Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kampung Islam Gelgel, Lebaran dan Sinkritisme Budaya

1 Mei 2022   17:49 Diperbarui: 1 Mei 2022   18:05 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengingat Kampung Islam Gelgel, kenangan saya selalu tertuju ketika kecil. Dimasa kecil itu, saya hidup dari keluarga petani, kebetulan ayah menjadi kelihan Subak (pemimpin subak) dilokasi tempat ayah menggarap sawah, YAKNI Subak itu bernama subak kacang Dawa, dan termasuk sub bagian subak Gelgel, yang berada di wilayah kecamatan Klungkung Bali.

Subak Gelgel memiliki kewajiban untuk melakukan upacara Ngusaba di Pura dasar Gelgel, untuk itu saya sering diajak oleh ayah ke pura tersebut. Upacara Ngusaba adalah suatu upacara pemujaan yang berkaitan erat dengan masalah pertanian atau subak. Upacara Ngusaba cenderung melibatkan masyarakat yang berprofesi sebagai petani.

Saya diajak ayah, berjalan menyusuri pematang sawah lewat desa minggir dan melalu jalan raya di depan Pura dasar gegel kurang lebih 300 meter ke arah Timur, akan bertemu dengan masjid tertua di Bali mesjid Nurul Huda.

mesjid-nurul-huda-di-kampung-islam-gelgel-doc-mesjid-nurul-huda-gelgel-626e65c23794d1353121e532.jpg
mesjid-nurul-huda-di-kampung-islam-gelgel-doc-mesjid-nurul-huda-gelgel-626e65c23794d1353121e532.jpg
Di depan Pura Dasar banyak alat transportasi Dokar ketika itu, dan banyak teman-teman ayah yang muslim memiliki dokar. Ayah memang cukup dikenal di wilayah itu, sebab Jabatan ayah saya disebut 'Pekaseh, ada tidak kurang 40 kepala subak yang lain seantero Gegel, yang mengalirkan air dari Sungai Unda, yang pecahannya disebut Yeh Cawu.

Para Pekaseh ini, merupakan abdi yang setia yang ikut dalam upacara yang jatuh pada Purnama Kapat, sekitar Bulan Oktober, yang dilakukan di pura Dasar gelgel. Ketika upacara Ngusaba di purnama Kapat , saya selalu diajak oleh ayah untuk menyaksikan upacara besar di Pura Dasar Gelgel itu.

Subak Gelgel selalu sebagai pelaksanana Utama Kegiatan Ngusaba itu di Pura dasar Gelgel, dalam interaksi para anggota subak-subak inilah saya selalu berinterkasi dengan saudara-saudara umat Muslim yang ada di gelgel, karena mereka juga merupakan bagian subak di desa itu.

Teman-teman itu banyak yang menjadi petani , dan juga menjadi pengurus di struktur 'kepengurusan subak Gelgel itu, sehingga terjadi pembahuran dan tradisi pun saling serap, dan sinkritisme budaya selalu terjadi hingga kini.

KAMPUNG ISLAM GEGEL 

Teman-teman muslim hidup dalam satu lokasi perkampungan yang dikenal dengan Kampung Gelgel(Kampung Islam Gelgel), mereka menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan banyak tradisi adat di desa Gelgel, mereka biasa bergotong royong untuk melakukan upacara, bedanya mereka tentu tidak ikut sembahyang. Mereka ikut dalam mempersiapkan sarana upacara (atau disebut dengan upakara).

Hubungan kerjasma dalam bentuk gotong royong itu sangat erat kami rasakan, merasa bersaudara, profesi petani saling melakukan Kerjasama dalam sistem subak. Tak ada yang berbeda dan khawatir atas perbedaan keyakinan itu, yang penting kita bekerja atas nama kebaikan.

Lebih lebih menjelang bulan puasa dan Lebaran tiba, biasanya ada beberapa tradisi yang unik. , yakni selama 10 hari puasa ada tradisi magibung. Dan, biasa mengundang prajuru adat dan Pemda kabupaten Klungkung.

Megibung adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang untuk duduk makan bersama dan saling berdiskusi dan berbagi pendapat. Tata cara warga menyiapkan makanan di atas nampan yang sudah dialasi daun pisang. Nasi putih yang diletakkan di wadah itu disebut gibungan, sedangkan lauk dan sayurnya disebut karangan atau selaan.

Secara kekerabatan anggota subak memang sangat dekat, banyak ponakan, sepupu yang ada di kampung itu karena proses perkawinan.

Saya memiliki bibi yang menikah disana, sehingga sepupu banyak ada di perkampungan itu, secara umum kampung Islam Gelgel adalah keluarga besar kami, perbedaannya hanya saat mereka beribadah.

Saya biasa disuruh ngejot ke kampung, demikian juga saat lebaran memang mereka ngejot Kembali ke rumah saya. Hubungan seperti itu telah lama terjalan dengan baik dan pantang diputus, tujuannya satu ikut merasakan kebahagiaan akan hari raya tiba , entah saat Idul fitri maupun saat hari raya Galungan dan Kuningan

Berbagai tradisi Bali sangat kental di kampung Islam Gegel. Tak ketinggalan buah-buahan seperti beberapa sisir pisang ambon, jeruk, dan salak ikut disajikan di dalam sagi, kemudian ditutup dengan tudung atau saap warna merah yang di atasnya diletakkan sekotak kurma.

Tak jarang para penguasa di Klungkung, sejak jaman Raja-Raja Klungkung, sampai Bupati dan ketua DPRD saat ini juga berkunjung ke desa tersebut untuk ikut berbuka puasa dengan warga Desa Gelgel yang mayoritas beragama Islam dengan tradisi megibungnya.

Tradisi kunjung sang raja telah dipertahankan sejak ratusan tahun silam. Desa Kampung Gelgel memang memiliki perhatian khusus dari Raja Klungkung. Hal ini tak lepas dari sejarah panjang yang dilewati Kerajaan Klungkung dan prajurit Majapahit yang dikirim ke Bali

SEJARAH KAMPUNG ISLAM GELGEL

Nilai sejarah memang terlihat sangat nyata di Kampung Gelgel, oleh karena Kampung Islam Gelgel adalah salah satu pemukiman Islam tertua di Bali. Kawasan tersebut juga dikenal sebagai salah satu objek wisata religius yang ada di Bali.

Bagi anda yang berminat mengetahui dari dekat Kampung Islam Gelgel, silahkan datang ke ampung ini, bisa lewat darat, menuju kota semarapura, cari ke selatan arah ke desa Gelgel, sampai di Pura Dasar Gelgel berjarak 300 M. Kalau lewat Udara, turun di Bandara I Gusti Ngurah Rai, kemudian lewat jalan Bay pas Prof Ida bagus mantra, dari arah Bart bisa jalan menuju desa Minggir, anda dengan mudah mencarinya.

Sejarah yang melingkupi kampung Islam gelgel itu, tak lepas dari kisah-kisah antara kekuasaan para raja-traja di bali, yang merupakan bagian kerajaan Majaphit.

Sebelum penaklukan Bali oleh majapahit bali diperintah oleh keturan Praba udayanya, trah Udayana, yang merupakan Erlangga, pada akhir nya diperintah oleh Sri topulung di bedahulu, Sri ratna bumi banten, itu ditaklukan oleh majaphit. Kemudian di bali diperintah oleh raja -raja keturunan sri Kresna kepakisan, yang berstana Di Samprangan. Selanjutnya pada masa Ida dalem ketut Ngulesir, kerajaan di pindahkan ke Gelgel.

Pada masa inilah kisah kampung Gelgel, dimulai. Sesuai dengan catatan sejarah, disebutkan bahwa Islam masuk ke Bali sejak abad ke-14, tepatnya di Kampung Gelgel, kabupaten Klungkung Berdasarkan cerita rakyat turun-temurun yang ada di gelgel dan sekitarnya , cikal bakal orang Islam pertama yang datang ke Gelgel (pusat pemerintahan di Bali sejak abad ke-14) adalah para pengiring Dalem dari Majapahit yang berjumlah 40 orang, pada masa pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir, Raja Gelgel I. Raja Dalem Ketut yang masih termasuk dinasti Majapahit mendirikan Kerajaan Gelgel, yang pada saat itu masih di bawah naungan kerajaan Majapahit.

Cerita yang lain menyebutkan bahwa, Dalam berbagai literasi disebutkan Dalem Ketut Ngelesir menghadiri sebuah konferensi di Majapahit yang diadakan Prabu Hayam Wuruk pada 1384,. Raja Gelgel Dalem Ketut Ngelesir mendapat keistimewaan.

Beberapa kisah menuturkan bahwa  usai  Majapahit runtuh,  Kerajaan Gegel yang diperintah   Raja Waturenggong (Raja Gelgel yang memerintah saat itu, di datangi oleh Ratu Dewi Fatimah dari Majapahit yang beragama Islam dengan tujuan  untuk mengajaknya memeluk Islam dan bersedia menjadi istri apabila Raja menjadi Muslim.

Konon, upaya Ratu Dewi Fatimah tidak berhasil  karena upaya yang semestinya mengkhitan Raja ternyata tidak mampu memutuskan bulu kaki Raja. Akhirnya Ratu Dewi Fatimah kembali ke Loloan (kabupaten Jembrana) tempat pertama kali saat beliau mendarat di Bali. Setelah Ratu Dewi Fatimah meninggal, para pengiringnya Kembali lagi  ke Gelgel dan bermukim di sana dan sejak saat itulah terdapat pemeluk Islam di Gelgel.

UMA JARAT

Ada kisah lain yang memang berkaitan dengan keberadaan kampung Islam di Gelgel itu, yaitu Uma Jarat. Sebuah lokasi jejak perjalann Ratu Gujarat. Beliau adalah seorang utusan dari Jawa untuk mengajak  Raja  Bali  dalem Waturenggong untuk menganut  agama Islam. pada abad ke-16 (berkuasa antara tahun 1520-1558).

Cerita itu ada berbagai versi, salah satu disebutkan Ratu Gujarat. Utusan itu diminta menghadap Raja Gelgel Dalem Waturenggong,

Utusan datang bersama beberapa pengikut, dan diutus khusus untuk membujuk Raja Dalem Waturenggong serta warga Kerajaan Gelgel untuk memeluk agama Islam.  Namun, upaya itu tidak dapat mempengaruhi Raja Dalem Waturenggong. Sang raja tetap memilih untuk memeluk kepercayaan yang diwariskan oleh leluhur.

Oleh karena tidak berhasil mempengaruhi Raja Dalem Waturenggong, utusan itu diminta kembali ke tanah Jawa. Utusan itu dan beberapa pengikutnya lalu menuju ke arah barat daya. Tepatnya di campuhan (pertemuan) antara tukad jinah dan tukang cangkung. Wilayah itulah yang disebut dengan Uma Jarat saat ini.  Diceritakanlah utusan itu meninggal di lokasi tersebut, di makamkan disana.

Sementara beberapa pengikutnya diberikan tempat tinggal di wilayah Minggir, di sekitar Keraton Kerajaan Gelgel, yang kini disebut Kampung Islam Gelgel itu, mereka berjanji setia pada Raja Gelgel. Ketika kerjaaan Gelgel pindah ke klungkung (Semarapura sekarang), mereka pun pindah dan diberikan lokasi disebelah timur kota Semarapura, yang disebut dengan kampung Lebah, seiring dengan kekuasaan Klungkung itu, ada menjadi penasehat raja klung yang ditempatkan di Toya pakeh nusa penida, dan di kampung Kusamba, kecamatan dawan Klungkung.

Secara fisik kuburan Ratu Jarat itu memang tidak ada, hanya hamparan sawah, dengan penciri batu karang. Namun berdasarkan cerita turun temurun, di Uma Jarat itulah lokasi utusan itu meninggal. Namanya sebenarnya Gujarat, Uma Jarat orang Bali memang susah melafalkan kata Gujarat.

Dulu lokasi itu sempat menjadi lokasi warga muslim untuk berziarah. Namun saat ini semakin jarang, karena area persawahan itu merupakan milik pribadi dan sudah beralih fungsi menjadi sawah.

Selanjutnya , di kawasan Uma Jarat , juga beridiri sebuah  pura yang dikenal dengan  nma  Pura Pauman. Sebuah tempat suci yang tempat peribatan umat Hindu, . Pura ini  diempon  oleh Desa Adat Satra dan  erat dikaitkan dengan jejak Ratu Gujarat itu, sehingga dalam piodalan di pura tersebut tidak menghaturkan banten yang berisi daging babi.

Pura Pauman itu merupakan Pura Pemujaan Dewi Sri, yang juga lokasi warga untuk meningkatkan spiritualnya. Jika hendak meningkatkan kualitas spiritual, cukup dengan mengkonsumsi daging suci yang dalam hal ini ayam atau bebek,

TOLERANSI UMAT ISLAM DAN HINDU DI KAMPUNG GELGEL

Kampung Islam Gelgel, secara Geografis, Desa Kampung Gelgel termasuk satu dari 18 Desa dan Kelurahan di Kecamatan Klungkung Kabupaten Klungkung Provinsi Bali.

Terletak pada ketinggian 64 m dari permukaan air laut, luasnya hanya sekitar 8,6 hektar . Desa Kampung Gelgel tidak memiliki dusun dan banjar dinas. Batas-batas Desa, Di Sebelah Utara Desa Kamasan, Di Sebelah Timur , Selatan dan Barat adalah Desa Gelgel

Sampai saat ini karekter toleransi terus bertahan. Terlebih sekitar 200 meter dari Masjid Nurul Huda yang berada di Jl Waturenggong berdiri pula Pura besar dari atau pura Kawitan Pusat Pasek Gelgel yakni pura Dalem Siwa Gaduh.

Toleransi juga ditunjukkan dengan menjalankan tradisi ngejot atau saling berkirim makanan saat masing-masing memperingati hari raya keagamaan. Mereka seperti paham bahwa dalam setiap makanan, misalnya, tidak mengandung daging sapi ketika akan diberikan ke warga beragama Hindu.

.

Begitu pun sebaliknya, warga Hindu atau agama lainnya hanya mengirimkan makanan halal kepada saudaranya yang Muslim. Saat warga Hindu memperingati Nyepi, maka warga Desa Kampung Islam Gelgel akan membantu tugas para pecalang mengamankan wilayah di sekitarnya 

Sebaliknya, jika warga Muslim menggelar solat Idulfitri dan Idul Adha, maka warga umat lain akan turun tangan mengatur arus lalu lintas di sekitar lokasi solat. Petugas keamanan yang disebut pecalang dengan mudah bisa dilihat saat solat berlangsung, untuk mengatur lalu lintas.

Melihat kampung Islam Gelgel yang terletak i diantara mayoritas Hindu, tidak ada masalah yang berarti, karena mereka disatukan karena perkawinan, mereka menganggap keluarga, secara darah memang banyak memiliki hubungan famili.

Disana ada semacam asrat kuat melingkupi masyarakat di kampung gelgel dan desa adat Gelgel, bahwa Ketika sekelompok manusia bersatu dan bekerja sama gotong royong dengan harmonis, maka tak akan bisa di tolak akan terjadi peningkatan energi yang tercipta melalui kerja sama tersebut yang dialami setiap individu di dalam kelompok masyarakat tersebut.

Di kampung Islam itu, terbersit beragam keindahan, bahwa Menjunjung toleransi dalam keberagaman adalah kekuatan kita untuk menciptakan persatuan. Selain itu Perdamaian erat kaitannya dengan saling toleransi, mendengarkan dan memahami, serta mengurangi perdebatan yang tak perlu adalah kunci yang paling penting. Dan toleransi itu cukup saling menghormati dan tidak mengganggu ibadah agama lain. Selamat Hari raya Idul Fitri, mohon maaf lahir bathin, mogi rahayu*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun