung Bali itu pelarian dari Bali atau yang diekstradisi Kembali ke China.
Sampek Eng Tay
Akulturasi adaptasi budaya, juga terjadi dengan diserapnya kisah cerita yang sangat terkenal dari China yang berjudul Sam Pek Eng Tay. Sam Pek Eng Tay ini karya Boen Sing Hoo. Kemudian diadaptasikan oleh Ida Ketut Sari dari Geria Sanur, Denpasar, tahun 1915.
Cerita ini kerap menjadi kisah drama dan tari, arja dan lain sebagainya pada awal tahun 1970-an. Cerita Sam Pek Eng Tay di Bali dikenal dengan nama Geguritan Sampik.
Geguritan Sampik ini ditulis dalam bahasa dan aksara Bali, dan digubah dengan menggunakan tembang-tembang macapat.