Setiap tahun Baru China, atau Imlek ini, Keluarga kami selalu mengaitkan dengan adanya hujan dan angin yang bersatu datang dalam bentuk 'angin linus' (semacam puting beliung, namun kecil) setelah persembahyangan di Klenteng. Teman-teman China mengharapkan kehadiran "dewa angin itu", kalau benar terjadi mereka bahagia, karena yang diharapkan sudah hadir.Â
Tidak sulit mencari simbol-simbol hari Imlek. Teman-teman etnis China sangat mudah ditemukan di kota kelahiran saya, Klungkung, saat mereka menyambut tahun baru ini, maka akan terlihat rumahnya dihias dan ada pohon tebu, di kanan kiri rumahnya.
Sinkritisme budaya China Bali terjadi telah lama sekali. Banyak simbol budaya saling mempengaruhi budaya Bali, seperti: Tari Baris Cina, Barong Landung, pis bolong China, Patra China dalam seni arsitektur, hingga permainan ceki. Pis bolong (uang kepeng) sampai saat ini masih menghiasi sarana upacara di Bali.
Tahun ini di Bali, Imlek bertempat berhimpitan dengan hari raya Siwaratri, sehingga aneka jenis persipanan menyambutnya sangat padat. Kondisi demikian sangat terasa di pasar tradisional. Khususnya para penjual bunga, kue serta tebu, dipastikan mereka mendapatkan rezeki lebih menjelang hari raya itu.
Anak saya, lewat WA grup keluarga, mengirimkan beberapa foto-foto prosesi Imlek di desanya, Lampu, di Kintamani Bangli. Kintamani Bangli merupakan lokasi pecinan bali, di samping itu dikenal di desa Pupuan dan Payangan.
Anak saya berkabar mendapat angpao, dari temannya, karena dia mengantarkan teman dekatnya merayakan Imlekan di kampungnya di Kintamani Bangli.
Komunitas China yang dipedasaan di Kintamani bali itu sudah ada sejak zaman dahulu, mereka sebagai penganut kepercayaan Konghucu, dan perayaannya sudah mengalami sinkretisme dengan budaya bali.
Tempat ibadah mereka telah mirip sama dengan tempat sembahyang umat Hindu yang ada di Bali. sehingga Hari Raya Imlek identik dengan etnis China atau Tionghoa.
Perlu pembaca Kompasiana ketahui bahwa keberadaan etnis Tionghoa di Bali, secara garis besarnya, dibagi dalam dua periode, yaitu periode pertama terjadi pada zaman Bali kuno dan yang kedua saat zaman penjajahan Belanda.
Etnis Tionghoa pada Bali Kuno
Selama ini kalau di kota-kota di Bali pedagang yang buka usaha toko kelontong, memang banyak beretnis China. Namun berbeda dengan di Kintamani Bangli, ada desa yang komunitasnya hanya orang China saja.
Sebuah pertanyaan muncul, sejak kapan etnis China ada di bali, dan khususnya di Kintamani Bali?
Banyak penutur yang ada di desa dan di Kintamani yang ceritanya disampaikan turun temurun tentang keberadaan etnis China ini, yakni dikaitkan adanya tempat suci yang disebut Pura Dalem Balingkang di Kintamani, Bangli, Bali.
Pura Dalem Balingkang terletak di Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Desa Pinggan sendiri cukup populer sebagai tujuan sunrise tour di Bali. Tempat suci ini dikaitkan dengan penguasa bali zaman itu, yaitu Raja Jaya Pangus yang menikah dengan putri China bernama Kang Cing We.
Bangunan Pura Dalem Balingkang ini sebelumnya merupakan sebuah istana Raja Jayapangus dan bangunan istana tentu dilengkapi dengan sebuah benteng yang memagarinya, serta memiliki fungsi penting untuk menjaga keberadaannya dari serangan musuh, karena adanya perbukitan yang terjal.
Pura Dalem Balingkang berdiri megah dan cantik, tidak hanya memiliki sejarah atau asal-usul yang unik tentang perkawinan dua buah budaya berbeda pada masa zaman lampau, tetapi juga pemandangan alam sekitarnya terlihat begitu indah mempesona, sehingga perjalanan spiritual anda ke Pura Dalem Balingkang menjadi sebuah wisata rohani yang menyegarkan.
Di sini juga terdapat sebuah tempat pemujaan dengan simbol koin Cina (uang kepeng) berukuran besar di sudut Timur Laut sebagai stana Ratu Ayu Mas Subandar, yang semasa hidupnya adalah permaisuri raja yang berasal dari negeri Cina dan bernama Kang Cing We, pelinggih tersebut berkaitan untuk memohon keberuntungan.
Selain itu, cerita tentang Jaya Pangus dan Kang Cing We ini disebarkan secara lisan yang kemudian oleh Dinas Kebudayaan Bali dijadikan sebuah Purana Dalem Balingkang.
Raja Jayapangus Harkajalancana
Raja Jayapangus Harkajalancana tercatat dalam sejarah Bali kuno memerintah pada tahun 1181-1269 Masehi (saka 1103-1191), yang merupakan salah satu raja Bali Kuno di Bali.
Perlu diketahui bahwa kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan yang sulit ditundukkan oleh Raja Sri Kresna Kepakisan yang ditempatkan Gajah Mada dari Majapahit, sehingga pengaruh-pengaruh Hindu dari luar Bali atau Majapahit juga sulit masuk untuk mempengaruhi masyarakat setempat.
Untuk itulah warga sekitar Pura Dalem Balingkang mengklaim diri sebagai masyarakat Bali Aga atau Bali Mula.
Periode Kedua, Etnis China ke Bali pada Zaman Belanda
Sejaka kekuasaan Raja Jayapangus ada rentang yang sangat panjang tanpa adanya kemunculan etnis Tionghoa hingga zaman Belanda.
Beberapa sumber menyebutkan, kejadian tersebut terjadi ketika zaman Kerajaan Majapahit. Ada pengaruh dari Sam Poo Kong yang terkenal di seluruh Indonesia, dan pernah berlayar ke Bali pada periode Majapahit, Rombongan mereka datang dari Jawa yang kemudian datang ke Balingkang yang saat itu merupakan pusat Kerajaan Bali kuno.
Sampai sekarang, banyak penduduk Batur yang meyakini hal tersebut memang benar. Apalagi bisa kita lihat bahwa banyak penduduk di Batur yang mirip dengan orang daerah China, wajah kekuningan atau agak kemerahan dan itu berbeda dengan orang Bali pada umumnya.
Raja Jayapangus memiliki dua istri, di mana satu orang merupakan warga Bali dan seorang lagi dari China. Selanjutnya kisah ini dimanifestasikan dengan Barong Landung atau Jero Gede Jero Luh.
Periode selanjutnya, warga etnis Tionghoa datang ke Bali pada jaman Belanda, di mana mereka datang dari Cina Selatan yakni Provinsi Guangdong.
Mereka menguasai Bahasa Melayu dengan baik sehingga jadi perantara Belanda dengan orang pribumi di Bali maupun tempat-tempat lain. Sehingga sampai sekarang mereka masih menguasai jalur perdagangan di Indonesia termasuk Bali. Selain itu, menurutnya pada zaman Belanda mereka juga tidak diizinkan di kota-kota sehingga banyak yang pindah ke desa.
Ketika Tahun 1965, kondisi tidak kondusif untuk keturunan China di Indonesia, dan banyak juga dari mereka yang kemudian lari ke China sehingga di China ada kampung Bali. Jadi di Kampung Bali itu pelarian dari Bali atau yang diekstradisi Kembali ke China.
Sampek Eng Tay
Akulturasi adaptasi budaya, juga terjadi dengan diserapnya kisah cerita yang sangat terkenal dari China yang berjudul Sam Pek Eng Tay. Sam Pek Eng Tay ini karya Boen Sing Hoo. Kemudian diadaptasikan oleh Ida Ketut Sari dari Geria Sanur, Denpasar, tahun 1915.
Cerita ini kerap menjadi kisah drama dan tari, arja dan lain sebagainya pada awal tahun 1970-an. Cerita Sam Pek Eng Tay di Bali dikenal dengan nama Geguritan Sampik.
Geguritan Sampik ini ditulis dalam bahasa dan aksara Bali, dan digubah dengan menggunakan tembang-tembang macapat.
Ketika SD, saya diajarkan oleh orangtua saya, tentang tembang macapat, khususnya sinom, ginada, ginanti, maskumabang, dengan mengambil setting cerita Sampek Eng tay ini, anehnya sampai sekarang masih saya ingat dan bisa membangkan beberpa baik kisah itu.
Selamat tahun baru China bagi yang merayakannya
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H